Niskala: [Malam, Pak.]
Oke, sip. Terkirim!
KYAAA!
Niska berdebar. Dia sudah mulai beraksi. Serius mau godain bapak kos. Segala interaksi dengan beliau mulai terasa seru. Niska positive thinking dengan ini dirinya bisa move on dari Bang Daaron.
By the way, apa tadi harusnya sebut mas saja, ya? Jangan pak.
Ah, sudah dibaca!
Ya ampun, ya ampun!
Makin berdebar saja jantung Niskala. Di sebelah kira-kira Pak Galen sedang apa, ya? Duh. Di sini Niska sedang kelojotan di kasur. Bisa dibayangkan, kan?
PAK GALEN MENGETIK, GUYS!
Oke, tenang.
Kalem, Niska. Plis!
Kenapa malah cosplay jadi reog gini, sih?
Ehm.
Muncul balasan pesan dari kontak bapak kos, d**a Niska dag-dig-dug, jemari pun mendingin, sementara hati terasa menghangat.
Bpk Kos Galak: [Ya.]
Beuh!
Singkatnya ....
Apa sedang sibuk, ya? Bibir Niska mengerucut. Dia tengah berpikir, balasan apa lagi agar Pak Galen mau chatting-an dengannya secara tidak langsung.
Niskala: [Lagi senggangkah, Mas?]
Mas!
Niska ketik mas, Girls!
Tidak konsisten, sih. Ah, tetapi tidak apa-apa. Biar saja. Biar keciri bahwa dirinya sedang mode goda-menggoda. Mari lihat bagaimana respons bapak kos. Niska sampai gigit jari, nih.
Serba salah rasanya. Tidur tengkurap, salah. Telentang, salah juga. Tidak rebahan, apalagi. Makin terasa salah.
Gimana, dong?
Belum dibalas.
Dibaca juga belum.
Jangan-jangan iya sibuk? Sibuk baca koran malam-malam seperti tempo lalu, kan, bisa jadi. Duh, Nis!
Oh, tidak. Mengetik lagi!
Niska menunggu.
Entah kenapa ini benar-benar terasa sangat menyenangkan. Niska lupa kapan terakhir kali dirinya sesenang ini menanti balasan chat dari orang. Bahkan chat dari Bang Daaron pun sekarang vibesnya menyakitkan, alih-alih senang.
Bpk Kos Galak: [Ada apa?]
Jadi, beliau senggang apa sibuk, nih, kalau seperti itu jawabannya?
Auk, ah!
Gaskan saja, mumpung ada jalan.
Niskala: [Besok, kan, malam Minggu.]
Langsung dibaca! Pak Galen bahkan sedang mengetik, padahal Niska masih mau kirim teks pesan lanjutannya. But, dia tahan, deh. Tunggu balasan bapak kos dulu.
Bpk Kos Galak: [Ya. Kenapa?]
Niska senyum. Berdeham-deham. Ketik balasan.
Niskala: [Biasanya di kos suka ada acara malam Mingguan nggak, Mas?]
Bpk Kos Galak: [Kamu masuk sini sejak kapan, kok, tidak tahu biasanya malam Minggu di sini bagaimana?]
Buset.
Niskala: [Ya, siapa tahu ada kebijakan baru.]
Bpk Kos Galak: [Tidak ada.]
Biasanya memang tidak ada acara, sih. Lha, kan, Niska sedang modus. Pak Galen, kok, susah amat ditembus?
Niskala: [Kalau Mas sendiri, ada acara nggak malam Minggu?]
Bpk Kos Galak: [Belum tahu.]
Jawabannya bikin Niska mikir ekstra, nih. Pak Galen sangat alot. Tapi beliau sadar tidak, ya, bila Niska sedang iseng-iseng ingin chatting-an dengannya?
Niskala: [Bikin acara, yuk, Mas!]
Harusnya sadar.
Bpk Kos Galak: [Silakan rembukan di grup. Kirim kesimpulannya ke saya, acc atau tidaknya nanti saya infokan pagi.]
Dih!
Dipikir acara se-kos Airlangga?
Niskala: [Baik.]
Membuat bibir Niska melengkung ke bawah saja. Ingin tarik gas lagi, tetapi takutnya malah jadi mempermalukan diri sendiri.
Ya sudahlah, pelan-pelan saja. Yang penting sekarang sudah ada kemajuan, yakni chatting-an. Sebutan juga sudah mau Niska istikamahkan jadi mas, no manggil bapak-bapak club.
Niska kabari Uci dulu.
