Malam itu rumah terasa begitu hening. Lampu lorong menyala redup, angin malam sesekali menggetarkan gorden di ruang tengah. Giana mengunci pintu kamarnya rapat-rapat, menempelkan punggungnya pada kayu dingin itu, berharap suara degup jantungnya yang kacau tidak terdengar keluar. Ia tahu Mark tidak pernah menyerah, lelaki itu selalu punya cara untuk membuatnya resah. Tak lama, terdengar ketukan pelan. Dua kali, tiga kali. Irama ketukan itu sengaja diperlambat, seolah sedang memainkan kesabaran. Lalu terdengar suara berat dan rendah di balik pintu, penuh nada licik yang membuat bulu kuduk Giana berdiri. “Giana…” suara itu mendesir, nyaris seperti bisikan. “Kamu masih bangun, kan? Bukain pintunya. Pamanmu cuma mau ngobrol sebentar.” Giana mendengkus keras, menutup telinganya dengan bantal,

