Giana menatap meja dapur di depannya. Tangannya gemetar saat mengaduk masakan yang sedang ia buat. Pikirannya tak henti-henti memutar berbagai rencana. Ia harus kabur dari tempat ini, bagaimanapun caranya. Hari demi hari bersama Mark membuat dadanya sesak. Lelaki itu terlalu mengerikan—selalu menatapnya dengan cara yang membuat kulitnya merinding. Giana menatap panci yang mendidih perlahan. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Tenang, Giana. Kau hanya perlu berpura-pura. Beraktinglah seolah-olah kau baik-baik saja.” Suaranya begitu pelan, hampir seperti bisikan yang hanya ia sendiri dengar. Langkah kaki terdengar dari arah belakang. Giana langsung kaku. Ia tahu suara itu. Mark. “Wangi sekali,” suara berat itu terdengar, disertai langkah yang semakin dekat. “Gadis kecilk

