Bab 13. Vanya Mencari Kala

1260 Kata
“Gimana kondisi papi, Mada?” Kalandra bertanya pada asisten papinya begitu tiba di rumah. “Baik, Mas. Banyak kemajuan. Sepertinya Bapak bisa kembali bekerja dalam waktu dekat.” Mada melaporkan kondisi terkini Bos Andara. Kala mengangguk pelan. “Azra sudah pulang ke rumah?” “Belum, Pak. Istrinya juga belum pulang sejak berangkat kerja tadi.” Mada mengekor di belakang Kala yang menaiki tangga ke lantai dua. “Kamu belum tahu apa rencana mereka untuk memenuhi syarat dari papi?” “Sepengetahuan saya, sepertinya mbak Dara akan mengikuti program bayi tabung.” “Hm… berapa persen kemungkinan keberhasilan bayi tabung untuk mereka, Mada?” Langkah mereka terhenti, Kala sudah tiba di depan kamarnya. “Saya tidak bisa memastikan, Mas. Kita tidak tahu apa penyebab mbak Dara belum bisa hamil, tapi yang jelas, program bayi tabung juga memerlukan waktu dan momen yang tepat supaya berhasil.” Kala mengangguk lagi. “Kalau Mas Kala, apa rencana Mas untuk memenuhi syarat dari bapak?” Mada balik bertanya. Kalandra tersenyum tipis. “Kamu nggak perlu tahu.” Ia berbalik, masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Mada yang terheran-heran. Pria itu duduk di tepi ranjang, menatap sebuah foto yang sejak beberapa hari lalu menghuni nakasnya. “Reymond … ternyata kamu pernah menikah dengan Reymond? Kok aku bisa nggak tahu, ya?” Kalandra bermonolog. “Tapi sepertinya Reymond sudah menikah lagi sekarang. Ah … apa kamu diceraikan karena mandul, Bianca?” Ia terus berbicara dengan foto dalam figura itu, seolah benda itu bisa menjawabnya. “Wah, aku harus ngobrol lebih jauh denganmu soal ini.” Kalandra memutuskan. Pria itu beranjak dari duduknya, hendak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, tapi ponselnya lebih dulu berdering nyaring. Itu telepon dari Ruben. “Ada apa, Ben?” sapa Kala tanpa basa-basi. “Lo nggak ke Harmoni?” tanya Ruben dengan latar suara ingar binger khas kelab malam. “Enggak, kenapa emang?” “Cewek yang lo cari ke sini, nih.” “Hah?” Kala jelas terbelalak tak percaya. “Kayaknya baru beberapa menit lalu gue nurunin dia di depan apart temennya, kenapa sekarang udah di Harmoni?” “Loh, lo habis ketemu dia?” “Iya. Baru aja gue anterin dia balik, kok bisa udah di sana?” Suara Ruben menghilang sejenak. Hanya terdengar suara riuh musik dan seruan orang-orang yang bersenang-senang. “Halo, Kal.” Akhirnya Ruben kembali. “Gimana?” “Nama cewek yang lo cari bukan Vanya?” Kedua alis Kala bertaut. “Bukan, Ruben. Vanya siapa gue nggak kenal,” sahutnya ketus. “Oh, sori sori. Soalnya dia juga nyariin lo, kirain lo juga nyariin dia.” “Enggak, bukan dia. Kalau udah nggak ada perlu gue tutup.” “Oke. Sori, ya, Kal.” “Hm.” Kala memutus sambungan telepon. Niatnya untuk masuk ke kamar mandi seketika teralihkan. Pikirannya melayang ke beberapa waktu lalu. Malam itu, seperti biasa Kalandra bersenang-senang di Harmoni. Mengobrol dengan Ruben atau sekedar menikmati minuman memabukkan dan gelegar musik. Hingga tiba-tiba ada seorang wanita yang menggodanya, tanpa tahu malu meraba d*da dan pahanya. Kalandra yang sudah setengah mabuk tentu merasa sedikit terpancing. Dan pada akhirnya mereka memutuskan untuk memesan sebuah kamar di balkon lantai tiga, kamar 308, Kalandra masih mengingatnya dengan jelas. “Ngapain dia nyariin gue, sih?” gerutu Kalandra sembari mengusak rambutnya dan melepas kemejanya. “Bikin kesel aja, padahal gue udah pura-pura nggak inget.” Pria bertubuh atletis itu masuk ke kamar mandi, membasuh tubuhnya yang lelah dengan air hangat. *** Bianca baru saja keluar dari kamar mandi sehabis membersihkan diri, wajahnya masih merengut kesal akibat pertemuan yang tak terduga dengan mantan suaminya. Padahal ia sudah menghabiskan makan malam yang menyenangkan dengan Kalandra. Meski pria itu cukup usil dan tengil, tapi wajah tampan Kala benar-benar sesuai dengan tipenya. Jadi memandangi Kalandra sembari menikmati makanan lezat tentu adalah kebahagiaan yang berlipat ganda. Sayang sekali, semua kebahagiaannya langsung runtuh begitu Reymond muncul di hadapannya. Bianca menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tengah, bergabung dengan Zita yang asyik menonton film sembari menikmati kripik singkong kiloan. “Lo kenapa, deh? Dari dateng sampe sekarang cemberut mulu.” Zita berkomentar sembari melirik Bianca sekilas. “Katanya diajak makan sama pak Kala? Jadi atau enggak?” “Jadi,” sahut Bianca singkat. “Diajak makan di mana?” “Di resto Itali yang di Hotel Aryuda tuh.” Mata Zita seketika membola, mulutnya menganga. “Itu ‘kan resto mewah banget, Bi! Bisa-bisanya lo masih cemberut habis diajak makan malam di sana?” “Awalnya gue juga seneng. Biarpun gue pernah hidup jadi istri orang kaya selama tiga tahun, tapi mantan laki gue nggak pernah tuh ngajak makan di resto mewah begitu. Makanya gue seneng banget waktu diajak makan di sana. Mana manajer lo itu pesen ruang VIP pula!” “Gila!” Zita berseru senang. “Taruhan, yuk! Kayaknya Pak Kala naksir lo, deh.” Bianca memutar bola matanya malas, bukan itu yang ingin ia bicarakan dengan Zita. “Bodo amat dulu deh soal itu. Coba tebak, gue ketemu siapa di sana?” Alis Zita bertaut. “Siapa? Katanya lo di ruang VIP, emang bisa ketemu pengunjung lain?” “Bisa, Zi. Keluar masuknya ‘kan masih lewat area yang sama dengan pengunjung reguler.” “Oh, iya juga. Hm … ketemu siapa emang?” Zita telah mengalihkan atensi sepenuhnya pada Bianca, penasaran. “Rey dan istrinya.” Sekali lagi, Zita terbelalak. Benar-benar tak menyangka. “What the f**k!” Ia berseru kaget bercampur kesal. “Eh, tapi bukannya mereka lagi bulan madu?” “Kayaknya udah balik.” Bianca merebahkan tubuhnya di sofa karena Zita duduk lesehan di lantai. “Terus lo tahu, dia ngatain gue godain Kala di depan Kalandra, Zi. Orang gila! Pengen gue tonjok tuh muka songongnya. Heran, laki kok mulutnya lemes.” “Kenapa nggak lo tonjok aja? Reymond nggak bakal berani ngapa-ngapain lo kalau ada pak Kala. Secara bodi pak Kala lebih tinggi dan berotot daripada dia, ‘kan?” “Masalahnya kita masih di dalem resto, Zi. Gue males ribut, apalagi muka Kala tuh kayak bingung kok gue bisa kenal Reymond gitu. Daripada ditanya-tanya, akhirnya gue cuma nyuruh dia minggir. Untungnya Kala ngerti posisi gue, dia juga bantuin gue minggirin cecunguk satu itu.” Bianca bercerita dengan ekspresi setengah kesal dan setengah bahagia. Kesal karena ulah Reymond, tapi bahagia dengan sikap Kalandra. “Hahaha, emang gimana cara pak Kala minggirin Rey?” tanya Zita penasaran. “Yaaa dipelototin gitu. Lo pasti ngerasa kalau aura Kala tuh menakutkan banget. Kayak dia bisa ngebunuh orang cuma pake tatapannya. Si Reymond langsung minggir, loh!” Bianca tertawa di ujung kalimatnya. Kini, perasaannya mulai sedikit membaik. “Wah, iya. Lo bener banget. Pas awal-awal gue kerja bareng pak Kala, takut banget mau face to face.” Zita bergidik ngeri mengingat masa-masa awal ia bekerja. Ia bahkan sempat tak mau masuk kerja karena takut dengan Kalandra. Bianca tertawa mendengar cerita Zita. Namun, tawanya seketika bungkam saat ponselnya berdering panjang. “Siapa, Bi?” Zita bertanya. Bukannya menjawab, Bianca justru mengerutkan alis menatap layar ponselnya. Itu telepon dari ibu tirinya. Bianca berdecak tak suka sebelum mengangkat telepon itu. “Ada apa?” tanyanya ketus. “Pulang ke rumah sekarang!” Itu bukan suara Mila, itu adalah suara Fabian, papa Bianca. Kalimatnya terdengar dalam, seolah Fabian sedang menahan amarah. “Hah? Ngapain?” Bianca mencoba menanggapinya dengan enteng. “Pulang ke rumah sekarang juga, Bianca!” Fabian berteriak berang. “Dan sebaiknya kamu menyiapkan penjelasan kenapa kamu bisa diceraikan oleh suamimu!” Bianca tertegun. Tubuhnya mematung seketika. Bahkan meski telepon itu telah terputus, ia masih tak mampu menggerakkan tubuhnya. Terlalu terkejut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN