Five : Looking for you

1119 Kata
Tidak butuh waktu lama untuk sampai menuju rumah orangtua Raffael. Jane menggendong Leo yang tengah tertidur lelap. Melihat Leo yang menikmati tidurnya, membuat Jane tidak tega membangunkannya. "Biar aku bantu." Raffael menurunkan ransel berisi beberapa lembar pakaian Leo yang dipegang Jane. "Terima kasih." "Kamu bawa masuk Leo dulu deh dikamarku. Kasihan itu anak nanti terganggu tidurnya." Jane menuruti saran Raffael dan segera masuk kerumah. Ibunya Raffael ternyata sedang mempersiapkan makan malam untuk menyambut Jane dan Leo. "Tante... Maaf aku jadi merepotkan," Jane mendatangi Ibunya Raffael-Tante Gina. Jane menyalami tangannya Tante Gina. "Kamu sudah kayak sama siapa saja. Ayo, bawa Leo dulu ke kamar Raffa. Kasihan itu." Tante Gina mengusap lembut punggung Leo, rasa iba memenuhi hatinya. Jane masuk kedalam kamar Raffael dan membaringkan Leo diranjang ukuran king-size itu. Diamati wajah anaknya yang tertidur dan dikecup kening anaknya, berharap Leo dapat bermimpi indah malam ini. Leo dalam lelap tidurnya menggerakan badan ke arah samping, persis seperti Vian. Senang tidur dengan posisi menyamping. "Selamat malam, Leo. Mimpi yang indah, nak... Mimpikan Mama dan Leo lagi main yah..." Lalu Jane keluar kamar dan membiarkan Leo menikmati tidurnya. . . . . . Vian dan Arrson kembali ketempat panti asuhan yang membantu ibj mereka. Tujuan Vian adalah untuk mencari tahu keberadaan anaknya. Penjaga Gereja tidak berani memberikan informasi pada Vian soal dimana Leo tinggal dan lain halnya. Vian bahkan nekat memohon dengan air mata agar penjaga Gereja terenyuh melihat Vian. "Jika Bapak sangat ingin tahu, silahkan tanya pada suster Cecilia. Beliau adalah kepala kepengurusan panti asuhan disini." jelas Pak Yudi-penjaga keamanan Gereja itu. "Dimana saya bisa menemui beliau? Apa sekarang bisa segera saya temui? Saya sungguh-sungguh ingin tahu keberadaan anak saya." mohon Vian. "Beliau ada didalam panti. Silahkan masuk saja, Pak." Tanpa menunggu lama, Vian dan Arrson segera masuk ke dalam panti dan mengikuti arah yang dijelaskan oleh Pak Yudi tadi untuk menuju ruangan suster Cecilia. Vian segera mengetuk pintu dan menemukan suster Cecilia ada di dalam. "Loh, Pak Vian? Ada apa kembali kesini?" tanya suster Cecilia dengan senyuman penuh arti. Sesungguhnya suster Cecilia sudah menduga kalau Vian akan kembali untuk bertanya soal Jane dan Leo. Dugaannya benar. "Suster, bisa tolong bantu saya? Saya ingin tahu dimana Jane dan Leo tinggal saat ini. Leo itu dititipkan disini, kan jika Jane pergi kerja?" Vian memasang wajah memelas berharap suster Cecilia tidak mempersulit dirinya untuk tahu dimana malaikat kecilnya berada. "Maaf, Pak Vian. Saya tidak bisa sembarangan memberikan informasi ke sembarang orang." "Saya ayah kandung Leo, suster! Tolong bantu saya." "Maaf, Pak Vian. Saya tetap tidak bisa. Kami memiliki perjanjian dengan para orangtua yang mempercayakan kami untuk menjaga anak mereka. Informasi seperti itu kami rahasiakan. Saya mohon maaf." Vian tidak berputus asa, dengan membuang rasa egonya, dia berlutut memohon pada suster Cecilia. Arrson terkejut melihat adik iparnya seperti itu. "Suster... saya mohon... Tolonglah ayah yang sedang kesusahan ini..." ucap Vian yang tertekan dengan situasi. "Saya hanya akan memberikan nama kompleknya saja. Untuk selengkapnya, saya tidak bisa. Mohon tunggu sebentar." Jawaban suster Cecilia membuat wajah Vian cerah. Tak apa jika hanya nama kompleknya saja, setidaknya ada setitik harapan untuk bertemu dengan anaknya lagi sebelum terlambat. Sebelum Jane benar-benar membawa Leo pergi menjauh dari dirinya. . . . . . "s**t!" umpat Vian saat melihat rumah Jane yang sepi dan gelap. Ternyata dia terlambat mencegah Jane membawa Leo pergi darinya. "Yan, lo gak bisa langsung begitu saja mendatangi Jane agar bisa melihat Leo lagi." ucap Arrson yang sudah capek menemani Vian mencari alamat Jane. "Itu anak gue, darah daging gue! Jane gak bisa gitu bawa Leo pergi menjauh dari gue!" Vian memukul setir mobilnya, kesal. "Setelah apa yang lo lakuin ke Jane, lo berani bilang itu anak lo? Darah daging lo? Yan, lo sadar diri gak?" "Diam aja lo! Gak usah ngomong!" Tawa sinis keluar dari mulut Arrson, "Pantesan saja gak ada wanita yang tahan sama lo. Kalau gak karena uang dan harta yang lo punya, gue yakin gak ada wanita yang bersedia lo nikahi atau lo ajakin ena-ena" "Eh, bisa diem gak?" "Gak! Gue akan bicara terus sampai lo sadar kalau lo itu memang brengsek." "Lo mau gue hajar?" "Lo bisa? Hahaha. Yan, lo selalu begitu. Dinasehatin malah ngeyel. Sekarang lihat keadaannya. Lo kehilangan semuanya. Lo memang manusia egois." Arrson keluar dari mobil dan menuju pintu pengemudi. Dia membuka pintu kemudi menyuruh Vian untuk turun, "Turun lo. Minggir." Vian turun dan Arrson masuk untuk memegang kemudi mobil. Arrson segera melajukan mobil meninggalkan Vian sendirian. Agar Vian bisa merenung dalam perjalanan pulangnya dengan berjalan kaki. . . . . . "Raff, boleh aku minta dipindahkan ke cabang di Jakarta? Kalau Vian disini, aku lebih baik kembali ke kota lamaku." Jane masih gusar dan kalut. "Memang kamu yakin Vian di Medan? Bisa jadi dia hanya sementara disini." "Tapi, Raff... Mamanya Vian ada disini. Pasti Vian juga ikut. Dia kan tidak bisa jauh dari Mamanya." "Jane..." Raffael menggenggam tangan Jane berusaha menenangkan sahabat yang diam-diam dicintainya itu. "Tenanglah dulu. Jika kamu kalut seperti ini, keputusan yang kamu ambil bisa saja salah..." "Aku takut, Raff... Kamu tahu, aku menjaga Leo sendirian. Aku melahirkan Leo tanpa Vian. Saat Leo besar, mereka meminta agar bebas bertemu Leo? Enak saja! Langkahi dulu mayatku." "Tapi Jane... Suatu saat Leo harus tahu siapa Ayah kandungnya." "Cukup hanya informasi dariku saja. Tidak usah sampai seperti ini. Oh Tuhan... Kenapa harus seperti ini..." Jane frustasi. Sangat. Drrrt. Jane membuka pesan yang masuk ke smartphonenya dan membaca pesan dari suster Cecilia. Ya-Vian mencari dirinya dan Leo. . . . . . "Hari ini, Leo sama Nenek Gina saja ya." Jane menggendong dan mengecup pipi Leo sambil menjelaskan kegiatan ya hari ini. "Leo janji mau main bola sama teman-teman." Leo memainkan kerah Jane yang terkancing rapih. Leo penasaran dengan bros bunga yang dipakai Jane. "Hari ini teman-teman Leo pulang kerumah masing-masing dulu. Jadi Leo dirumah Nenek Gina dulu." "Tapi kata mereka, panti itu rumah mereka. Mereka gak punya rumah dan Mama Papa." "Gak Leo... Mereka juga punya Mama Papa. Tapi Mama Papanya sudah sama Tuhan. Mereka mau mendoakan Mama Papa mereka dulu. Leo paham kan?" Leo mengangguk, " Iya, Ma. Ini apa?" Leo memegang bros ibunya. "Ini bros sayang..." "Boleh buat Leo?" "Gak boleh. Ini tajem. Nanti ketusuk tangan, cussshhh... keluar darah. Mau?" Jane menjelaskan pada Leo. Leo takut dengan benda tajam. "Gak. Leo gak mau. Mama juga lepas. Nanti lehernya ketusuk." "Iya deh, kalau Leo yang minta... Apa sih yang Mama gak kasih..." Jane menurunkan Leo dari gendongannya dan membuka bros itu. "Ma, kalau Leo minta ketemu Papa... Apa Mama juga kasih Papa ke Leo?" Deg. Apa yang harus Jane jawab? Apakah Leo sadar keberadaan Ayahnya yang kini sedang  dekat dengannya? Haruskah Jane membiarkan Leo bertemu Vian lagi? Sang Ibu larut dalam pikirannya yang penuh dengan ribuan ketakutan...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN