7 | (Nggak) Suka Om-Om

2052 Kata
Sudah cukup sakit hatinya, ya, Cantik. Ayo sekarang sambut hari dengan senyuman semanis janji pria. Namun, mata bengkak bin wajah sembap Niska membuatnya uring-uringan kembali. Dia sedang becermin. "Aduh ... malu banget mau keluar." Eh, pintu kamar malah diketuk. Siapa, tuh? Baru kali ini daun pintu terasa horor. "Siapa?" "Saya." "Saya siapa?" Niska tahu, sih, dari suaranya itu Pak Galen. Makanya sebisa mungkin tidak usahlah Niska buka pintu. "Galen." Tuh, kan. Lagian mau apa coba bertamu ke kamar perempuan? "Ada apa?" "Ada oleh-oleh dari Yogya." Eh? "Oh ... cantelin aja di handel pintu, Mas. Aku lagi nggak pake baju—maksudku, baru beres mandi!" Ini dusta. Niska berdebar. Salah bicara tidak, ya, dia? Kok, Pak Galen diam saja? Niska ingin mengintip dari jendela, tetapi takut ketahuan bahwa dirinya berbohong. Nyatanya, Niska masih pakai piama semalam, kok. "Saya simpan di meja, ya." "Oh, oke. Makasih, Mas!" "Ya." Niska menempelkan telinga ke pintu, berharap dapat mendengar sesuatu. Adapun suara langkah teraba gendang telinga, apa itu tanda Pak Galen berlalu? Yang mana kemudian terdengar suara ketuk pintu, sepertinya satu per satu kamar didatangi untuk dibagi oleh-oleh. Kenapa tidak menginfokan di grup saja, ya? Mesti banget door to door begitu? Tapi mungkin sekalian pengecekan. Kan, di berita ada, tuh, penghuni kamar meninggal tanpa ada yang tahu. Niska pun mengedik bahu, ngapain dia keras-keras berpikir ke arah situ? Ini Pak Galen kapan pergi ke Yogyakartanya, deh? Kok, tahu-tahu berbagi oleh-oleh? Apa yang kemarin itu, ya? Saat Niska modus shower rusak. Dibukanya pintu kamar dengan sangat perlahan, lalu menoleh kiri dan kanan. Setelah dirasa aman, Niska pun mengambil kresek jinjingan. Eh, tak sengaja tatapan tergelincir ke arah lantai dua, di situlah Niska mendapati Pak Galen sedang memandangnya. Ketahuan! Niska belum mandi. Auk ah! Masuk kamar saja, lalu kunci. Yang penting tidak melihat wajah jeleknya pagi ini. Dari jauh, kan, nggak ngaruh. Untungnya lagi, Niska tidak ada jadwal bepergian. Mendekamlah dia di kamar sampai mata bengkak bin wajah sembapnya menghilang. Untungnya hari itu sudah berlalu, berganti dengan hari ini. Niska sudah cantik. Dia mau jalan-jalan. Pak Galen juga tidak kelihatan di kosan, mungkin sedang mendatangi kediaman wanita itu lagi. Yang mengangkat telepon Niska, ingat? Oke, sip. Dia pakai helm dulu. Menaiki motor matic warna abu dan pink. Tentu saja warna-warna soft, itu perpaduan yang cantik di matanya. Niska pun melenggang. Dia paling suka jalan-jalan sendiri. Mau menjajal jajanan di tempat yang Niska tandai, dia menemukan tempat tersebut dari postingan media sosial orang. Ada kedai ramen enak di dekat studio modeling. Meluncurlah ke sana. Tanpa pernah menduga akan melihat sesosok tinggi besar menyerupai bapak kosnya. Lho, kok? Pak Galen, kan, itu? Ngapain berdiri di teras studio? Apa jangan-jangan benar lagi bahwasanya beliau bohong tentang status single kepada pipi. Bisa jadi, kan? Ternyata punya cem-ceman di sini. Model atau masih calon model, mungkin? Ini studio bagi orang-orang yang pengin jadi model. Dan Niska berhenti tepat di area parkir kedai ramen sebelah bangunan studio itu. Dulu Niska pernah memimpikan jadi bagian dari studio ini, tetapi sadar diri memakai sepatu heels saja dia tersandung. Jauh