Pagi itu suasana rumah terasa berbeda. Burung-burung di halaman depan berkicau riang, namun bagi Giana, pagi itu terasa lebih tenang dari biasanya. Ia duduk di meja makan dengan piyama longgar, menyeruput segelas s**u cokelat hangat. Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis—untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu terakhir, ia tidak perlu berurusan dengan Mark sejak bangun tidur. Lelaki itu tidak terlihat semalam, dan pagi ini pun kursinya kosong. “Ah, betapa damainya kalau dia bisa terus begini,” pikir Giana sambil menahan tawa kecil. “Kalau perlu, pindah saja dari rumah ini, tidak usah kembali lagi.” Diana, mamanya, justru terlihat gelisah. Wanita itu berjalan mondar-mandir dari dapur ke ruang tengah sambil membawa ponsel. Sesekali ia melirik ke arah pintu depan, seolah menunggu se

