Mark duduk santai di kursi halaman belakang, kaki disilangkan, laptop tergeletak di pangkuannya. Wajahnya serius, mata tajamnya menatap layar penuh grafik dan laporan keuangan. Namun, setiap beberapa menit, ia menghela napas berat. Bukan karena pekerjaannya sulit, tapi karena pikirannya kacau, bercampur antara urusan bisnis dan bayangan tentang Giana. Suara helaan napas itu begitu keras hingga terdengar sampai ke arah pintu belakang. Giana yang baru keluar untuk menjemur pakaian berhenti sejenak, melirik ke arah pamannya dengan tatapan penuh sinis. Ia melihat Mark yang menunduk sambil mengusap wajahnya, seperti orang yang sedang menanggung beban besar. Dengan nada ketus, Giana membuka mulut, “Paman, kalau dari tadi kerjaannya cuma menghela napas, lama-lama bisa mati sendiri, tahu nggak?”

