“Persilakan dia masuk,” pinta Mia.
“Baik,” ucap sang pegawai kemudian pamit dari ruangan tersebut. Tak berapa lama kemudian, seorang pria pun masuk ke dalam.
“Dilan?” sahut Shanum dengan kening mengerut.
“Selamat siang, Bu,” sapa pria bernama Dilan tersebut. Asisten pribadi Azka.
“Di mana Azka? Kenapa dia tidak masuk?” tanya Shanum.
“Saat ini, Tuan sedang menghadiri rapat yang tidak bisa ditunda, Bu. Jadi, Beliau memerintahkan saya untuk datang ke sini,” jawab Dilan.
Mendengar itu lantas membuat Navaya merasa bersyukur dan lega. Setidaknya, ia tak perlu terlalu gugup ketika mengenakan gaun tersebut.
“Ck! Anak itu! Padahal aku sudah menyuruhnya untuk membatalkan semua jadwalnya hari ini,” kesal Shanum.
“Tenanglah, Shanum. Mungkin saja rapat itu benar-benar tidak bisa ditunda, jadi tidak bisa dibatalkan,” sahut Mia.
“Tapi, ini bukan pertama kalinya anak itu bertingkah seperti ini. Di saat-saat penting begini, dia selalu membuat alasan agar tidak datang. Sangat menyebalkan,” gerutu Shanum. “Padahal Navaya sudah cantik begini, tapi anak itu sama sekali tidak menunjukkan antusiasnya.”
“Tidak apa-apa, Tante. Navaya tidak keberatan, ‘kok,” timbrung Navaya.
“Bukan begitu, Nav. Ini ‘kan untuk pernikahan kalian. Setidaknya dia menampakkan batang hidungnya di sini walaupun hanya sebentar,” omel Shanum. Navaya pun hanya bisa mengulas senyum mendengar omelan tersebut.
“Untuk apa lagi kau masih di sini? Pergi sana. Melihatmu membuatku teringat sama Azka,” pintanya pada Dilan.
“Sebelum pergi, Tuan berpesan pada saya untuk mengirim foto Nona Navaya saat mengenakan gaun pengantin,” ucap Dilan.
“Tidak usah. Katakan padanya kalau triknya itu tidak akan berhasil kali ini. Tunggu saja di rumah nanti,” tolak Shanum. “Pergi sana.” Tanpa membantah, Dilan pun beranjak dari sana.
“Redakan amarahmu. Jangan rusak hari baik ini dengan mengomel terus,” ucap Mia sembari mengusap-usap lengan Shanum.
“Haaa .... Anak itu benar-benar,” decak Shanum.
“Sudah, sudah,” ujar Mia menenangkan.
Sementara di tempatnya, Navaya hanya bisa membisu. Ia tak tahu harus mengatakan apa untuk meredakan amarah sang calon Ibu Mertua.
Navaya takut kalau ucapannya hanya akan membuat wanita paruh baya itu semakin kesal. Seperti halnya Chessy yang selalu marah ketika mendengar suaranya.
Meskipun Shanum dan Chessy adalah orang yang berbeda, tapi ketakutan itu telah tertanam di dalam diri Navaya. Hingga membuatnya lebih berhati-hati saat berucap dan bertindak.
“Jadi, Navaya. Kamu suka yang ini?” sahut Mia mengalihkan pembicaraan agar Shanum tidak semakin emosi akibat Azka.
“Iya,” jawab Navaya mengulas senyum.
“Baiklah. Kalau begitu, aku akan menyiapkan gaun ini khusus untukmu,” ujar Mia.
“Terima kasih,” ucap Navaya.
“Tidak usah sungkan,” ujar Mia sembari mengedipkan sebelah mata.
-------
Tok... Tok... Tok...
“Masuk!” pinta Azka ketika pintu ruangannya diketuk. Tak berapa lama setelahnya, Dilan masuk ke dalam. “Bagaimana? Kau sudah mengambil fotonya?” tanyanya.
“Maaf, Tuan. Tapi, Nyonya melarang saya untuk memotret Nona Navaya. Beliau berkata ... ‘Katakan padanya kalau triknya itu tidak akan berhasil kali ini. Tunggu saja di rumah nanti.’,” lapor Dilan sembari meniru gaya berucap Shanum.
Azka menghela napas panjang. “Baiklah. Kau boleh keluar.” Tanpa membantah, Dilan langsung pamit dari ruangan pria itu.
Sepeninggal Dilan, Azka langsung langsung memijat pangkal hidungnya. Kepalanya terus terngiang ucapan Shanum yang mengatakan, ‘Tunggu saja di rumah nanti.’. Arti dari kalimat itu adalah ‘Tunggu omelan Mama di rumah nanti.’ Kurang lebih, seperti itulah artinya.
Suara dering ponsel lantas mengalihkan perhatian Azka. Begitu melihat nama si pemanggil, pria itu spontan mengulas senyum. Tanpa basa-basi, ia langsung menjawab panggilan tersebut.
“Halo, Sayang,” sapa Rebecca di seberang telepon.
“Halo,” balas Azka lembut.
“Apa malam ini kita jadi pergi makan malam bersama?” tanya Rebecca.
“Maafkan aku. Tapi, sepertinya aku tidak bisa. Malam ini akan ada badai besar di rumah,” ucap Azka.
“Ibu-mu?” tebak Rebecca yang dibenarkan oleh Azka. “Sudah kubilang jangan menyebutnya begitu. Bagaimanapun, dia adalah wanita yang melahirkan dan merawatmu. Kamu harus menghormatinya.”
“Apa ini badai kecil sebelum badai besar datang?” sindir Azka.
“Ck! Azka,” decak Rebecca yang membuat Azka terkekeh.
“Iya, iya. Aku mengerti,” ucap Azka. “Tapi, kamu tidak apa-apa makan sendiri malam ini?”
“Ini bukan pertama kalinya,” ujar Rebecca.
“Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf. Kalau sempat, aku pasti akan datang ke sana,” ucap Azka.
“Tidak apa-apa. Ibu-mu lebih penting. Jangan memaksa untuk datang kalau memang tidak bisa. Kita bisa makan malam di lain waktu,” ujar Rebecca yang membuat pria itu mengulas senyum.
“Aku benar-benar sangat beruntung memiliki malaikat sepertimu,” ucap Azka penuh syukur.
“Baiklah, kalau begitu. Akan kututup teleponnya. Selamat bekerja,” ujar Rebecca.
“I love you,” bisik Azka kemudian memberikan kecupan panjang untuk sang kekasih. Setelah itu, barulah ia memutuskan sambungan teleponnya.
-------
2 minggu telah berlalu. Kini, waktu yang Navaya miliki untuk mempersiapkan dirinya sebelum menikah bersama Azka tinggal 4 hari lagi.
Sebenarnya, tidak ada yang perlu Navaya siapkan. Dirinya hanya perlu menghadiri pernikahan itu. Karena, semuanya telah diatur oleh Shanum dan sang Ibu, Freya.
Azka sendiri pun terlihat tidak tertarik dengan pernikahan mereka. Terbukti sejak pria itu tidak datang ketika mereka harus fitting baju dan membeli cincin.
Selain itu, Azka juga tidak pernah menampakkan walau hanya seujung kuku untuk ikut berpartisipasi dalam persiapan pernikahan mereka. Pria itu lebih terkesan cuek bebek dan tak peduli apakah pernikahannya jadi dilaksanakan atau itu.
Itulah alasan yang membuat Navaya semakin yakin bahwa pernikahan mereka tidak lebih dari sebatas pernikahan bisnis. Tidak ada cinta yang menjadi pondasi sebuah ikatan pernikahan mereka.
“Lagi-lagi kau melamun,” tegur Zoya sembari duduk di samping Navaya. “Kali ini, apa lagi yang kau lamunkan? Sebentar lagi kau akan menikah. Tapi, kau sama sekali tidak terlihat seperti orang yang akan menikah.”
“Memang harusnya seperti apa orang yang akan menikah?” tanya Navaya.
“Tentu saja kau harus perawatan muka, kulit, dan seluruh tubuh. Sibuk mempersiapkan ini-itu. Bukan malah duduk asoy di sini sambil memandangi gedung-gedung dan membiarkan es krimmu meleleh,” tutur Zoya.
Spontan, Navaya melirik es krim yang berada di tangannya. Dan benar saja, es krim tersebut telah meleleh dan hanya meninggalkan gumpalan kecil di stiknya. Navaya bahkan tidak sadar kalau es krim tersebut ia beli setengah jam yang lalu.
Untungnya, es krim itu tidak mengenai pakaiannya, karena Navaya meletakkan tangannya di samping tubuhnya. Jadi, es krim tersebut meleleh ke tanah.
“Aku yakin, kau tidak sadar kalau kau punya es krim. Atau bahkan, kau belum sempat mencobanya,” tebak Zoya yang selalu tepat sasaran. Ia sudah sangat hafal dengan kebiasaan gadis itu yang akan melupakan segalanya saat tengah melamun.
“Maaf,” ucap Navaya.
“Kenapa minta maaf padaku? Minta maaf saja pada es krimmu,” tukas Zoya.
“Maafkan aku,” ucap Navaya pada es krimnya membuat Zoya menggeleng-gelengkan kepala.
“Kalau kau datang ke sini hanya untuk melamun, kenapa harus repot-repot beli es krim?” sindir Zoya.
“Tadi ada pedagang yang lewat. Aku kasihan melihatnya. Jadi, aku beli satu,” jelas Navaya.
“Lebih baik kau tidak membeli es krimnya, dari pada sayang meleleh tanpa dimakan begitu,” ucap Zoya.
“Iya. Aku salah,” ujar Navaya yang membuat Zoya menghela napas.
Setelahnya, kedua sahabat itu pun membisu. Menikmati pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang di kelilingi asap polusi kendaraan.
Saat ini, keduanya tengah berada di atas gunung yang bisa dicapai tanpa harus mendaki tinggi. Dan kebetulan, tempat mereka duduk sekarang mengarah ke pusat perkotaan. Jadi, keduanya bisa melihat pemandangan kota Jakarta siang ini yang dipenuhi oleh polusi kendaraan.
“Bagaimana dengan persiapan pernikahanmu?” tanya Zoya.
“Begitulah,” jawab Navaya dengan kepala menunduk.
“Begitulah apanya? Dari awal kau terus menjawab seperti itu. Aku jadi tidak mengerti seperti apa ‘begitulah’ itu,” gerutu Zoya.
“Aku juga tidak tahu. Aku tidak pernah ikut campur dalam masalah itu. Yang mengurus semuanya adalah Ibu-ku dan Ibu pria itu. Jadi, aku tidak tahu harus menjawab pertanyaanmu dengan apa. Karena, aku memang tidak tahu,” tutur Navaya.
“Bagaimana dengan pria itu? Apa dia juga tidak pernah ikut campur?” tanya Zoya yang diangguki oleh Navaya. Gadis berambut panjang itu lantas mendengus sebal.
“Lama-kelamaan aku semakin kesal dengan pria itu. Sudah tidak datang saat fitting baju, sekarang pun dia tidak menunjukkan reaksi apa pun terhadap pernikahan kalian. Sebenarnya, dia itu berniat menikah atau tidak? Kenapa dia tidak berniat sama sekali?” gerutunya yang mengingatkan Navaya pada Shanum ketika mengomel tentang Azka.
“Mungkin saja Ibu-nya juga melarangnya untuk ikut campur seperti aku,” ujar Navaya untuk menenangkan sang sahabat.
“Tidak usah membelanya. Aku tahu kalau sebentar lagi dia akan menjadi suamimu. Tapi, mengetahui dia tidak pernah ikut andil sama sekali membuat jadi kesal. Andai aku mempunyai kekuatan untuk membatalkan pernikahan kalian, aku pasti akan membatalkannya,” omel Zoya yang membuat Navaya terkekeh kecil.
“Bukankah dulu kau yang mendukungku untuk menikah dengannya? Kenapa sekarang kau ingin membatalkannya?” sindir Navaya.
“Itu sebelum aku tahu kalau dia tidak serius dengan pernikahan kalian. Meskipun kalian menikah karena dijodohkan, setidaknya dia juga harus ikut andil dalam proses pernikahan kalian. Meskipun hanya datang lalu pulang, itu sudah cukup dari pada tidak sama sekali,” dengus Zoya.
“Omong-omong, aku masih belum tahu bagaimana wajah pria yang akan menjadi suamimu. Apa kau punya fotonya?” Navaya menggeleng sebagai jawaban.
“Ck! Kau bahkan tidak punya fotonya. Pernikahan macam apa ini?” decak Zoya.
“Setidaknya, kami sudah pernah bertemu saat acara makan malam waktu itu,” ujar Navaya.
“Benar juga,” gumam Zoya. “Tapi, aku sangat penasaran dengan wajahnya. Kau bilang wajahnya lumayan. Tapi, kau tidak ingin mendeskripsikan wajahnya dan membuatku hampir mati penasaran,” serunya gemas.
Navaya terkekeh kemudian menepuk-nepuk pundak sang sahabat. “Tenang saja. Kau bisa melihatnya di acara nanti.”
-------
Love you guys~