beda dengan Dikara yang anggun dan spek model tanpa cela. Oh, oh! Pak Galen melihat ke arah sini. Niska pun melengos dan memutuskan masuk ke kedai. Memilih tempat di sisi jendela, saat itulah Niska melihat Pak Galen berjalan bersama seorang wanita memasuki mobilnya. Sumpah! Wanita itu cantiiik sekali. But, lebih tua dari Pak Galen tampaknya. Gegas saja Niska hubungi informan terpercaya, Uci. "Halo, Nis. Kenapa?" "Ci, aku mau nanya. Mas Galen ini punya kakakkah?" Syukurnya, Uci tipe yang sangat fast respons. Ditelepon, langsung diangkat. "Oh, setahu orang-orang sini, sih, anak sulung. Kenapa gitu?" "Kakak perempuan, nggak punya?" "Adanya adik, sih, kalau gak salah." Tapi tadi si wanita terlihat lebih tua, yang tidak mungkin juga kalau itu ibunya. Terasa terlalu muda untuk disebut ibu Pak Galen. "Kenapa, sih, Nis? Ada apa?" "Ini, lho, Ci. Aku lihat Mas Galen jalan sama cewek. Cantik, Ci. Tapi kayak lebih tua. Apa Mas Galen simpanan tante-tante, ya?" "Buset." "Serius, Ci." "Ya, nggak simpanan juga kali, Nis! Mungkin emang seleranya sebagai laki-laki pengin jadi berondong, makanya jalan sama yang lebih tua." "Padahal dia bilang single, lho, Ci." "Harus hati-hati berarti, Nis. Kamu cari tahu dulu yang banyak soal dia, deh. Takutnya iya udah ada gandengan, entar kamu dilabrak lagi." "Iya, ya? Aku harus mastiin dulu, ya?" "Atau ... gimana kalo kamu kukenalin sama temennya mas pacar aja?" "Ngaco!" tukas Niska. "Tujuan aku godain bapak kos, kan, karena suka sama kepribadiannya. Suka dalam arti ... enak, nih, buat digodain, diisengin. Bukan yang serius mau cari pacar, Ci." "Tapi kalau begini, kok, takut jadi bahaya, ya, Nis? Maksud aku, Pak Galen juga, kan, masih abu-abu banget. Sekali pun ada info soal beliau, ya, nggak sampe mendetail. Malah tersiar kabar kalo doi duda, terus kamu bilang single, terus ini malah lihat dia jalan sama cewek yang lebih tua. Nah, lho, gimana?" "Fix, sih, kayaknya harus aku tanya langsung ke orangnya." "Njay. Bisa gitu, ya, Nis?" Niska terkekeh. "Jangan bilang ... sebenernya kamu naksir bapak kos beneran lagi?" "Ih, nggak. Ya kali! Aku gak suka om-om." "Ah, masa? Nggak suka, tapi, kok, segitunya?" "Uci ... bapak kos kita bukan tipeku banget." Kalau mau tahu, tipe cowok Niska itu yang seperti Bang Daaron. Jauhlah jika dibandingkan dengan Pak Galen. Jauuuh sekali. Masa yang tadinya mengidolakan pria spek pangeran, jadi amblas ke yang modelan Gaston? Tahu Gaston? Dia tokoh pria antagonis di film Beauty and the Beast. "Iya, deh, iya." "Ya, iya. Eh, udah dulu kalo gitu. Ramenku datang." "Lha, kamu otewe gak ajak-ajak aku, Nis!" "Butuh me time, Girls. Dah, ya? Jumpa lagi di kosan. Bye!" Niska akhiri. Dia pun tersenyum dan berterima kasih kepada pramusaji. Mantap, nih. Dari kuahnya saja sudah kelihatan enak sekali. Menyegarkan! Yang mana saat hendak menyuap, Niska tersadar sesosok pria di depannya. Yang duduk memunggungi itu adalah sobat akrab Bang Daaron. Tidak sendiri. Kak Garda dihampiri seorang wanita yang membawa serta batita di gendongan. Kalau Niska tidak salah ... itu, kan, ponakannya Pak Galen! Yang pernah duduk di pangkuan Niska. Lho, lho? Kombinasi macam apa ini? Ponsel Niska bergetar, membuatnya terkesiap saja. Mas Galen. Adalah nama kontak yang terpampang di notif chat masuk. Niska klik, membacanya. Mas Galen: [Yang tadi itu ibu saya.] Wait. Niska baca ulang sampai tiga kali. Mencerna situasi. Mas Galen: [Termasuk yang angkat telepon kamu tempo lalu.] O-oke. But ... apa maksud? I mean, kenapa sampai memberi tahu tanpa Niska bertanya? Kenapa sampai menjelaskan tanpa Niska mengatakan apa-apa? Janggal, tidak? Terus ini Niska balas apa, ya? Niskala: [Mas simpan alat penyadap di tubuhku apa gimana?] Ngaco memang. Yang di sana pasti geleng-geleng kepala membaca balasan pesan darinya. Niskala: [Kok, bisa sampai tahu isi kepalaku?] Mas Galen: [Mudah terbaca.] Kening Niska mengernyit. Niskala: [Maksudnya?] Tidak dibalas, bahkan sampai Niska menghabiskan setengah mangkuk dari ramennya. Niskala: [Mas, aku lihat ponakan Mas yang waktu itu di sini. Aku lagi di kedai ramen, btw.] Apa jangan-jangan Kak Garda mendengar hal-hal yang Niska ucapkan kepada Uci? Lalu Kak Garda memberi tahu Mas Galen? Kayaknya mereka kenal, tuh. Soalnya Kak Garda duduk bersama wanita yang menggendong si ponakan bapak kos. Duh! Mas Galen: [Iya, saya lihat kamu tadi. Kamu juga lihat saya.] Benar. Niskala: [Betewe, kenapa Mas ngasih tahu soal ibu Mas barusan? Kan, aku nggak nanya. Nggak bilang apa-apa juga.] Mas Galen: [Antisipasi saja sebelum kamu bergunjing sama anak kos saya seperti waktu itu.] Uhuk! Niska meneguk air mineralnya. Niskala: [Dih. Nggak keleuuus! Ngapain? Kayak gak ada kerjaan aja gunjingin Masnya.] Mas Galen: [Benar juga. Itu, kan, bagian dari pekerjaan kamu. Termasuk soal berbohong sedang tidak pakai baju, terus bohong juga soal air hangat di shower.] Niska mencebik, tetapi kemudian mesem-mesem. Mas Galen: [Boleh saya to the point?] Baru juga mengetik, pesan Pak Galen muncul lagi-muncul lagi. Auto Niska menghapus lagi dan hapus lagi. Dia ganti isi chat-nya. Niskala: [Boleh.] To the point apa coba? Lagi pula sejak tadi apa namanya kalau bukan to the point? Oh, atau basa-basi? Lha, terus ngapain— Mas Galen: [Kamu bukan tipe saya.] A-APA?! Apa dia bilang? Tunggu, tunggu! Ini ... wajah Niska merah padam. Bagaimana tidak? Dia malu, kesal, dan sangat tersinggung. Niskala: [Maaf, Mas. Bilang gitu maksudnya apa, ya?] Dan tidak dibalas. Sama sekali tidak, hanya dibaca. Ih, kok, nyebelin? Kok, Niska jadi ... apa, nih? *** Tidak pulang ke kosan. Niska bete dan dia langsung masuk kamar, melewati mimi selepas cium tangan. Bagaimana ini? Dipikir-pikir, Niska sudah mempermalukan diri sendiri, sih, ya? Argh! Sadar, kok. Tapi .... Kan, nggak serius. Apa tidak bisa Pak Galen membiarkan Niska berlaku sesuka hati lebih lama? Kenapa malah bilang gitu di saat semalam Niska bahkan baru dibuat patah hati oleh si cinta pertama. Niska oh Niska. Ini tidak bisa dibiarkan! Kok, berasa ditolak, padahal tidak sedang menyatakan perasaan? Oleh bapak kos incaran jailnya pula. Dipikir Niska serius kali, ya? Pokoknya, awas saja! Niska ceritakan kepada Dikara. Sang kembaran malah terkekeh. "Terus rencana kamu apa ke depannya, Nis? Mau tetap ngekos di situ?" "Teteplah. Aku harus nunjukin kalo aku nggak lagi ngejer-ngejer doi, kan, Ra? Lagian aku cuma iseng." "Benar." Maka dari itu, Niska kembali lagi ke kosan sebelum pukul tujuh malam. Dia sudah menyiapkan mental untuk ini. Untuk menghadapi bapak kos. Tapi, kok, makin dekat ke tujuan, Niska makin gelisah, ya? Makin menyusut keberaniannya. But, Niska tidak mau berakhir memalukan seperti itu. Sampai-sampai punya niat yang lebih serius sekarang untuk memenangkan hati Pak Galen. Agak lain memang dirinya. Tuh, kan! Niska masuk, Pak Galen sedang duduk di depan kamar beliau seperti biasa. Melirik Niska. Yang mana dirinya menghampiri pria dewasa berkaus biru itu. "Apa ini?" Pak Galen mempertanyakan paper bag yang Niska julurkan. "Makasih untuk oleh-olehnya. Silakan diterima, Mas. Aku sendiri yang bikin." Pak Galen pun meraih paper bag itu. "Terima kasih." Niska mengangguk, lantas berlalu ke kamar. Di tempatnya, Pak Galen mungkin heran. Ya, haruslah. Harus heran supaya kepikiran. Cinta itu, kan, datangnya tidak hanya dari mata turun ke hati, tetapi dari pikiran juga bisa. Dan di sini, Galen meraih isi paper bag dari Niska. Mengeluarkannya. Ada boks makanan yang bersusun-susun. Kening Galen sampai berkerut. Ini terlalu berlebihan kalau hanya untuk ungkapan rasa terima kasih atas oleh-oleh darinya. Galen bongkar di meja teras. Ada nasi pulen, ayam rica-rica berdaun kemangi, tumis kangkung aroma terasi, kemudian sambal medok cabai merah. Itulah isi dari tepak bekal susun kiriman Niskala. Galen pun menoleh menatap pintu kamar gadis itu, lalu menatap hidangan di meja. "Widih. Apa, tuh, Bang?" Galen menatap sosok pria yang baru saja datang memasuki kawasan indekosnya. Ini Garda. "Ada apa?" Garda menyodorkan bingkisan. "Dari Mama Gea. Keingetan Abang katanya." "Oh. Terima kasih." Garda mengangguk. "Mama nanyain, kapan main ke rumah lagi?" "Nanti—jangan asal comot!" Yang Galen pukul pelan lengan sang adik. Garda memang menjulurkan tangan hendak mencomot tumis kangkung yang sepertinya enak di situ. "Cuci tangan dulu," imbuh Galen. Dan di dalam kamarnya, Niska menguping. Lagi-lagi nemplok di pintu. Sebisa-bisa ingin mendengarkan perbincangan di luar. Tadi itu suara Kak Garda, lalu datang ke sini dan menyebut 'abang' kepada Pak Galen? Lha, jadi mereka betulan ada hubungan spesial? Adik-kakak? Ya ampun! Niska ingin mengintip, tetapi tak bisa, kecuali kalau kepalanya sampai nongol ke luar jendela. Ya, gila saja! Ah, sudahlah. Niska mending nugas, lanjut mengerjakan tugas akhir dari kampusnya. Di luar .... "Enak, Bang. Dapet dari mana?" "Orang." "Ya, tahu. Tapi siapa gitu orangnya?" Galen tidak menjawab, memilih sibuk makan. Makin enak lagi karena dipadukan dengan masakan Mama Gea. Meski tidak selezat masakan Niskala, tetapi karena Mama Gea adalah ibu kandung Galen maka urutannya masakan mama nomor satu. "Pacar, ya?" Hati-hati Garda bicara. "Apa calon?" Setahunya, itu bahasan sensitif bagi sang kakak. Namun, lalu ini apa? Sepaket makanan rumahan. Kalau bukan dari perempuan, terus siapa? Dan kalau perempuan, siapa juga jika bukan gebetan. Iya, kan? Sayangnya, sampai esok hari tiba pun Galen tidak mengatakan apa-apa selain mempersilakan Garda pulang. Dan di esok hari itu, Galen kembalikan kotak makan bersusun milik anak kosnya. Sudah dia cuci bersih pagi tadi. Sekali lagi Galen ucapkan, "Terima kasih. Masakanmu enak." "Oh, jelas. Kan, pakai jampi-jampi. Ada peletnya juga." Bisa dibayangkan bagaimana reaksi bapak kos? Betul, seperti yang ada di kepala kalian. "Canda, Mas." Niska kibas-kibaskan tangan. "Udah, lemesin. Toh, aku cuma bercanda. Kalaupun mau melet, ya, bukan om-om target peletku." Sorry, ya. Niska nggak suka om-om, tuh! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN