“Kak. Ayo, pulang. Sampai kapan Kakak ingin tinggal di sini?” gerutu Devan. Pria itu tengah berbaring di atas tempat tidur Chessy dengan kedua lengan dan kaki melebar.
“Sampai gadis sialann itu keluar dari rumah. Aku tidak sudi berada di rumah yang sama dengannya,” tukas Chessy yang tengah menyisir rambutnya.
“Sebentar lagi dia juga akan angkat kaki dari rumah. Apa tidak bisa Kakak menahannya sebentar? Aku sudah tidak tahan tinggal di sini,” ujar Devan.
“Kalau kau mau pulang, pulang saja. Tidak usah menungguku,” ucap Chessy.
Devan mengubah posisinya menjadi miring menghadap ke arah sang Kakak dengan sebelah tangan yang menyangga kepala. “Mana bisa aku pulang dan meninggalkanmu sendiri? Kalau aku pulang, tidak ada yang akan menjagamu di sini.”
“Aku bukan anak kecil,” ujar Chessy.
“Aku tahu. Kau lebih tua dariku. Tapi, bagaimanapun aku seorang pria dan kau perempuan. Aku takut ada p****************g yang mengganggumu selama berada di sini tanpaku. Tidak ada orang yang bisa kau andalkan selain aku,” ucap Devan.
Chessy membisu sesaat. Tangan wanita itu berhenti menyisir rambut. Tatapannya sendu. “Kau benar. Di dunia ini, tidak ada orang yang bisa kuandalkan selain dirimu. Bahkan Papa dan Mama sudah tidak menyayangiku lagi.”
Tanpa aba-aba, air mata Chessy mengalir di pipi. Membuat Devan yang melihat, merasa semakin iba pada sang Kakak yang malang.
Rahangnya mengetat ketika mengingat apa yang sang Ayah lakukan pada Chessy. Ia tak menyangka kalau Arfan akan menampar Kakak-nya hanya demi Navaya.
Bukan hanya Arfan, Freya, sang Ibu pun ikut membela Navaya dan mengabaikan perasaan Chessy. Devan tak bisa terima akan hal itu.
Ia lalu beranjak dari tempat tidur dan menghampiri Chessy. Membawa sang Kakak yang terisak ke dalam pelukannya.
“Tenang saja. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendiri. Aku janji,” ucap Devan yang membuat tangisan Chessy semakin menjadi.
“Apa yang harus kulakukan, Devan? Hiks .... Beberapa hari lagi, mereka akan menikah. Hiks .... Katakan, apa yang harus kulakukan? Harapanku satu-satunya telah direbut oleh gadis sialann itu! Aku sudah tidak punya harapan lagi untuk hidup! Hiks ....,” isak Chessy.
“Jangan berkata seperti itu, Kak. Selain pria itu, ada banyak pria yang lebih baik di luar sana. Kalau perlu, aku akan membawa mereka semua ke hadapan Kakak,” tukas Devan.
“Tidak, Devan. Harapan Kakak sudah tidak ada. Tidak ada gunanya lagi aku tetap hidup! Lebih baik aku mati saja! Mati! Mati!” teriak Chessy histeris. Wanita itu menjambak kedua rambutnya dengan keras.
“Kak! Kakak! Kak, hentikan! Hentikan!” seru Devan sembari mencoba menenangkan sang Kakak. Berusaha melepaskan tangan Chessy dari rambutnya sendiri. Sampai akhirnya, wanita itu berhasil ditenangkan.
Devan menatap iba pada sang Kakak. Tangannya terulur merapikan rambut Chessy yang berantakan, kemudian mengusap air mata di pipi wanita itu.
“Tenanglah, Kak. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi. Aku akan melindungimu. Mulai sekarang, kau hanya boleh mengandalkanku. Akan kupastikan tidak ada yang berani menyentuhmu,” tutur Devan kemudian memeluk Chessy.
Mengusap punggung sang Kakak dengan lembut. Meski rahangnya mengetat dan hatinya memendam amarah yang sangat besar.
-------
Suara garpu dan pisau yang saling bersahutan di atas piring memenuhi ruangan persegi yang di isi oleh Azka dan Rebecca. Saat ini, keduanya tengah makan malam bersama di salah satu restoran bintang lima yang terletak di Jakarta Selatan.
Dan karena mereka tidak bisa terlalu menonjolkan kebersamaan di depan umum, keduanya pun selalu menggunakan private room sebagai tempat kencan mereka.
“Bagaimana makanannya?” tanya Azka.
“Enak,” jawab Rebecca mengulas senyum.
“Kamu suka?” tanya Azka yang diangguki oleh sang Kekasih. “Baguslah kalau kamu suka,” ujarnya ikut tersenyum.
“Aku paling suka tingkat kematangan dagingnya. Sangat pas dengan yang aku mau,” tutur Rebecca.
“Hanya dagingnya? Kamu tidak suka yang lain?” tanya Azka.
“Aku suka semua. Tapi, ini yang paling enak,” jawab Rebecca.
“Lalu, bagaimana dengan daging yang lain?” goda Azka penuh arti yang membuat Rebecca membulatkan mata.
“Azka. Jangan bercanda seperti itu. Kita sedang makan. Lagi pula, bagaimana kalau ada yang mendengarmu?” tegur Rebecca.
“Memang kenapa kalau ada yang mendengar? Aku tidak peduli. Tapi, kamu tenang saja. Tidak ada yang akan mendengar pembicaraan kita. Ruangan ini kedap suara bahkan jika kamu mendesah sekali pun,” ujar Azka yang membuat Rebecca mendengus.
“Azka,” tegur Rebecca. Pria itu terkekeh. “Baiklah, baiklah, baiklah. Aku berhenti.”
Setelahnya, mereka berdua pun terdiam sembari menikmati masing-masing. Sesekali, Rebecca menyuap makanan miliknya pada Azka yang diterima dengan senang hati oleh pria itu.
“Malam ini, aku akan menginap di apartemen-mu,” ucap Azka.
“Tidak boleh,” tolak Rebecca yang menghentikan tangan Azka memotong dagingnya. Pria itu lantas menatap sang Kekasih dengan bingung.
“Kenapa?” tanya Azka.
“2 hari lagi, kamu akan menikah,” jawab Rebecca.
“Apa hubungannya masalah itu dengan aku tidak boleh menginap di apartemen-mu?” tanya Azka.
Rebecca menghela napas. “Sayang, sebentar lagi kamu akan menikah. Meskipun pesta itu hanya sekadar formalitas, tapi kamu tetap harus tinggal di rumah sebelum pernikahan kalian dilaksanakan. Bagaimana bisa pengantin seorang pengantin pria menginap di apartemen wanita lain tepat 2 hari sebelum menikah?”
“Aku tidak peduli. Pokoknya, malam ini aku akan menginap di apartemen-mu,” tegas Azka.
“Azka.” Rebecca meraih sebelah tangan Azka kemudian menggenggamnya dengan lembut. “Dengarkan aku sekali ini saja. Jangan lakukan hal tidak seharusnya kamu lakukan. Berhenti membuat Ibu-mu kesal. Aku tidak ingin melihat kalian terus bertengkar, karena diriku.”
Pria itu menghela napas berat. “Baiklah. Tapi, kamu harus berjanji satu hal padaku.”
“Berjanji apa?”
“Kamu harus berjanji kalau kamu tidak akan datang di hari itu.”
“Aku akan datang,” ucap Rebecca. “Bagaimana mungkin aku tidak datang di hari pernikahanmu?”
“Tapi, kamu pasti akan terluka saat melihatku bersama wanita lain,” tukas Azka. “Pokoknya kamu tidak boleh datang. Titik. Kalau perlu, aku akan menyuruh orang untuk menahanmu di depan pintu.”
“Kamu tega melakukan itu padaku?”
“Lebih baik begitu, dari pada kamu harus merasakan sakit.”
“Tidak akan. Sudah kubilang kalau pesta itu hanya formalitas. Jadi, kamu tenang saja. Lagi pula, aku tidak mungkin melakukan hal yang akan melukai hatiku sendiri.”
Azka membisu. Pria itu menatap Rebecca dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Dadaanya bergemuruh kesal, karena tak bisa menghindari pernikahan itu. Sampai akhirnya, ia menghela napas berat kemudian mengangguk.
“Tapi, kamu harus berjanji. Kalau kamu merasa tidak kuat berada di sana, kamu harus segera pergi. Jangan memaksakan dirimu hanya untuk terlihat baik-baik saja di hadapanku. Aku tidak ingin semakin melukaimu,” ucap Azka.
Rebecca mengulas senyum. “Aku janji.”
-------
Navaya merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Entah mengapa, hari ini ia merasa sangat lelah. Padahal, ia tak melakukan apa pun selain menemani Zoya ke klinik gigi sore tadi.
Meski begitu, Navaya tidak mengeluh. Justru, ia merasa sangat bersyukur karena memilih pengalihan dari memikirkan pernikahannya yang akan di laksanakan 2 hari lagi.
Bukan karena Navaya tidak sabar untuk menikah dengan Azka. Hingga membuatnya terus memikirkan pernikahan itu. Melainkan, ia tak sabar untuk menyelesaikan semuanya.
Sudah hampir 3 minggu Chessy dan Devan tidak pulang ke rumah dan menetap di hotel. Navaya bukannya tidak tahu alasan kedua saudaranya itu tidak pulang ke rumah. Namun, ia juga tidak bisa melakukan apa-apa agar mereka mau kembali ke rumah.
Setiap hari, Navaya sangat mengkhawatirkan keadaan Chessy dan Devan. Ia takut kalau keduanya tidak makan dan tidur dengan benar. Ia takut kalau mereka berdua tidak nyaman tinggal di luar.
Saat Navaya bertanya pada sang Ayah mengenai keadaan Kakak dan Adik-nya, pria paruh baya itu selalu menjawab kalau mereka berdua baik-baik saja. Meski begitu, ia tetap merasa khawatir dengan keduanya.
Tak ayal, Navaya selalu menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian kedua saudaranya. Karena itu, ia tak sabar pernikahannya segera berlalu agar Chessy dan Devan mau kembali ke rumah.
Navaya memejamkan kedua mata. Sebelah tangannya terangkat menutupi kedua mata. Tanpa aba-aba, air mata mengalir dari ujung matanya.
‘Sabarlah, Kak. Sebentar lagi, Navaya akan menghilang dari hidup Kakak.’ Navaya membatin.
Selama beberapa saat, Navaya terisak dalam diam. Hingga tanpa sadar, gadis itu jatuh terlelap dalam tidurnya dengan air mata yang masih mengalir.
Sampai hari berganti dan hari itu pun tiba. Hari di mana Navaya akan menjadi milik seorang pria yang akan berstatus sebagai suami-nya. Istri sah dari Azka Chandra Mahadarsa.
-------
Love you guys~