Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai tipis kamar Sinta. Giana terbangun dengan mata bengkak karena semalaman sulit tidur. Dia menguap pelan, lalu duduk di tepi kasur, memandangi dinding polos rumah sederhana itu. Hatinya masih diliputi rasa gelisah. Betapapun lelahnya, keinginannya untuk pulang ke rumah benar-benar hilang. Selama Mark masih ada di sana, selama lelaki itu masih memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan tatapan penuh obsesi, rumah itu bukan lagi tempat aman baginya. Sinta masuk ke kamar membawa dua gelas teh hangat. Dia menaruh salah satunya di meja kecil samping kasur. “Pagi, Gi. Kamu tidur nyenyak?” tanyanya, meski ekspresi wajahnya jelas-jelas menunjukkan bahwa dia tahu jawabannya. Giana tersenyum kecut. “Lumayan. Terima kasih, Sin. Maaf ya aku merepotkan kamu.” S

