4 | Kerja Rodi Semalam

1861 Kata
Pak Galen dengan seorang balita di pangkuan, perpaduan tidak ramah macam apa ini, Kawan?! Lihat saja itu, anak kecilnya seperti duduk dengan tertekan di dalam kungkungan bapak kos. Kepada anak kecil pun rautnya masih saja garang. Tidak ada senyum-senyumnya gitu, lho. Eh, wait! Anak? Niska menyapa mereka atau tidak perlu, ya, ini? Dia baru pulang dari kampus. Ehm. "Eh, anak keberapa ini, Pak?" Bodoh amatlah, ya. Niska menyapa dengan celetukkan asalnya. Pun, mendekati mereka. Ini Niska sebetulnya hanya ingin mematikan rasa malu kemarin yang dia pura-pura pingsan. Jadi, mulailah aksi SKSD lagi. Sok kenal sok dekat. Habisnya kalau tidak menyapa, justru nanti aneh. Kan, tetangga kamar. Bapak kos pula. Lebih daripada itu, Niska serius mau mencoba menggoda Pak Galen. Tapi, kok, sudah ada anak, sih? Jangan-jangan duda betulan lagi? Mending kalau duda, pas gitu laki orang cem mana? "Empat." Eh, buset! "Empat? Wah!" Pak Galen produktif sekali. Baru umur tiga puluhan anaknya sudah empat. Luar biasa! "Kamu bisa urus anak kecil?" Tiba-tiba. Baru juga Niska mau pamit masuk kamar. Dan dapat pertanyaan itu, Niska pun mengangguk. "Bisa. Kenapa emang, Pak?" "Tolong jaga ponakan saya dulu." "Lho, ponakan?" Tatapan Pak Galen langsung tajam. Oke, oke. Bukan anak sendiri ternyata. Niska sudah siap bergibah dengan Uci padahal tadi, mau bahas tentang Pak Galen dan anak ini. "Bisa, tidak?" ucap beliau. "Bisa, Pak. Sini, sini, aku jagain. Kalau boleh tahu, Bapak mau ke mana emang?" "Kamar mandi." Baiklah, Niska tidak bertanya lagi walau nyaris dia katakan 'mau pup, ya?' Itu, kan, tidak sopan. So, diletakkannya tas selempang, lalu Niska menjulurkan tangan hendak meraih balita di gendongan Pak Galen, tetapi .... "Kamu duduk," katanya. Menolak juluran tangan Niskala. Agak bingung, tetapi Niska manut. Dia duduk di kursi bekas Pak Galen tadi. Hangat pol! Berapa lama kiranya beliau duduk di bangku ini? Nah, tuh, balitanya beliau dudukkan di pangkuan Niska. Dengan demikian, tak terjadi sentuhan sedikit pun di antara Niska dengan bapak kos. Aman. "Titip sebentar, ya? Itu susunya di meja kalau nangis." "Oh, oke." Silakan pup dengan tenang, di sini Niska dengan senang hati membantu bapak kos garang. Entah kenapa, Niska suka kondisi di mana Pak Galen meminta bantuannya. Muncul perasaan berguna bagi orang yang kelihatannya tidak butuh bantuan siapa pun itu menyenangkan. Berguna bagi manusia berperangai galak, Niska merasa satu langkah lebih dekat dengan Pak Galen. Paham, kan? Betewe, ini anaknya lucu banget! Gembul, putih, pipinya tembam, bibirnya mungil dan pink, kemudian ada rona kemerahan di dua pipi chubby itu. Boleh Niska cium tidak, ya, anak orang? Lebih bagus lagi kalau dia boleh mencium sosok omnya. Uhuk! Maaf. Niska senyum-senyum geli atas pikirannya sendiri. "Namanya siapa, Dek? Beneran ponakannya om-om galak tadi itu, ya? Apa anaknya? Coba bisikin Tante." Ihiy. Tante. Niska terkekeh. Tentu saja, balita yang dipangkunya ini belum bisa bicara. Hanya mengoceh tidak jelas. Ralat, sepertinya ini lebih pantas disebut batita. Kayaknya masih di bawah tiga tahun. Niska ajak ngobrol. "Anak siapa, Nis?" Oh, Uci! "Ci! Anakku hasil kerja rodi semalam sama bapak kos. Lucu, kan?" Uci malah mendelik. Tak peduli, Niska teruskan. Toh, bicaranya pelan. "Sebut aku ibu kos mulai sekarang, Ci." Uci berdeham-deham, lalu matanya melirik ke arah lain. Hal yang membuat Niska menoleh ke belakang sebab yang Uci tatap itu tampaknya sesuatu di belakang Niskala. Benar saja. Niska melihat selangkangann pria. Eh, maaf! Tatapannya lalu naik seiring kepala Niska mendongak. Detik itulah Niska istigfar spontan, kaget dia. "K-kok, cepet, Pak?" Tahu, kan, itu siapa? Niska pun kini sudah berdiri. Dia kikuk maksimal. Sementara Uci, dia pamit ke kamarnya sendiri. Ih, Uciii! Harusnya tadi lebih keras memberi kode, bukan cuma lewat delikan mata atau dehaman biasa. Kan, Niska tidak peka. Dia asyik sendiri pula, hingga tidak mendengar suara pintu kamar mandi di dalam kamar sana dibuka. Tahu-tahu Pak Galen sudah berdiri di ambang pintu. Kacau. Coba ingat-ingat tadi Niska bilang apa sama Uci? Anakku hasil kerja rodi semalam sama bapak kos. Argh! *** "Pi, omongan Garda bisa dipercaya nggak, ya?" Malam itu, di kediaman Wiliam Budiman—orang tua Niskala. "Harusnya bisa. Garda kelihatannya anak baik-baik, lebih bisa dipercaya daripada Daaron." Hanya memang karena Daaron sudah dikenal lama di sini, maka Daaron sebagai pemegang kepercayaan terbesar dari Pipi Wili. Namun, bila ditilik secara kepribadian, Garda tampaknya lebih meyakinkan. Perihal bapak kos di tempat Niskala tinggal. "Iya, sih. Garda sampe berani sumpah gitu kalau abangnya bukan cowok mata keranjang. Dan sampe berani bilang bahwa Niska justru udah milih tempat kos yang paling aman." Jadi, kedua orang tua Niskala mendapat laporan dari Daaron bahwasanya kosan putri mereka saat ini di bawah naungan seorang pria dewasa. I mean, bukan ibu kos yang jaga, padahal kos putri. Tapi saat Daaron laporan itu posisinya ada Garda, alhasil dijelaskanlah tentang sosok bapak kos Airlangga. Namanya Galen, usia tiga puluhan tahun, dan merupakan saudara kandung Garda. Daaron sendiri sampai terkejut dan bilang, "Kok, lo nggak ngomong apa-apa ke gue, Gar?" "Ini ngomong. Sekalian aja di sini." Jawaban Garda begitu. Maka berbincang-bincanglah itu. Garda menceritakan soal abangnya. "Bang Galen itu orangnya sangat menjaga diri sendiri, Om, Tante. Makanya Bang Galen paling anti deket-deketin perempuan dengan modus apa pun, di sini termasuk sangat menjaga lawan jenisnya juga. Nggak kayak yang Daaron khawatirkan. Bang Galen justru ketat banget orangnya, kayak seorang ayah ke anak gadisnya kalo kata anak-anak kos." Namun, ucapan seperti itu saja mana bisa dipercaya, kan? Siapa pun bisa mengarang cerita, tentang sosok pria red flag menjadi terkesan seperti pria 'ijo neon'. Istilah cowok baik (green flag) di anak-anak gaul zaman sekarang; ijo neon. "Atau nggak, coba nanti Om sama Tante temui Bang Galen aja. Biar bisa lihat sendiri. Tapi nggak mesti dilaporin karena biasanya Bang Galen jaga kosan nggak lama. Paling pas penjaga sebelumnya udah nggak kerja di situ lagi, sambil nunggu nemu penjaga baru yang sesuai kriteria." Garda meyakinkan orang tua Niskala perihal sosok abangnya. Konon, Bang Galen bukan seperti yang Daaron duga atas kekhawatirannya. Membuat kos-kosan bukan untuk memerangkap wanita dan melakukan hal-hal tidak senonoh di sana. Itu pure bisnis dan lagi pula, Bang Galen seperti dirinya—mirip-mirip. Yang punya kisah kelam tentang 'anak'. Alias tidak mau sembarangan menyentuh perempuan karena diri sendiri sudah merasakan kecewanya terlahir sebagai anak di luar ikatan pernikahan. Seperti itu. Namun, begitu esok hari tiba, nyatanya kedua orang tua Niskala ada di sana. Di kosan Airlangga. Sekali pun sudah percaya pada kata-katanya Garda. Dan tidak di dalam kamar sang putri, jusrtu ini Niskala sedang di dalam ruangan bapak kosnya bersama pipi-mimi. Pasti Bang Daaron sudah melapor. Mimi Lena dan Pipi Wili sampai datang ke sini. Minta dipertemukan dengan Pak Galen pula. Alhasil, untuk pertama kalinya tadi Niska menelepon bapak kos. Begini .... "Maaf, Pak. Bapak ada di mana, ya?" Dengan jantung berdetak ugal-ugalan. Mana mungkin tidak, kan? "Ada apa?" Tangan Niska juga kedinginan, padahal ibu kota panas. Ini karena gugup deg-deg-ser. "Itu, Pak. Mimi sama pipi—eh, maksudku—orang tua aku pengin ketemu Bapak." Mimi Lena dan Pipi Wili bahkan menatap Niskala ketika dia sedang menelepon bapak kosnya. Makin berdebar sajalah itu. "Oh, sepuluh menitan lagi saya sampai." "Oke, Pak." Begitulah kira-kira. Dan kalian tahu? Pak Galen datang bawa-bawa kue. Epic-nya lagi, diberikan kepada mimi dan pipi. Membuat orang tua Niskala terheran-heran saja! Setelah itu, mimi-pipi Niska diajak ke kamar Pak Galen. Yang ternyata bukan kamar biasa, tetapi memang di sanalah letak ruang tamu indekos ini. Niska kira kamar. Walau saat itu dia tidak melihat adanya ranjang di dalam sana, sih. Yang dia lihat nyatanya sofa membentuk kasur. Pantas saja saat Pak Galen keluar dari kamar mandi dan Niska duduk memangku anak kecil di luar, suara-suara buka pintunya tidak begitu terdengar. Belum lagi kondisinya Niska sedang fokus kepada dedek batita. Oke, terdapat pintu lain juga di dalam sini. Entah pintu ke mana. Saat Niska bertemu ibu kos itu di ruang sebelah. Nah, ternyata memang beda. Ini khusus Pak Galen tampaknya. Lalu Niska memilih kamar nomor 1 dari kamar-kamar yang tersedia kala itu. "Silakan, Pak, Bu," ucap Pak Galen, lalu melirik Niska. "Silakan." Astaga .... Seperti kepada siapa saja, sih! Sampai dihidangkan jamuan. Pipi Wili lantas menyeruput minuman itu, pun dengan mimi. Ya sudah, Niska ikutan. Ini teh manis buatan Pak Galen. Yang buat teh ini sayangnya tidak semanis rasa air teh. Beliau kecut. Galak. Ewh. Tapi ... tapi ... Pak Galen senyum! SENYUM, SIS! Demi apa ini Niska serasa melihat keajaiban dunia, hingga tatapannya terpaku di sana. Di wajah tampan yang jikalau senyum terbitlah manis-manisnya. Uh! "Sebelumnya maaf, kami dapat laporan dari kakaknya Niska. Katanya ini kos putri. Tapi, kok, penjaganya laki-laki." Tuh, kaaan! Bang Daaron laporan. Niska menunduk sajalah. Berasa malu juga sama Pak Galen. Bicara-bicara soal sebutan 'bapak' kepada sosok Galen ini sampai menular ke Uci, lho. Sobat baru Niskala di sini. Tadinya sebut 'mas', tahu-tahu ikutan 'pak'. "Oh, iya, iya. Benar. Berhubung saya pemilik sebenarnya dari kos Airlangga, lalu penjaga sebelumnya resign, jadi untuk sementara saya yang di sini menjaga anak-anak. Soalnya kos Airlangga ini memiliki peraturan yang cukup ketat. Sebentar." Pak Galen berdiri, meraih berkas. Yang lalu diserahkan kepada Pipi Wili. "Sebelumnya, pernah adakah orang tua anak kos yang datang ke sini saat tahu bahwa Pak Galen ini yang jaga?" kata mimi. "Iya, pernah. Sama seperti ini, saya beri tahu visi dan aturan dari indekos saya. Sejauh ini orang-orang yang ngekos, khususnya kos putri, aman-aman saja. Karena begitu ada yang melanggar peraturan fatal, seperti membawa laki-laki ke kawasan kos, apalagi kamar, itu sanksinya dikeluarkan." Niska tim nyimak. Betewe, ini kos benar-benar unik, ya? Seperti asrama. Lain daripada yang pernah ada. "Tapi kembali lagi, kalau memang Bapak dan Ibu tidak bisa memercayai itu, ya ... silakan-silakan saja maunya bagaimana. Kalau tidak salah Niska sudah bayar untuk satu tahun di sini. Ketika memutuskan keluar, uang kembali sesuai hitungan sisa hari tinggalnya." Niska melihat pipi mengangguk-angguk. "Kalau boleh tahu, ini yang ngekos rata-rata anak-anak, ya, Pak?" ucap mimi lagi. "Lebih ke usia transisi, sih. Umur dua puluhan kebanyakan, seperti Niskala. Rata-rata mahasiswa S2." Memangnya itu penting, ya? "Boleh tahu status Anda?" Lho, lho ... pertanyaan pipi lebih tidak penting lagi. Niska sampai gelagapan, padahal bukan dirinya yang bertanya atau yang ditanyai. "Status?" "Sudah ada istri, single, atau duda? Ini kurang sopan memang, tapi saya merasa perlu tahu sebagai orang tua Niskala." Buat apa, weh? Astaga, Pipi! For what? "Single." Mimi Lena yang manggut-manggut. "Asal bukan duda, ya, Pi?" kata mimi, terkekeh kemudian. Pipi Wili cuma berdeham. Lha, memangnya kenapa kalau bapak kos duda? Dan lagi, ternyata ada yang lebih unik dari kos Airlangga, yakni orang tua Niskala. Unik apa aneh, ya? Heran sendiri Niska, masih tak habis pikir kenapa status Pak Galen itu penting bagi pipi? Sampai akhirnya, mereka pulang. Telah berterima kasih kepada Pak Galen atas buah tangannya itu. Makin heran Niska di sini. Ya, kalian pikir sendiri. Yang telah terjadi ini ... normal tidak, sih? Selepas mereka berlalu, setelah itu, di tempatnya ... Niska menoleh, Pak Galen juga sama. Betapa kikuknya Niskala detik itu. "Maaf, ya, Pak," katanya. Niska memutuskan untuk buka suara. "Buat apa?" Oh, agak ngegas yang Niska dengar. Dia lalu berdeham. "Ya ... yang tadi. Orang tuaku." Pak Galen menyahut sambil lalu. "Oh, bukan maaf buat celotehmu soal ponakan saya yang kamu anggap anak hasil kerja rodi kita malam itu?" A-apa, Guys? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN