"Nis!"
Merasa dipanggil, Niska menoleh. Dia mendapati Bang Daaron di pelataran kampus. Seketika jadi pusat perhatian orang-orang yang melintas.
"Lagi ngapain di sini, Bang?" Meski enggan, tetap Niska hampiri.
"Jemput kamu."
Niska eratkan pelukannya pada buku. "Ngapain jemput?"
"Kok, ngapain? Ini, kan, hari ulang tahun kamu. Jangan bilang lupa sama ultah sendiri?"
Oh, iya.
"Yuklah! Abang udah nyiapin pesta kecil-kecilan. Nih, pake helm dulu."
Niska ragu menerima juluran helm itu, hal yang membuat Bang Daaron memasangnya sendiri di kepala Niska.
Kenapa, sih?
Kenapa Bang Daaron harus memperlakukannya seperti ini? Padahal, kan, dia tahu kalau Niska mencintainya. Harusnya tahu juga kalau perlakuan manis sekecil apa pun terhadapnya bisa membuat hati Niskala porak-poranda.
"Ayo, naik!"
Bang Daaron over semangat.
Untuk apa juga menyiapkan pesta? Untuk apa sampai sebegininya kalau cinta Bang Daaron ada buat Dikara dan bukan Niskala?
Memang tidak dikemas hingga mewujud kejutan, tetapi tetap ini membuat Niska merasa dispesialkan.
Oke. Di mata Bang Daaron pasti tindakannya itu lebih kepada menunjukkan rasa sayang abang untuk adik. Tapi, kan, Niska ... mencintainya.
"Nis?"
"Eh, iya."
Bang Daaron senyum.
"Aku naik, nih, ya!"
"Sip."
Ini hari ulang tahun yang kedua puluh empat. Niska dijemput Bang Daaron dan digiring masuk rumah. Sampai saat dirinya buka pintu kediaman Pipi Wili, sambutan suara balon meledak dan terompet ulang tahun berbunyi. Disusul suara nyanyian happy birth day.
Niska tentu terkejut. Terkejutnya karena saat masuk, dia sedang melamunkan Bang Daaron.
"Selamat ulang tahun, ya, Cantik!" kata mimi.
Niska dikecup pipi kiri dan kanannya, juga dipeluk.
Ah, kalau begini Niska tidak bisa untuk tidak terbawa suasana.
"Semoga berkah umurnya, Sayang." Pipi pun memeluk. "Sehat dan bahagia selalu." Oleh pipi, kening Niska dikecup.
Sontak dia memejam, menikmati kecupan sehangat pelukan orang tua. Sampai rasanya ingin menangis. Sangat disayangkan, Dikara tidak di sini. Kembarannya merayakan hari ulang tahun di luar negeri atau bahkan tidak sama sekali.
Coba kalau Dikara di sini, mungkin dia mendapatkan hadiah cincin lamaran dari Bang Daaron. Mungkin Bang Daaron mengucapkan selamat ulang tahun dengan tatapan penuh cinta, lalu berlutut dan memberikan hadiahnya.
Mungkin ....
Niska menjadi saksi mata dengan hati yang teriris-iris melihat mereka.
Entah sekarang Niska keterlaluan atau tidak merasakan syukur sebab Dikara belum kembali. Parah, ya?
Hati Niska belum siap dirasa kalau melihat adegan romansa mereka; Bang Daaron dan Dikara.
Nanti.
Akan tiba saatnya nanti Niskala siap, bahkan saat melihat pertautan bibir paling sengit sekali pun dari sosok Dikara dan pria yang Niska cintai saat ini.
Tapi, masih 'nanti'. Dan entah nantinya itu kapan.
"Selamat ulang tahun, ya, Nis. Nih, Abang punya kado buat kamu."
Niska menerima hadiah itu. Dia goyang-goyangkan. "Apa, nih, isinya? Boleh aku buka sekarang, Bang?"
Biasa saja biasa. Niska sedang bersikap biasa agar tidak mencirikan bila hatinya telah dibuat jatuh oleh putra sulung Om Reinal, sekali pun Bang Daaronnya sendiri sudah tahu.
Bang Daaron juga sedang berpura-pura. Sama saja dengan Niskala. Kepura-puraan inilah yang akan menyelamatkan hubungan mereka agar tidak jadi canggung dan asing.
"Buka aja." Bang Daaron senyum.
Niska juga. "Potong kue dulu, deh. Mana kuenya, nih? Aku juga mau tiup lilin."
Yang lain tertawa.
Kue tar dibawakan oleh mimi. Kembali bernyanyi 'Selamat Ulang Tahun'. Niska pun meniup lilin dan bertepuk tangan.
Dia bukan anak kecil memang, tetapi seperti inilah dirinya diperlakukan oleh orang-orang tersayang. Wajar bila di usianya sekarang Niska beruara Tadika Mesra, kan?
***
[Ra, selamat ulang tahun untuk kita. Kamu di sana apa kabar? Teleponku nggak diangkat, kamu sibuk, ya?]
[Btw, Bang Daaron kangen.]
"Nih, udah aku tambahin, tuh, chat-ya. Puas, Bang?"
Bang Daaron haha-hehe. "Makasih, Nis."
Bibir Niska mengerucut.
Dasar cowok jahat!
Ingin Niska bilang, sebaiknya nggak perlu pura-pura nggak tahu tentang perasaannya agar tidak perlu menunjukkan sejelas itu perasaan suka Bang Daaron terhadap Dikara padanya. Niska tidak akan nekat maju, kok. Tak akan dia ungkapkan juga perasaannya.
Jadi, Abang nggak perlu menunjukkan padaku sejelas itu kebesaran cinta Abang buat Dikara. Aku tahu. Aku juga nggak ada niat buat meneruskan perasaan sukaku ke Abang.
Karena ini menyakitkan.
Namun, Niska tidak berani bilang.
Hanya berharap agar hatinya lekas membersihkan nama Daaron Edzhar Reinaldi.
"Coba sana Abang chat Kara sendiri pake nomor baru atau apa, kek, gitu."
"Udah, Nis." Senyum Bang Daaron lalu kecut.
Ya, sama ngenesnya juga, sih. Seperti sama-sama sedang mengalami cinta bertepuk sebelah tangan.
"Sabar, ya," ucap Niska, menepuk-nepuk bahu Bang Daaron. Padahal, dirinya sendiri justru yang harus diberi kata penguatan.
"Makasih, Nis. Abang sayang sama kamu, sesayang Abang sama Ilias."
Ilias adalah adik kandung Bang Daaron.
Niska tahu.
"Aku juga sayang sama Abang," sahutnya. Dengan senyum merekah, tetapi hati serasa berdarah.
But, lega.
Akhirnya telah Niskala katakan, meski bukan pernyataan cinta.
Dan, ya ... kepala Niska diusap. Bang Daaron terkekeh kemudian. "Tetep jadi Niskala adiknya Abang yang paling Abang sayang, ya? Ternyata kamu setingkat di atas Ilias."
Dikara tidak dianggap adik. Oh, jelas!
"Abang juga, tetep jadi abangku yang paling sayang sama aku, ya?" Rasanya, mata Niska memanas.
"Pasti."
"Boleh peluk, Bang?" Lidah Niska tergelincir, yang setelahnya dirasa kelu.
Niska dipeluk.
Tanpa berucap apa-apa lagi, Bang Daaron mendekapnya.
Sial.
Niska ingin menangis di sini. Di pelukan Bang Daaron, pria yang Niskala cintai sejak kecil. Namun, sepertinya detik inilah perasaan cinta itu Niska lepaskan.
Ikhlas.
Ikhlas, Nis.
Udah, ya?
Udahan, ya, cinta sama abangnya?
Udah, please ....
Benar saja, dia menangis. Bang Daaron mengusap-ngusap punggungnya, menenangkan, yang justru membuat tangis Niska semakin eksis.
Bagaimana ini?
"Ah, aku jadi melow, Bang. Baperan, deh, aku. Senengnya punya kakak laki-laki." Bullshit!
Niska melepas dekap itu, sudah dia pupus air matanya. Yang lalu menyembunyikan tatap dari Bang Daaron.
"Abang juga, kok. Cuma karena laki aja, makanya nggak nangis. Tapi sama melow di lubuk hati terdalam, Nis." Sembari terkekeh.
Barulah saat itu Niska bisa tersenyum. Bisa menatap wajah Bang Daaron. Dalam benaknya seakan mengatakan selamat tinggal. Niska kalah, bahkan sebelum bersaing. Tak akan mungkin berani bersaing, karena yang ada di hati Bang Daaron adalah Dikara—kembaran yang juga Niska kasihi.
***
"Aku udah selesai, Yu!"
"Aku udah end, Aridaaa!"
Betul sekali, Niska langsung meminta waktu sahabat di zaman sekolahnya untuk membicarakan ini. Beruntung Ayu dan Arida sedang luang, demikian mereka tengah teleponan di grup persohiban.
"Aku udah selesai ...." Di sela isak tangisnya.
Oh, akhirnya Niska balik ke kos setelah merayakan hari ulang tahun yang kedua puluh empat ini.
"Selesai gimana maksudnya, Nis? Udah move on atau? Biar gue nggak salah kasih ucapan gitu."
"Mana mungkin orang move on nangisnya sampe sesenggukan, Yu. Pasti selesai yang dimaksud itu kamu udah ungkapin perasaan ke doi, ya, Nis? Terus ditolak?"
Niska meraih tisu. Dia buang ingus. "Move on-nya masih proses."
"Oke. Pelan-pelan ceritain. Udah lama juga kita nggak ngobrol," tutur Arida.
Niska mengangguk walau mereka tak lihat.
"Gue kira udah end dari lama, Nis. End yang dalam arti move on gitu," seloroh Ayu.
Ya, gimana, ya ....
"Dia cinta pertamaku sekaligus aku naksir dari kecil soalnya, Yu. Susah. Mana setiap saat masih seliweran dan sikapnya manis banget. Mleyot terus tiap lagi usaha buat move on. Nggak gampang."
"Okay. I see I see, Nis. Jadi, gimana itu tadi? Selesai gimana?" ucap Ayu.
Niska menarik napas panjang, bercerita. "Singkat aja, ya? Intinya, Bang Daaron tahu soal perasaanku, tapi dia pura-pura nggak tahu—"
"What?!"
"Sejak kapan itu?"
Ayu dan Arida menyela.
"Dengerin dulu," timpal Niskala. "Soal itu aku nggak tahu dari kapan, tapi kayaknya udah lama sadar. Hebat, ya? Kalau aku nggak denger obrolan Bang Daaron sama temennya, kurasa aku gak bakal sadar bahwa dia tahu perasaanku. Dan selama ini suka nunjukin banget di depanku kalau Bang Daaron cintanya sama Dikara, ya, supaya aku nggak ungkapin. Bang Daaron sendiri takut hubungan kami jadi nggak sebaik yang ada saat ini. Sama kayak aku, takut canggung dan asing."
"Terus, terus?" Ayu penasaran sekali sepertinya.
"Nah, terus ...." Tangis Niska pecah lagi. Terisak-isak. "Terus ... Bang Daaron di hari ulang tahunku kayak yang menegaskan soal kami. Bahwa dia ke aku itu, ya, sebatas menganggap adik. Nggak lebih."
HUAAA!
Ini menyakitkan, asal you know.
"Dan ... dan aku minta peluk. Momennya pas, sih. Sebagai adek ke abang."
Serempak Ayu dan Arida bilang, "Aaa! Sini peluk, Nis!"
Makanya Niska terisak. "Aku bilang juga, kan, tuh. Aku sayang Abang. Gitu. Soalnya, Bang Daaron duluan yang bilang sayang sama aku ... sebagai kakak ke adek."
"Ah, Nis! Sediiih!"
"Makanya, Yu ...." Niska sesenggukan. "Gimana ini? Air mataku lancar jaya eksisnya. Aku capek nangis terus, kepalaku pusing, hidungnya mampet juga."
"Cup, cup, cup, Sayang ...." Arida menenangkan.
"Sekarang tarik napas, tahan, terus keluarin. Ulangi beberapa kali. Jangan lupa cuci muka."
"Dan kita udahan bahas Bang Daaronnya, ya? Udah fix end, kan, sekarang? Kita bahas hal-hal yang bikin kamu seneng dan bisa teralih aja."
Itu kata Ayu dan Arida, Niska mengangguk lagi.
"Atau kamu tidur aja, Nis. Kasihan palamu pusing. Udah jam sebelas malem juga. Nanti takutnya malah tambah pusing dan pilek beneran lagi."
So, sambungan nirkabel tersebut diakhiri dengan janjian teleponan lagi besok.
Oh, sebentar!
Niska melihat ada chat masuk dari kontak bapak kos. Pesan itu dikirim saat Niska masih teleponan dengan kawan-kawan.
Mas Galen: [Sudah masuk jam tidur, kenapa masih berisik?]
Wait.
Niska sampai bangun terduduk.
Bukan terkejut dengan isi pesan yang menunjukkan bahwa suara Niska kedengaran sampai tempat di mana Pak Galen berada, tetapi terkejut soal sosok itu ... bukankah ini isi chat-nya tergambar sangat perhatian? Ukuran bapak kos galak, tidakkah ini suatu gebrakan bahwa Niska sudah menjadi lebih dekat dengan beliau?
Barangkali hanya begini ke Niska, ke yang lain tidak. Oh, besok akan Niska tanyakan kepada Uci. Pernahkah Pak Galen menegur salah satu anak kosnya di chat pribadi malam-malam?
Niska jadi ingat malam Minggu kemarin, deh, jika begini. Merasa selangkah makin dekat dengan bapak kos.
Di mana saat itu ....
"Mas mau jajan juga?"
"Iya."
Tapi kenapa harus jajan yang samaan dengan Niskala?
"Punyaku berapa itu jadinya? Kok, malah dibayarin Mas Galen semua."
"Anggap upah jalan saja."
"Upah jalan?"
"Menemani saya ke depan."
Menemani?
Ini siapa yang menemani siapa sebetulnya?
Percayalah, sampai detik ini masih Niskala pertanyakan.
Atau ... Pak Galen mulai naksir?
Tapi, kok, secepat ini?
Memangnya mungkin?
***