9 | Ranah Dewasa

1858 Kata
Bapak kos kurang asem! Tega-teganya membercandai Niska seperti itu. Kan, meski memang Niska yang mulai dengan candaan berikut iseng-isengnya, tetapi sebatas lewat ucapan. Nah, Pak Galen? Beliau lewat aksi, cui! Bertingkah seolah benar Niska mau diajak ke rumah orang tuanya, tetapi ternyata hanya prank. Uh ... rasanya bercokol hati Niska, dongkol pol you know? Untung saja dia belum memberi tahu pipi dan mimi. Kebayang kalau Niska sudah woro-woro, "Pi, Mi, ada laki-laki yang ngajak Nis ketemu orang tuanya." Bisa gawat! Niska menghela napas. Sekarang sudah pagi. Dia juga sudah mandi. Tentunya sudah cantik dan wangi. Niska bahkan memilih pakaian terbaiknya, lalu bersolek. Di sisi lain, tepat di kamar sebelah. [Gal, lo bakal datang ke reuni nanti malam, kan?] [Galen, katanya kamu lagi di Jakarta, ya? Nanti malam bisa hadir, nggak?] Itu semua kiriman pesan dari teman-temannya, baik laki-laki dan ada juga teman wanita. Mereka seangkatan di SMA. Dalam grup kelas, mereka sering mengadakan reuni di saat mendengar kabar setidaknya 75% anggota sedang berada di satu kota. Dan malam nanti adalah jadwal reuni yang telah ramai-ramai disepakati. Galen sampai dikirimi chat pribadi, mengingat dirinya memang tim jarang buka grup. Sekali buka pun jadi silent readers. Seperti sekarang. Joni: [Kayaknya Galen gak bakal dateng. Reuni noncouple aja dia nggak datang, apalagi kali ini tema couple, kan?] Missa: [@Galen kalo kamu butuh pasangan, sama aku aja. Kabarin sebelum jam lima.] Liam: [Yang penting datang, @Galen. Gak usah mikirin pasangan. Lo datang sendiri pun gue temenin. Bini gue sibuk urus bayi soalnya.] Zain: [Gue juga dateng sendiri. Eh, sama anak, sih.] Briana: [Sama aku bisa, @Galen. Tapi kudu izin sama suami dulu. Wkwkwk.] Missa: [Yang penting datang, sih. Kita-kita kangen, nih, sama lo. @Galen] Galen pun mengetik, lalu kirimkan. Galen: [Ya, nanti datang.] Beuh! Langsung ramai, anggota grup yang diam-diam saja pun bermunculan, di keterangan atas nama grup seolah saling berebut mengetik. Sedangkan, Galen meninggalkan room chat. Dia tinggalkan ponselnya malah. Berjalan ke luar. Bertepatan dengan keluarnya sosok Niskala, yang mana tatapan mereka pun bersirobok. Gadis itu tidak menyapa seperti biasa, mungkin karena kejadian semalam. "Mau ke mana?" Galen memilih bersikap biasa. Oh, atau justru tidak? Karena dia menyapa. "Ke rumah orang tua Mas." Niska tetap menjawab. "Nyindir kejadian semalam?" "Syukur kalau merasa." "Padahal kamu yang duluan bercanda dan iseng." "Iya, kan? Makanya aku biasa saja." "Memvalidasi biar tidak terbaca kondisi sebenarnya?" "Maksud?" "Malu barangkali saya jadi tahu kalau kamu semalam memang berharap diajak ke rumah orang tua saya." "Bukan berharap, sih. Lebih ke serius 'percaya', padahal itu bercanda. Gokil, ya? Bisa-bisanya aku percaya sama laki-laki yang baru kukenal kemarin sore." "Orang percaya bukannya memang karena ada harapan ke arah sana? Akui saja kamu berharap." "Berharap apa, sih?" "Berharap saya seriusi semalam." "Bukan berharap, Mas. Tapi percaya Masnya serius. Beda, lho." Galen maju selangkah, Niska agak tersentak. But, malah ikutan maju. Ya, Galen yang mundur. Soalnya hampir nempel. Dan Niska mendongak, memang boncel dia. Hanya tumbuh sampai sedada Galen saja. Dari rautnya itu seperti sedang menantang, tidak menakutkan sama sekali. Malah Galen jadi berpikir, telapak tangannya mungkin bisa menutupi keseluruhan wajah Niskala. "Tinggimu hanya segini saja?" "Cowok macam apa yang body shamming?" Niska berdecak-decak dengan bunyi 'ck, ck, ck' sambil geleng-geleng. "Sudahlah nggak bisa dipercaya, body samming pula. Pantes jomlo di umur segini." "Kamu—" "Apa?" Galen geram sekali. Niska lalu menjulurkan lidahnya, melet-melet, yang mana setelahnya dia berbalik sambil kibas rambut. "Memangnya kamu sendiri tidak jomlo?" "Jomlo, sih. Tapi umur kita, kan, beda." "Persetan dengan umur. Teman-teman saya seusia kamu sudah menikah." "Ya, terus Mas kenapa belum?" Niska sudah menaiki motornya, pakai helm. "Eh, iya. Kan, nyebelin. Cewek mana yang mau?" "Kamu mau." "Dih!" "Semalam buktinya mau." Hayo, mau bilang apa? Entah kenapa ada kepuasan tersendiri bagi Galen bisa membuat Niska kehilangan kata-kata. Gadis itu mengerling. Kemudian berlalu. Apa-apaan respons matanya tadi? Sangat tidak sopan kepada orang tua. Dasar, ya? Ada saja yang membuat Galen berpikir, bagaimana lagi agar Niskala mengakui hal-hal yang dirinya tudingkan, lalu kapok dan hilang keberanian. Minimal, berhenti menganggap enteng dirinya dengan pikiran bisa digoda. Setelah semalam itu, kok, malah jadi terkesan semakin berani, ya? *** Uci terbahak. Dia acungkan dua jempol kepada sobat sekosan sambil bilang, "Mental kamu baja banget, Nis. Gilak!" "Bukan mental baja, tapi muka baja, Ci. Udah bukan muka tembok lagi aku." Argh! Of course. Ini ketemuan sama Uci pun sampai di luar kosan, padahal bisa banget nyamper ke kamar. Yang Niska kembalikan sepatu heels semalam. Ini sekalian makan siang di luar, sih. Habis dari kampus juga. "Terus gimana? Masih mau mepetin?" "Nggak. Aku kasih jalan biar masnya aja yang ngejer." Uci tertawa. "Emang seorang Mas Galen bakal ngejer? Parah, sih, kamu. Selain muka tembok, ternyata kepedean juga." "Emang!" Niska ikut tertawa. "Tapi tadi buktinya aku nggak nyapa, doi nyapa duluan, tuh. Berarti apa kalau bukan ngejar?" "Itu karena mau ngetes gimana kamu setelah kejadian semalam, Nis." "Iya, sih. Ya, liat aja entar." "Duh, makin seru! Asal nanti bapak kos nggak tahu-tahu sebar undangan nikah aja, ya, Nis. Tiati, lho. Takut banget kamu patah hati." Niska sedot es jeruknya. "Sebelum itu terjadi, kubuat bapak kos kita mikirin aku sampe setengah mampus dulu, Ci. Biar nggak ada pikiran buat merit sama cewek lain." "Njay! Ngeri bat kawanku." Uci terkekeh. Niska juga. "Tapi caranya gimana, Nis?" "Nanti aku colek dadanya." "Wah, wah ...." Niska terbahak. "Eh, tapi, Ci ... aku agak heran, deh. Maksudku, soal skinship. Mas Galen emang anti banget apa, ya?" "Sebenernya itu udah jadi rahasia umum. Bapak kos emang menghindari skinship sama lawan jenis. Pas kamu pingsan aja, kan, itu yang bopong anak-anak kos, Nis. Termasuk aku, ya." Ehm. Pingsan bohongan lebih tepatnya. "Iya, ya? Kenapa, ya?" Kaki Niska bahkan disenggol-senggol oleh ujung sepatu waktu itu. "Terus pas aku jagain ponakannya, cara Mas Galen ngasih anak itu ke gendonganku juga sangat berhati-hati biar nggak nyentuh aku. Maksudku, kan, biar ajalah kalo cuma nyenggol lengan dikit. Iya, nggak?" "Kalau kata salah satu anak kos Airlangga, sih, wajar aja soalnya aturan Mas Galen di kosan, kan, super ketat. Jadi, image-nya menyesuaikan gitu." "Bener. Mana tahu di luaran sana Mas Galen kokop-kokopan, kan, Ci?" Uci tersedak. "Eh, maaf." Niska sodorkan air minum. "Ehm. Bisa jadi, sih. Pokoknya emang abu-abu banget. Nggak ada yang tahu betul soal Mas Galen. Maklumlah, jarang juga ada di kosan. Ini pun keberadaan beliau terlama di kos putri." "Dia lama di kos kita karena ada aku kali. Haha!" "Always, ya, Nis." "Yo'i. Pede aja dulu, lagian percaya diri itu perlu." Kemudian tertawa bersama. "Tapi beneran itu mau kamu colek dadanya, Nis?" "Kalau cuma di d**a harusnya nggak berlebihan, kan? Apa dagu aja, ya?" "Bukan masalah itunya. Aku takut nanti kamu kena amuk beliau. Misal ternyata emang tipe yang sangat menjaga sentuhan sama lawan jenis, gimana coba?" "Mati aku." "Ya, kan?" Uci tertawa lagi. "Yeah ... lihat nanti, deh. Yang pasti aku mau bikin bapak kos terbiasa dulu denganku. Dengan keceriaanku. Biar nanti kalau aku nggak ada, dia nyari." "Jiaaah. Sa ae kamu! Tapi kalo ternyata malah bersyukur dan bukannya merasa sepi kehilangan kamu sampe nyari, gimana?" *** Berdasarkan rangkuman AI yang Niska baca, cinta itu bisa datang karena berbagai faktor, di antaranya ketertarikan fisik, kesamaan sifat, kriteria idaman, dan KEBIASAAN. Tolong catat yang ditulis kapital itu. Terkait fisik, orang jatuh cinta dari mata turun ke hati. Kriteria idaman, memang sudah ada gambaran di pikiran dan hati, begitu menemukan yang sesuai auto bilang I love you. Nah, ini ... kebiasaan. Terbiasa bekerja sama, berdiskusi, dan berinteraksi dapat membuat seseorang jatuh cinta. Begitu, lho, katanya. Meski kecil kemungkinan, tetapi sudah dibuktikan oleh orang-orang yang cinlok di tempat kerja, lalu saat KKN, hingga di tempat yang biasa ada 'aku sama kamunya.' Kepada bapak kos galak, Niska sedang menerapkan itu. Meski benar juga kata Uci, bagaimana jika nanti kebiasaan tentangnya yang lantas tak pernah ada lagi malah disyukuri? Yang biasanya berisik, jadi sepi. Biasanya ada yang jail, lalu nihil. Di samping itu, keadaan sepi dan nihil yang jail ini, kan, bagian dari kehidupan Pak Galen sebelum ada Niskala. Artinya, tidak ada yang 'hilang', hanya memang kembali ke keadaan sebelumnya. Bisa jadi malah bersyukur, kan? Duh. Tapi kalau nggak dicoba, nggak bakal tahu ending-nya. Toh, seru juga. Asal Niska jangan sampai baper duluan. Ini kuncinya. Iya, kan? Amanlah. Paling penting nama Bang Daaron sudah semakin kabur. Satu per satu huruf dari rangkaian Daaron Edzhar Reinaldi sudah meluruh. Fokus Niska sudah teralih. Itu, kan, misi utamanya? Agar kelak jika Dikara pulang, Niska tidak perlu merasa tersiksa. Jadi, .... "Mobil terus yang diusap, Mas? Coba kalau istri, udah hamil anak ketiga kali." Uhuk! Ini ranah dewasa. Mas Galen menoleh. Memang sedang mengelap mobil. Suka saja biar bening. Ini Niska baru parkir motor, dia lepas helm. Baru pulang, lho. "Kamu pikir manusia hanya dengan diusap bisa hamil?" "Emang nggak bisa?" Pak Galen mencibir. "Biologimu berapa pas sekolah dulu?" "Tinggi, kok. Aku paham teori reproduksi, dan bukannya berawal dari usapan makanya nanti terjadi pertemuan kelamin betina dan jan—eh, maaf." Pak Galen mendelik runcing soalnya. "Tapi betul, kan? Akui saja." "Sudah sana masuk kamar!" Eh, kok, kayak titah mutlak dari suami ke istri? Disuruh masuk kamar, terus .... "Makanya nikah, Mas." "Sama kamu?" "Seleraku tinggi, bukan laki-laki yang nggak bisa dipercaya, apalagi body shamming." "Kamu playing victim." "Mas cerewet ternyata." Niska seolah bisa melihat uap mengepul keluar dari ubun-ubun bapak kos. Auto haha-hehe. Niska pun bersiap undur diri, tetapi terjeda oleh sebuah kalimat dari beliau. Katanya, "Kamu menyukai saya?" Galen berdiri, dia bahkan mendekati Niskala yang duduk di jok motor. Sejak tadi malah asyik mangkal sambil merecokinya. Maka apa namanya jika bukan karena Niska menyukai Galen? Bukankah ini sebuah pertanyaan telak? Lebih telak dari kejadian semalam. "Akui saja. Suka, kan?" Di tempatnya, Niska sampai bisa mencium aroma maskulin dari bapak kos. Sejenak dia membeku, merasakan debar di d**a yang kembali hadir. Niska yakin ini bukan karena telah jatuh cinta, hanya memang disebabkan oleh perangai Pak Galen yang mendebarkan. Well .... "Coba Mas pegang dadaku, yang terjadi di sana artinya suka apa bukan?" "Sinting, kamu!" Yeu! Niska lalu memegang dadanya. "Gini doang sinting." Tatapan itu lalu alih ke d**a Niskala, tepatnya pada punggung tangan. Yang sedang Niska rasa-rasa detakan di jantungnya, dia juga memandang wajah bapak kos secara terang-terangan. Semakin terasa berdebar di dalam sana, apalagi saat mata ini dan mata itu bersua. Pak Galen langsung memalingkan wajah, kembali mengelap mobil. "Masih mau dengar jawabanku, nggak?" "Sudah tahu." "Apa?" "Biasa saja." "Nggak, kok. Aku suka." Sekarang justru sebaliknya, justru Niska yang kekeh memberi tahu bahwa, "Jantungku deg-degannya beda." Pak Galen mendengkus. "Mana ada orang suka sama orang dengan nggak ada jaim-jaimnya seperti kamu." Niska juga berpikir begitu. "Ya udah kalau nggak percaya. Ngapain juga nanya kalau jawab sendiri?" So, Niska berbalik. Mereka berdebat begitu, tak tahu saja ada beberapa anak kos di lantai dua yang duduk bersandar pada dinding pagar balkon. Sesekali berdiri, mengintip-intip ke bawah sana. Salah satunya adalah Uci, dia datang lebih dulu daripada Niskala ke kosan. Asli, cui! Ini drama terbaik sepanjang mereka ngekos di kos Airlangga. Epic-nya lagi, mereka mendengar suara bapak kos yang bilang, "Nanti malam ikut saya ke acara reuni, siap-siap. Dan saya serius ngajak kali ini." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN