Pesawat sudah meluncur di landasan, suara mesin yang menggelegar memenuhi kabin. Giana duduk kaku di kursinya, tangannya terkepal di pangkuan, matanya sesekali menatap ke arah jendela lalu kembali melirik pada Mark yang begitu tenang. Lelaki itu duduk di sampingnya dengan kaki disilangkan santai, seakan ini hanya perjalanan bisnis biasa, bukan penculikan keji terhadap keponakannya sendiri. Giana menggertakkan gigi. “Mark, katakan padaku, sebenarnya kau mau membawaku ke mana?” suaranya bergetar, antara panik dan marah. Mark menoleh pelan, senyum tipis terlukis di bibirnya. “Kalau aku bilang, apa kau bisa tenang? Atau malah makin gelisah?” “Dasar gila!” Giana hampir berteriak, tapi segera menahan diri karena takut menimbulkan perhatian penumpang lain. Ia mendekatkan wajahnya ke Mark, berb