Niskala: [Ci, aku otw ke kamar kamu, ya? Buka pintu! Penting.]
Uci: [Oke. Bawa makanan kalo bisa, Nis. Aku laper, tapi mager. Hehe.]
Niskala: [Sip.]
Putri Wiliam Budiman ini pun lekas mengemas beberapa camilannya ke dalam paper bag, lalu meraih cardigan dan memakainya. Niska becermin dulu sebentar, mana tahu ada Pak Galen di luar. Pakai lipstik ke kamar Uci to much nggak, ya?
Sekadar lip gloss mungkin tidak berlebihan. Niska pun mengolesnya ke bibir, lalu senyum.
Masya Allah, cantik betul sudah seperti bidadari turun di kosan.
Siplah. Niska melenggang.
Baginya, memuji diri sendiri itu penting. Biar dikata tidak lebih cantik dari Dikara dan semua orang mengakui itu, tetapi tetap Niska perlu memuji kecantikannya sebagai sosok wanita. Persetan apa kata orang, yang penting kata diri sendiri harus positif, apalagi untuk diri sendiri juga.
Eh, kenapa malah bahas itu, ya?
Tuh, kan. Tuh, kan!
Ada Pak Galen di luar.
Untung Niska pakai pelumas bibir. Licin 'simering siplendid', kan, jadinya. Sedap dipandang. Tatapan Pak Galen auto tergelincir di bibir Niska yang bohay.
Hal yang membuat Niskala tersipu, tatapan keduanya bertemu, setelah tadi Niska iseng mengirimi pesan kepada beliau lebih dulu. Orangnya di luar ternyata, sedang main game online. Berarti tadi Niska ganggu, dong?
"Mau ke mana?"
Wah!
Niska ditanya.
"Ke kamar Uci."
Pak Galen manggut-manggut.
Sudah, hanya begitu.
Niska pun pamit dan berjalan seanggun mungkin, berusaha menyamai lenggak-lenggok Dikara yang Niska ingat. Namun, apalah daya ... bukan bakatnya. Niska pun berjalan seapa-adanya diri sendiri saja. Tidak anggun, tidak gemulai, tetapi tidak barbar juga. Biasa saja.
Kalau Dikara ikut ngekos di sini, kira-kira Pak Galen akan terpesona tidak, ya?
Asli, lho. Kembaran Niska sangat jelita.
***
"Ciii!"
"Oy! Mana makanannya, Nis? Ya ampun, makasih banget kamu udah ke sini."
"Dasar, ya, kamu! Nih, aku bawa camilan yang enak-enak. Mumpung aku lagi bahagia."
"Asyiiik! Kenapa, tuh? Ada kabar apa?" Sambil membongkar isi paper bag Niskala.
Niska pun meraih camilannya, dia kupas. Seperti Uci, Niska mendadak merasa lapar.
Sepanjang ngemil, diceritakanlah itu tentang isi chat bersama Pak Galen.
"Wih, asli. Kamu bener-bener serius ternyata, Nis."
Serius mau godain bapak kos.
"Iya, aslilah. Kubilang juga nggak asbun, kan, waktu itu? Aku serius mau goda tipis-tipis, ternyata asyik juga."
"Aku tim hore, deh. Semangat, ya! Aku bantu doa semoga jadi sampai hari H. Aamiin."
Niskala tertawa. "Aku cuma main-main, kok."
"Main-main, tapi serius tuh gimana?"
Entahlah.
"Eh, Ci. Ini bantuin, dong! Aku bilang pengin adain acara malam Minggu. Sebenernya mauku cuma berdua sama Pak Galen, tapi beliau ngarahinnya ke grup coba. Gimana?"
"Lha, susah ini. Orang-orang pada punya acara sendiri kalo malming, Nis. Ngadi-ngadi, deh. Aku aja mau kencan sama doi."
"Kencan malam Minggu, emang bisa? Maksudku, di kos ini bisa kencan?"
"Bisalah! Ya, aku pulang besok. Malming di rumah, biar bisa otewe sama ayang." Uci cengengesan. "Lagian siapa juga yang mau malmingan di sini? Kosan super ketat, lebih-lebih dari aturan tinggal di rumah orang tua. Kamu doang kayaknya, Nis."
Ya, karena Niska sedang mengincar bapak kos.
Tapi Uci banyak benarnya.
"Berarti malming di sini sepi?"
"Ya, kayak biasa aja, Nis. Lupa? Yang punya jadwal pergi-pergi malming, ya, pergi. Yang nggak ada, ya, di sini."
"Iya juga, ya?" Bahu Niska melemas.
"Tenang, tenang! Aku ada ide," kata Uci.
Kembali Niska semangat. "Apa? Gimana?"
"Yang pasti kamu jangan pulang, malming di sini. Pak Galen kayaknya di sini juga. Ambillah kesempatan itu buat mepetin beliau."
"Mepetinnya gimana?"
"Ya, apa, kek, Nis. Misal, minta tolong benerin keran."
"Aku harus rusakin kerannya dulu?"
"Nggak, dong. Modus aja modus! Paham?"
"Oh ... iya, iya, paham."
"Kan, nanti bapak kos ngecek keran kamar mandi kamu, tuh. Ternyata baik-baik aja. Langsung, deh, keluarin modus jurus dua. Minta maaf soal itu, kamu kira keran atau shower-nya bermasalah, dengan cara ... traktir makan di luar!"
"Ah, iya, iya! Ih, kamu pinter banget ngarang cerita, Ci!"
Uci bangga. Dia tepuk d**a. "Nanti kabarin hasilnya gimana, ya?"
Mereka lantas tertawa cekakak weka-weka.
***
Paham dengan usulan dari Uci, Niska pun mengirim pesan kepada Pak Galen bahwasanya tidak jadi ngide acara malam Minggu di kosan. Soalnya, kan, orang-orang banyak yang mau pulang.
Mau tahu balasan bapak kos galaknya gimana?
Begini: [Pintar.]
Sialan.
Memangnya selama ini Niska boloho? Ish, ish! Niska, kan, memang pintar. Walau tidak secemerlang Dikara, sih.
Hingga esok hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, ini hari Sabtu. Niska sampai tidak bisa tidur, lho, semalam. Saking berdebarnya menanti hari ini.
Dipikir-pikir, kenapa dia mesti berdebar, ya?
Well, Pak Galen dari pagi sampai menjelang sore tidak terlihat, tampaknya sedang pergi entah ke mana. Niska sudah sangat siap untuk akting di dalam dramanya sendiri padahal, hanya agar bisa otewe malam Mingguan dengan bapak kos.
Tepat pukul empat sore, Niska bersiaga. Dia mau mandi, tetapi Pak Galennya mana ini?
Oke, fix. Niska meraih ponselnya.
Niskala: [Mas, di mana?]
Bodoh amat, sekarang nyebutnya mas saja. Tidak pakai bapak-bapakan lagi.
Mas Galen: [Di rumah. Ada apa?]
Lihat!
Niska sampai mengganti nama bapak kos galak dengan sebutan seaduhai 'Mas Galen' di ponselnya. Totalitas mau goda-goda anak bujang orang. Dan bujangannya itu umur tiga puluhan, sementara Niska masih dua tiga jalan ke dua puluh empat.
Mereka beda delapan tahunan.
Niskala: [Oh. Ke kosnya kapan?]
Mas Galen: [Ada apa?]
Selalu begitu balasannya.
Niskala: [Shower di kamar mandi aku air hangatnya nggak keluar. Aku pengin mandi air anget.]
Ini parah, sih. Niska parah. Dia akui. Namun, dengan begini pikiran dan hatinya benar-benar terbagi sebagian besar dari yang semula tertuju full di Bang Daaron.
Tidak apa-apa, kan?
Daripada melow, mending menggila.
Toh, Pak Galen single katanya.
Mas Galen: [Numpang dulu di kamar mandi teman.]
Niskala: [Temanku cuma Uci di sini, dia pulang.]
Mas Galen: [Kamu tidak pulang?]
Niskala: [Lho, Mas ngusir aku? Lagian katanya di sini kalo ada keluhan apa-apa, penanganannya gercep katanya.]
Mas Galen: [Ya sudah, tunggu dua puluh menit.]
Niskala: [Ok.]
Berdosa tidak ini?
Aslinya shower Niska baik-baik saja, kok.
Duh.
Malah jadi tidak tenang.
Barangkali Pak Galen di rumahnya sedang ada acara, bagaimana? Sedang sibuk sungguhan, misalnya? Dan Niska berbuat seperti ini.
Bukannya berhasil menarik perhatian Pak Galen, bisa-bisa Niska kena damprat, kan?
Waduh.
Kacau.
Niska pun ketik pesan.
[Nggak jadi, Mas. Udah nyala.]
Satu menit lalu.
Dua menit lalu.
Masih centang abu.
Gawat!
[Mas, nggak jadi.]
Niska panik sendiri.
Apa telepon saja, ya?
Telepon, jangan?
Telepon ... jangan?
Oke, telepon!
Niska mondar-mandir di kamar. Dapatkah kalian merasakan kegelisahan dirinya?
Sampai sambungan nirkabel itu pun diangkat. Detak jantung Niska semakin cepat. But, bibirnya baru mangap mau say hallo, di seberang sana sudah lebih dulu berucap, "Halo?"
Amat lembut dan syahdu suara itu, suara perempuan.
Anehnya, Niska panik dan refleks langsung mematikan panggilan.
Tunggu, tunggu!
Kenapa dia begini?
***
"Sudah mandi?"
Pak Galen baru saja datang, menutup pintu mobil, sedang Niska baru beres angkat jemuran dari rooftop.
Rambutnya basah, memang Niska habis keramas. Mandi wajib, cui!
"Udah."
"Pakai air hangat?"
Itu sindiran atau apa, ya?
"Kan, aku udah chat. Shower-nya udah bener."
"Bukannya memang tidak rusak? Kamunya saja yang pengin ketemu saya."
E-eh?
Niska mangap, lalu mingkem. Pipinya memanas.
Maluuu!
Kok, Pak Galen bisa ngomong gitu, sih?
Dan beliau sudah melenggang ke ruang pribadi di sebelah kamar Niska. Sontak dia mendelik menatap pintu ruangan tersebut. Eh, orangnya nongol lagi. Niska praktis melengos, masuk kamar.
Terdengar gedebak-gedebuk suara pintu mobil dibuka-tutup. Kayaknya sibuk banget.
Bicara-bicara, tadi yang angkat telepon Niska siapa, ya?
Ini perlu Niska tanyakan atau tidak?
Tapi nggak mungkin ceweknya, kan? Nggaklah. Pak Galen single. Kecuali kalau bohong sama pipi.
[Ci, gagal.]
Niska kirim pesan itu kepada Uci.
Uci: [Kok, bisa? Kamu udah ikutin sesuai alur yang aku bikin semalam, nggak?]
Niskala: [Udah. Momennya yang nggak tepat. Atau akunya yang nggak sabaran.]
Uci: [Duh. Ya udah, nanti aku pikir ide lain lagi. Aku mau otewe dulu, udah dijemput bebep. Bye!]
Orang-orang, kok, punya pacar, sih?
Niska sekalinya suka sama orang, malah cinta bertepuk sebelah tangan.
Nasib.
Dia menghela napas panjang.
Malam Minggunya seperti biasa. Biasa bagi Niska adalah diam di kamar. Kalian berharap apa sama jomlo?
Oh, iya. Niska pergi cari jajanan sajalah. Camilannya habis dibawa ke kamar Uci semalam. Mumpung masih jam setengah tujuh kurang.
Yang tidak Niska duga, di luar Pak Galen sedang buka pagar. Sontak langkahnya henti sejenak. Tatapan bapak kos juga praktis terarah padanya.
"Aku ...." Impulsif Niska berucap, "Mau jajan."
"Jalan kaki?" sahut beliau.
Niska mengangguk. "Dekat, kok. Ke jalan depan aja. Sebelum jam tujuh nanti aku udah di sini."
"Oh. Ayo. Kebetulan saya juga mau ke depan."
A-ayo?
Jalan bareng, nih?
Niska berdeham.
Ini bukan Niska yang ngawalin, lho, ya.
Pak Galen yang ngajak.
So, dengan senang hati Niskala menerima ajakan itu.
Bersama-sama melangkah menuju jalanan di depan sana, bersebelahan. Langkahnya pun iring-iringan.
Niska rasa, Pak Galen berjalan menyesuaikan kecepatannya. Kok, so sweet, sih?
Sayangnya, tangan Pak Galen masuk ke saku. Kalau tidak, kan, Niska bisa modus sok-sokan nggak sengaja nyenggol. Hingga mungkin terjadi percakapan atau lebih bagus lagi jemari yang lantas saling berkaitan.
Niska oh Niska.
Dia si centil anak nakal.
Sesekali melirik pria di sisinya dan agak mendongak, Pak Galen pun menoleh membalas lirikan Niskala. Karenanya, Niska lalu menunduk.
Ada senyum yang terkulum, entah senyum di bibir siapa.
Ada pula jantung yang berdetak menyalahi irama biasa, entah itu jantungnya siapa.
Cobalah tanya pada angin yang berembus, mana tahu sudi membisik tentang siapa yang tersenyum dan siapa yang berdetak-detak tak biasa di dalam dadanya.
***