8 | Senjata Makan Hati

1998 Kata
"Apa, Mas, liat-liat?" Galen melengos, kembali fokus mengelap mobilnya biar kinclong. Tapi, yeah ... sekinclong-kinclongnya mobil itu diusap, tidak lebih kinclong dari wajah Niskala. Ini pagi. Sorenya .... "Kenapa kamu lihat-lihat?" Pak Galen yang nanya. Niska, sih, tidak berpaling. Dia justru semakin terang-terangan menatap wajah pria itu, dipertegas dengan ucapan, "Ada masa depanku di wajah Mas." Ciat-ciat-ciat! Baper nggak, tuh? Apa ilfeel? Dih, bodoh amat. Yang penting nyeletuk. Niska juga senyum. Pak Galen yang duduk di bangku biasa itu pun geleng-geleng kepala. Betul, Pemirsa! Niska juga sedang duduk di bangku depan terasnya. Daripada gabut di dalam, mending gabut di luar. Ada bapak kos soalnya. Setelah dirasa-rasa, Pak Galen bukannya galak, hanya memang menyeramkan aura dan tatapan matanya. Sejauh ini tidak pernah membentak, tetapi wajahnya itu memang seperti orang marah jika ada sesuatu hal yang menyinggung beliau. Macam saat Niska menjemur pakaian di depan kamar. Bapak kos tersinggung karena, kan, tempat jemuran sudah disediakan di rooftop. "Masa depanmu sesuram kuburan kalau begitu." Eh? Disahuti. Niska pikir tak akan ada respons setelah geleng-geleng kepala yang tadi itu. "Mas beneran denger obrolanku sama Uci waktu itu, ya?" Yang mengatai aura Pak Galen sesuram kuburan, ingat? "Suara kalian yang kedengaran sampai di tempat saya." "Iya, sih. Soalnya emang agak kenceng. Lagian aku pikir Mas nggak ada di kosan. Betewe maaf, lho." "Tidak akan pernah saya maafkan." Buset. Bibir Niska mengerucut. Dilihatnya Pak Galen membuka halaman buku selanjutnya, entah itu buku apa, tetapi cukup tebal. Dan kalian tahu? Pak Galen memakai kacamata. Makin rawr ternyata. Ehm! "Kalau boleh tahu ... umur Mas Galen tepatnya berapa, ya, sekarang?" "Sopan kamu tanya begitu?" Yeu! Galak, ah. Memang galak. Niska ralat kata-katanya sebelum ini yang bilang kalau Pak Galen tidak galak. "Aku bulan ini udah masuk tahun kedua puluh empat." Pak Galen diam, sama sekali tidak menyahuti. Normalnya cowok kalau digoda cewek cantik itu akan mengambil kesempatan untuk membuka jalan, kan? Entah ujungnya si cewek akan dipermainkan atau diseriusi. Namun, beliau konsisten membentengi diri. Niska sudah semenggoda ini pun tidak tergugah, jadi curiga kalau Pak Galen aslinya tidak single. Atau mungkin sudah ada tambatan hati? Ah, tetapi cowok di luaran sekali pun sudah berpasangan, ada saja tuh yang suka menanggapi godaan wanita lain. Apalagi godaannya datang dari manusia secantik Niskala, kan? Walau tidak lebih cantik dari Dikara. "Ya ... cuma kasih info aja, sih. Mana tahu aslinya Mas kepo, kan?" Pokoknya, Niska tidak mau berhenti menggoda bapak kos. Niat hati mau menerbangkan beliau dulu sampai kegeeran macam kemarin. Tapi ini jahat, sih. Ibarat kata, gagal move on-nya sama siapa, sasaran jailnya sama siapa. Hanya agar berhenti kepikiran tentang si cinta pertama. Niska akui jahat. But, bila memang nanti Pak Galen sampai baper dibuatnya, Niska siap, kok, tanggung jawab. "Dalam anganmu saja." Jiaaah! Niska tertawa. Entah kenapa, kok, lucu. Dari jawaban-jawaban itu terkesan jengkel, tetapi kenapa tidak memilih pindah tempat? Dan lagi, kenapa terus-menerus menanggapi? Bapak kos sepertinya memang krisis teman ngobrol, lalu Niska adalah satu-satunya orang yang mau berceloteh banyak kepada beliau, jadi enjoy-enjoy saja. Mungkin? "Ngomong-ngomong, Mas, kalau masakanku cocok sama selera Mas Galen. Bolehlah rekrut aku jadi ibu rumah tangga di hidup Mas." "Kamu nggak baca pesan saya kemarin?" "Soal tipe itu? Sebenernya kita sama. Mas juga bukan tipeku." "Lalu yang tadi itu apa?" Galen menoleh, tatapannya lantas bertemu dengan sorot jenaka milik Niskala. "Bercanda?" "Ya, menurut Mas?" Pak Galen berdiri, Niska auto siaga. Kok, jadi deg-degan, ya? Tatapannya bukan lagi runcing, tetapi terasa dalam menenggelamkan. Apa Niska sudah salah bicara? Tadi asyik-asyik saja perasaan. Lalu tanpa mengatakan apa-apa, beliau masuk ke kamarnya. Meninggalkan Niska yang ternyata sejak tadi sibuk tahan napas. W-well .... Niska bangun, mau masuk kamar juga kalau Pak Galen—keluar lagi ternyata. Niska urung masuk, apalagi bapak kosnya bilang, "Ayo!" Ayo? "Ayo ke mana?" "Ke rumah orang tua saya." "Hah?" "Mumpung sedang open rekrutmen ibu rumah tangga." Eh? Pak Galen buka gerbang. Tunggu, tunggu! Ini ... ini serius? Ada kunci mobil di tangan beliau, yang tentunya Niska hadang langkah pria dewasa itu. Belum Niska berucap, Pak Galen mendahului, "Atau nanti malam saja? Biar saya temui mereka dulu sekaligus memberi kamu waktu untuk siap-siap." Demi apa? Pak Galen pun melenggang, masuk mobil, Niska auto menyingkir memberi jalan. Lha, dia belum bilang apa-apa ini. Mulutnya masih mangap-mingkem, tetapi tak ada suara. Dan Niska menatap mobil bapak kos yang sudah melesat menjauh, Niska menatap sampai mobil itu tak lagi terlihat. Wait, wait! Ini beneran? Serius? Benar-benar asli? Pak Galen mengajak Niska ke rumah orang tuanya? Malam ini? Betul-betul sedang open rekrutmen ibu rumah tangga? Dan Niska ... kandidatnya? Kejadiannya begitu cepat, Niska bahkan sampai jetlag. Linglung sejenak. Beneran nggak, sih? *** Azan Magrib berkumandang, tidak biasanya Niska seberdebar ini menanti malam. Di samping itu, dia masih percaya tidak percaya. Perihal hati yang malah berbunga-bunga. Kenapa coba? Niska pegang d**a, merasakan gemuruh di dalam sana. Ini aneh, bukan? Kenapa malah deg-degan macam sosok yang mengajaknya datang ke rumah orang tua itu adalah Bang Daaron? Padahal, kan, jelas-jelas bapak kos. C'mon! Niska dilanda bingung atas respons hatinya sendiri. Dia tidak sedang jatuh cinta sama Pak Galen, kan? Ya, nggak, dong! Tapi .... Seolah ada kupu-kupu imaji dalam rongga perut, menggelitik, membuatnya semringah. Kenapa coba? Kenapaaa?! Tolong bantu Niska jelaskan atas apa yang dia rasa. "Kata aku, sih, kamu emang suka sama Pak Galen, Nis." "Nggak, Ci. Aku yakin nggak." "Nis, mulut bisa denial, tapi hati? Buktinya kamu deg-degan." "Ci, aku itu kalo suka sama cowok, mana berani aku godain dia. Malu duluan kalo aku ada rasa, Ci. Nggak gini, dengan sekonyong-konyong nggak peduli image, citra diri, dan t***k-bengeknya di depan bapak kos aku centil." "Ya, terus? Apa maksud hati yang kata kamu kayak berbunga-bunga, terus ini telapak tangan sampe dingin, bibir mesem-mesem, jantung juga dag-dig-dug ugal-ugalan. Apa maksud kalau bukan suka sama doi, Nis?" "Itu dia. Aku nggak bisa jelasin maksudnya apa, tapi aku yakin ini bukan karena aku suka sama Mas Galen." Mereka terdiam. Bertatapan. Tak lama, Niska lanjutkan, "Tapi ini euforianya kayak aku habis ditembak manusia yang kusuka, sih." "Kan!" tukas Uci. "Ya, tapi kalo dibilang aku suka Pak Galen, nggak juga." Uci mengerling. "Oh, atau ini cuma perasaan seneng karena aku seakan memenangkan pertarungan yang kubuat sendiri?" "Bisa jadi, sih." "Iya, kan? Orang kalo berhasil memenangkan sesuatu, pasti jantungnya berdebar-debar. Apa pun yang kita menangkan, pasti rasanya kayak aku sekarang, kan?" Uci berusaha keras memikirkan analogi Niskala tentang apa yang dirasakannya itu, sampai akhirnya menemukan satu contoh kecil yang pernah Uci alami. "Oh, kayak pas aku dapetin juara satu di sekolah." "Nah! Berdebar-debar, kan, Ci?" "Iya, Nis." "Mesem-mesem juga, kan? Senyum terus?" Uci mengangguk. "Itu yang kumaksud!" Niska menyimpulkan. "Oke, oke. Anggap aja begitu, ya, Nis? Senggaknya, buat sekarang ini." Niska mengangguk. Setuju. "Jam berapa katanya otewe?" "Habis isya, Ci." Benar, Niska sudah bertanya dan jawabannya ba'da isya. "Oke, abis salat nanti aku ke sini. Mau pinjam sepatu heels-ku, nggak? Seukuran, lho, kaki kita." "Aku nggak bisa pakenya." Maka dari itu Uci tidak melihat adanya sepatu hak tinggi di rak sepatu Niska. "Tapi ... boleh, deh. Jangan tinggi-tinggi banget, aku pinjam." Di rumah ada, sih. Itu pun hanya sekadar 'ada', tanpa Niska gunakan. Sejak dibeli, sepatu heels-nya berakhir jadi pajangan. Eh, sekarang giliran mau pakai malah pinjam sama teman. "Oke, sip. Ya udah, aku balik ke kamar dulu! Oh, ya, kalo make up, kamu ada? Apa mau polosan aja nanti? Tapi ketemu calon mertua, masa nggak dandan?" Niska terkekeh. "Ada, kok. Make up, sih, lengkap." Walau Niska tidak mahir bersolek, ya. Namun, dia punya mulai dari eye shadow, blush on, concealer, sampai pensil alis. Lengkap, deh. Niska tidak hafal kalau mau disebut satu per satu. Uci pun berlalu. Sekadar informasi, Pak Galen belum datang dari keberangkatannya sore tadi. Yang Niska baca-baca lagi room chat-nya bersama pria itu. Niskala: [Yang tadi itu beneran?] Niskala: [Maksudku, ke rumah orang tua Mas.] Mas Galen: [Ya.] Niskala: [Jam berapa?] Mas Galen: [Ba'da isya.] Seperti itu. So? Niska kelojotan. Ya, bagaimana tidak, kan? Ngomong-ngomong, ini Niska perlu bilang-bilang sama orang tua di rumah, tidak? Atau nanti saja saat masnya minta bertemu mereka? Yang pasti Niska cerita sama Dikara, sih. Dari sehabis magrib sampai azan Isya berkumandang. Tuhan .... Begini, ya, rasanya melakoni misi iseng-iseng berhadiah? Begitu dapat, kok, senang juga. Niska mengulum bibirnya. Nama Daaron Edzhar Reinaldi mulai terasa kabur dan diisi goresan nama baru di dalam sana, meski masih belum benar-benar terpatri. Mungkin setelah ini ... Niska akan mencoba menuliskan nama bapak kos sampai terbaca oleh desir hatinya sendiri. Nanti. *** "Ci, baju ini kalo aku pake ke sana nggak to much, kan?" Niska menunjukkan pakaian pilihannya yang sudah disetrika mendadak. Anak kos, maklum. Walau sesekali Niska juga pergi ke laundry. Uci auto menyilang tangan di depan d**a. "Jangan pake dress itu!" "Lho, kenapa?" "Warnanya terlalu ceria. Cocok banget, sih, di kamu. Tapi kita harus menyeimbangkan dengan sosok cowokmu juga." "Eh, harus gitu, ya?" "Biar serasi, kan? Kesan pertama itu penting, apalagi di mata calon mertua. Biar langsung kelihatan serasi gitu, lho, Nis." "Oh ... oke. Bantu aku pilih kalau gitu." Lemari Niska dibuka lebar-lebar. Uci mencari-cari, dicocok-cocokkan. Untuk saat ini dia auto cosplay jadi stylish Niskala. Dipilihnya dress dengan warna bumi, daripada yang Niska pilih semula, ini lebih kalem menurut Uci. Panjangnya sama sebetis memang, berlengan pendek juga, toh yang dia permasalahkan adalah warna dan coraknya. Kali ini polos, hanya ada kerut di bagian d**a. Model dress payung, bukan jenis duyung yang lebih menunjukkan lekuk tubuh. "Nah, ini aja, Nis." Niska pun lekas berganti pakaian. Uci lantas mengacungkan dua jempol sesudahnya. Niska tinggal dirias, berhubung kemampuan Uci lebih oke daripada Niskala di bidang bersolek. Riasan tipis saja, yang penting memesona. "Kulit kamu sehat banget, Nis." "Makasih." Niska senyum. Kelopak matanya menutup, sedang diwarnai. "Eh, itu suara gerbang dibuka nggak, sih?" "Kayaknya bapak kos udah balik buat jemput kamu. Tenang, tenang, ini sebentar lagi selesai. Polesan terakhir." Gincu Niska diombre. Karena kulitnya putih, jadi cocok dengan warna pink. "Cantik banget, gilak!" Uci bangga dengan hasilnya. Niska mesem-mesem. Bagaimana kalau Uci melihat kembaran Niskala, ya? Lebih cantik darinya. Oh, pas sekali. Ponsel Niska bunyi, ada nama Mas Galen di layar. "Saya di luar." "Iya, Mas. Aku ke luar." "Luar gerbang." "Oke, oke." Uci dan Niska main mata, sama-sama mengerling. Demikian cara mereka berkomunikasi selain dengan ucapan. *** Duduklah Niska di sisi kemudi. Untuk kali pertama dia singgahi mobil bapak kos. Yang Niska lirik sang empu mobil ini, Pak Galen telah mulai tancap gas. Asli, ya? Benar-benar asli mau diajak ke rumah orang tua Pak Galen, ya? Wah .... Berasa mimpi. Niska lalu menunduk, ingin tersenyum soalnya, tetapi tak mau kedapatan tersenyum oleh Pak Galen. Gengsi, dong! Kan, sudah bilang om-om ini bukan tipenya. Tapi, kok, senang? "Ng ... kita nggak beli sesuatu dulu, Mas? Buat buah tanganku gitu. Mampir dulu di toko kue, boleh? Nggak enak kalau tangan kosong." Pak Galen melirik, Niska refleks menggigit bibir bagian dalamnya. Kok, deg-degan banget, sih? Kok, makin brutal detak di jantungnya, sih? "Boleh." Tapi Niska bisa jamin dirinya tidak sedang naksir pria ini, kok. Sumpeh! Soalnya kalau suka, Niska itu tipe yang tidak terang-terangan menggoda. Kepada Bang Daaron seperti itu soalnya. Dan pengalaman jatuh cinta Niska hanya demikian. Tiba di toko kue. "Orang tua Mas suka rasa apa?" Ini serius, kan? Kenyataan, kan? Tapi, kok, berasa janggal, ya? Berasa ... apalah gitu. Paham? "Cokelat." Fix, Niska ambil yang itu. Detik demi detik. Saat berjalan pun Niska sehati-hati mungkin karena dia pakai heels. Saking apanya coba? Pilih-pilih baju, dandan, lalu memakai sepatu hak tinggi yang tak begitu bersahabat dengannya. Niska tidak mengerti. Kejadiannya begitu cepat. Secepat Niska datang di tempat kosnya lagi. "Rumah orang tua Mas ... di sini?" "Menurut kamu?" Niska mengerjap. "Ini kosan." "Ya, memang. Kan, saya cuma bercanda." "Bercanda?" Pelan suara Niskala. "Iseng juga." Iseng? "Ya, tadinya malah nggak niat ke mana-mana. Tapi, kok, kasihan lihat kamu sudah dandan." Adalah detik di mana Niska gegas turun dari sana, masuk ke gerbang, dan nyaris jatuh karena memakai sepatu heels. I-ini ... apa-apaan? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN