Bab 03

779 Kata
Pagi itu udara masih lembap, sisa embun menempel di dedaunan, dan cahaya matahari baru saja muncul malu-malu di balik gedung-gedung perumahan elit itu. Mark berlari menyusuri jalan kompleks dengan ritme teratur. Keringat membasahi kaos hitamnya yang melekat pada tubuh berototnya, membuat setiap garis otot terlihat jelas. Napasnya berat, tetapi wajahnya tetap tenang, dingin seperti biasa. Selesai lari, ia berhenti di depan rumah, mengelap keringat dengan handuk kecil yang tergantung di lehernya. Ketika matanya menangkap sosok yang keluar dari pintu rumah, senyum samar langsung muncul di wajahnya. Giana melangkah keluar dengan dress selutut warna baby pink yang sederhana tapi elegan. Rambutnya tergerai, wajahnya segar meski jelas-jelas ia kurang tidur karena emosi malam sebelumnya. Mark menatapnya tanpa berkedip, lalu bersiul pelan, sengaja menggoda. “Pagi yang indah… ditambah pemandangan indah,” ucap Mark ringan, nada suaranya santai tapi penuh godaan. Giana menghentikan langkahnya sejenak, menoleh dengan tatapan penuh kebencian. Ia mendengkus, merapikan tali tas selempangnya, lalu berjalan cepat ke arah garasi. “Tidak usah berkomentar. Aku tidak butuh pujianmu,” katanya dingin. Namun sebelum ia sempat melewati gerbang, tangan besar Mark tiba-tiba menahan lengannya. Sentuhan itu membuat tubuh Giana kaku seketika. Ia menoleh cepat, matanya menyala penuh kemarahan. “Lepaskan aku,” suaranya serak menahan amarah. Mark justru menatapnya dengan senyum tipis, ekspresinya tenang seolah tidak peduli dengan badai yang ada di depan matanya. “Kau terlihat manis sekali dengan dress itu. Tidak heran kalau banyak lelaki menyukaimu.” Ucapan itu seperti bara api yang disiramkan ke minyak. Giana langsung menyentak lengannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman. Nafasnya memburu, wajahnya merah padam. “Jangan pernah sentuh aku lagi! Kau pikir siapa dirimu berani menyentuhku begitu saja?” Mark tertawa kecil, suara rendahnya membuat suasana semakin panas. “Cantik-cantik, tapi galak sekali. Persis seperti yang kakakku ceritakan. Tapi yang galak sepertimu menarik sekali.” Giana mengepalkan tangan, hampir saja ingin menamparnya, tetapi ia menahan diri. Jika ia terus meladeni, ia hanya akan memberikan kemenangan pada lelaki itu. Ia memilih melangkah cepat menuju mobilnya tanpa menoleh lagi. Namun dalam hati, rasa marahnya berlipat ganda. Bagaimana mungkin lelaki itu dengan seenaknya memperlakukannya begitu? Siapa dia, berani-beraninya menyentuh dan menggoda dirinya?! Mark berdiri di depan rumah, menyaksikan mobil Giana keluar dari garasi dengan kecepatan tinggi. Senyum dingin masih bertengger di wajahnya. Ia tahu, semakin Giana marah, semakin menarik baginya permainan ini. Di kampus, Giana masih merasa kesal. Teman-temannya yang menyapanya pun ia abaikan. Ia masuk kelas dengan wajah cemberut, dan beberapa mahasiswa langsung berbisik-bisik melihat perubahan sikapnya. Giana menunduk, mencoba fokus pada catatan, tapi otaknya terus memutar kejadian pagi tadi. Sementara itu, di rumah, Diana sibuk menyiapkan sarapan sambil sesekali berbicara dengan Mark. Ia merasa senang sekali adiknya bisa tinggal bersamanya, setidaknya bisa mengobati rasa rindu bertahun-tahun. Mark bercerita sedikit tentang hidupnya di luar negeri, tentang pekerjaan, tapi tetap hal yang seolah ada bagian yang sengaja disembunyikan. Ketika Diana bertanya tentang Giana, Mark hanya tersenyum samar. “Dia masih muda, Kak. Banyak api dalam dirinya. Tapi aku suka itu. Gadis keras kepala biasanya lebih menarik dibanding gadis penurut.” Diana menghela napas. “Aku hanya berharap kalian bisa akur. Jangan terlalu memancing emosinya, Mark. Kau tahu, Giana mudah sekali tersulut.” Mark meneguk kopi yang dibuat Diana, lalu menatap kakaknya dengan sorot mata yang sulit dibaca. “Tenang saja. Aku tidak berniat menyakitinya. Aku hanya… ingin mengenalnya lebih dekat.” Ucapan itu membuat Diana sedikit lega, meski entah kenapa ada firasat aneh di hatinya. Sore harinya, ketika Giana pulang dari kampus, suasana masih tegang. Ia masuk ke rumah tanpa menyapa siapa pun. Mark yang sedang duduk di ruang tamu langsung menoleh. Senyum dingin itu kembali muncul. “Bagaimana kampusmu hari ini, cantik?” tanyanya, nada suara seolah mengejek. Giana berhenti di tangga, menatapnya penuh kebencian. “Berhenti memanggilku seperti itu. Aku tidak suka.” Mark mengangkat alis, lalu berdiri perlahan. Ia melangkah mendekat, jaraknya semakin sempit, hingga Giana bisa mencium aroma keringat dan parfumnya yang masih melekat. “Kalau begitu, apa yang harus kupanggil? Gadis keras kepala? Atau… keponakan manja? Atau my baby?” Giana menatapnya dengan api di matanya. Jantungnya berdegup kencang, antara marah dan… rasa terancam yang sulit ia akui. Ia menggertakkan giginya, lalu berlari menaiki tangga tanpa berkata apa-apa lagi. Mark hanya berdiri di bawah, menyaksikan punggung Giana menghilang di balik dinding. Senyum itu tidak pernah hilang dari wajahnya. Baginya, ini baru permulaan. Dan malam itu, ketika rumah kembali hening, Giana menatap keluar jendela kamarnya. Ia melihat Mark sedang berdiri di halaman, melakukan push-up dengan tenang, seolah menunjukkan kekuatannya. Giana menggenggam tirai dengan kuat, bibirnya bergetar karena amarah bercampur rasa takut. “Aku tidak akan kalah darimu, kau akan keluar dari rumahku bajinga!” gumamnya pelan, seolah bersumpah pada dirinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN