3 | Mata Laser

1909 Kata
"Ren, lo masih nungguin Dikara? Kata gue, sih, coba aja buka hati lo buat kembarannya." Daaron, sosok yang bila disebut namanya menjadi 'Deren', itu menimpali sang sobat. "Maksud lo, Mar?" Marco berkicau, "Lo nggak mungkin gak sadar sama perasaan Niskala, kan, ya? Keliatan banget, tuh, cewek suka sama lo." "Parah lo, Mar. Jangan didengerin, Ren." Ini Garda. "Nggaklah. Lagian Niska itu udah paten gue anggap adek." "Lo sadar berarti kalo Niska suka sama lo, ya? Gue kira gue doang yang nyadar." "Sadarlah." "Tapi lo pura-pura gak nyadar di depan dia." "Ya, lo pikir aja, Mar." "Makanya lo nunjukin banget kalo lo senaksir itu sama Dikara, biar Niska yang mundur tanpa sempet ungkapin, kan? Emang kacau, sih, kalo sampe dia nyatain perasaannya." "Kenapa lo nggak ngejauh, Ren? Lo malah sampe tinggal di sini, lagak lo udah kayak abang dia beneran aja," cibir Dodo. Mereka adalah kawanan Bang Daaron yang Niskala kenali suaranya. Hal yang membuat langkah Niska terhenti. Dia sedang di rumah saat ini, rupanya Bang Daaron membawa teman-teman untuk bercengkerama di halaman belakang. "Berani banget lo bahas Niskala di rumah orang tuanya," sergah Kak Jean. Niska kenal suara-suara mereka. Sesekali memang suka diajak main di sini. Hanya sesekali. Pun, tidak lama. Biasanya habis itu langsung 'cabut' cari tempat lain. "Tau, nih, Marco." Nah, itu Bang Daaron. "Udah, yuk, lanjut di kafe aja. Gue pengin nyerutu." "Gaya, lo! Pasti gara-gara kepikiran omongan gue soal Niskala, ya?" Cepat-cepat Niska beranjak. Dia tidak ingin keberadaannya diketahui. Dan saat telah dirasa aman, Niska tercenung sendiri. Bang Daaron tahu .... Dia tahu perasaan Niskala. Entah kenapa, seketika matanya panas dirasa. Yang Niska kipas-kipas kemudian. Dia pun menarik dan mengembuskan napasnya, berusaha meredakan debar menyakitkan di hati. Tuhan .... Ini kabar baik atau buruk, ya? Satu sisi, Niska sudah tidak perlu penasaran atau menduga-duga lagi bagaimana jika dirinya menyatakan perasaan. Tak perlu karena memang sudah sangat jelas Niska tidak ada harapan. Sudah jelas bahwa Bang Daaron akan menolaknya. Tapi di sisi lain, hati Niska kesakitan. Sesak di d**a. Tenggorokan pun seolah menyempit berikut rongga parunya. Ah, kenapa sesakit ini, sih, cinta sendirian? Cinta bertepuk sebelah tangan. Hingga terlintas bayang masa lalu mulai dari saat Niska masih SMP, tatapan Bang Daaron padanya dan kepada Dikara berbeda. Saat Bang Daaron bernyanyi di panggung, saat yang disenandungkan adalah lagu cinta, tatapan Bang Daaron tertujunya kepada Dikara. Dan bila Dikara tak ada, Bang Daaron mencari. Bola matanya bergulir. Menemukan Niska tak akan membuat tatapan itu menetap padanya, Bang Daaron akan terus mencari Dikara. Niska sudah tidak ada harapan sejak saat itu sebetulnya, tetapi .... Memang dasar harusnya Niska tidak pulang dulu, mestinya dia di kosan saja sekali pun sedang tidak ada jadwal ngampus. Niska belum move on dengan benar, hatinya masih dirajai oleh seorang Daaron Edzhar Reinaldi. Fine. Cuci muka dulu. Niska pun bersiap kembali ke kosan, tetapi sayang langkahnya ditahan oleh mimi. "Nis, yuk, makan! Bareng-bareng." Bersama teman-teman Bang Daaron, yang Niska lihat mereka kumpul di meja makan rumah ini. Lho, nggak jadi ke kafe? Kak Dodo melambaikan tangan. "Makan, Nis." Duh. Niska senyum. "Ayo, ayo, makan dulu. Kamu belum makan juga, kan, dari tadi nyampe sini? Nih, pipi udah beliin makanan enak buat kita-kita," ucap Mimi Lena. Baiklah. "Pipinya ke mana sekarang, Mi?" Niska memutuskan untuk bergabung. "Lagi di kamar mandi, nanti gabung." "Ini bawa-bawa tas mau ke mana, Nis?" Bang Daaron bertanya. Niska menjawab seadanya. "Ke kosan, Bang." "Lho, nggak bobok di rumah aja, Nis? Mimi kira kamu pulang itu mau nginap di sini." Niska terkekeh. "Tugas Nis numpuk, Mi. Nantilah, ya, kalau udah beres." Dan itu bohong. Maaf. Niska menggumamkan doa dalam hati, semoga dirinya tidak berdosa karena sudah berbohong kepada orang tua. Syukurnya, pipi tiba di ruang makan. Bahasan pun alih kepada kawan-kawan Bang Daaron. Niska lega sekali. "Ke kosannya nanti Abang anter, Nis. Tenang." Eh? "Sorean aja. Mimi masih kangen." Bang Daaron bisik-bisik, melanjutkan. Niska tidak tahu kapan pria itu ada di sebelahnya. Perasaan bangku di sisinya tadi itu kosong, tahu-tahu sudah berpenghuni. "Ng ... nggak, Bang." Niska agak gugup. Orang kalau bisik-bisik wajahnya sudah pasti mendekat, bukan? Makanya itu Niska grogi. "Aku buru-buru. Banyak tugas." Bahkan Niska berpamitan sekarang. Mencium tangan mimi dan pipi. Hanya saja, ternyata ini lebih parah lagi. Niska tidak bisa menolak titah pipi yang meminta Bang Daaron untuk mengantarnya ke indekos. Lalu seketika kawanan Bang Daaron minta ikut, alhasil macam konvoi. Niska sudah berusaha agar dirinya pergi naik taksi online saja, tetapi mereka, Bang Daaron khususnya, kekeh mau mengantarkan agar bisa memastikan sendiri keamanan Niskala. Justru kalau sama Abang, Nis nggak aman, Bang. Hati Nis sakit. Sakit banget. Ingin bilang begitu, tetapi tidak berani. Nanti malah jadi memalukan. Diserahkannya helm kepada Niskala. Fix, diantar naik motor. Niska terima dan dia pakai helmnya. Pasrah sudah. "Pegangan, Nis." "Jangan ngebut." "Aman!" Karena Niska tidak mau berpegangan lebih dari sekadar mencekal sisi jaket Bang Daaron. Andai .... Andai Bang Daaron mencintainya dan bukan Dikara, mungkin sekarang Niska berpegangan dengan cara melingkarkan lengannya, lalu menumpu dagu di bahu pria itu, dan dadanya menempel ke punggung. Niska banyak-banyak menghela napas, eh, malah terhidu aroma Bang Daaron. Wanginya beda dengan aroma Pak Galen. Pria yang minggu lalu membuat Niska geser ke kiri salah, ke kanan juga salah. Sampai akhirnya, Niska memutuskan untuk berbalik dan dia jalan keluar. Sebal, sih, dituduh sengaja supaya Pak Galen tidak bisa pergi. Dih, sorry, ya. Siapa gerangan sehingga Niska ingin menahannya di dalam ruang sepribadi kamar? Adalah bapak kos bermata laser yang kini menghujam wajah Niskala, setibanya dia di kos Airlangga. Bagaimana tidak? "Abang, ih, kata aku juga jangan ikut masuk. Itu bapak kosku," cicit Niska. "Galak orangnya." Dia bisik-bisik. Asem, nih. Gerbang kosnya terbuka lebar, tampaknya Pak Galen baru memasukkan mobil atau memang mau keluar, lalu dengan semprulnya tanpa bisa dicegah Bang Daaron dan kawan-kawan melesat masuk ke wilayah dalam kos Airlangga. Bising suara motor spek knalpot ninja dan trail auto menarik perhatian orang-orang yang ada di kosan, paling utama adalah Pak Galen itu sendiri. Beliau sedang di luar memang. Argh! Wajar jika wajah Niska dibidik oleh mata laser pria dewasa itu. Berasa mau bolong ini pala, Sis! Bang Daaron dan kawan-kawan serempak buka helm, lalu turun dari kendaraan mereka. "A-anu, Pak, ini—" "Saya abangnya Niskala," celetuk Bang Daaron, maju selangkah. Ucapan Niska dipangkas. Tak lama sesudahnya, mulai dari Kak Garda, Kak Dodo, Kak Marco, hingga Kak Jean satu per satu mencium tangan bapak kos, Bang Daaron auto ikut-ikutan. Niska? Ikutan cium tangan juga tidak, ya? Kok, mereka salim, sih? Oke, sip. Niska juga menjulurkan tangan, takut banget dituding tidak sopan. Eh, asli! Yang nggak sopan justru Pak Galen, beliau sekadar melirik juluran tangan Niska tanpa dijabat. Parah ini. Semoga hari beliau Senin terus, Ya Allah! Janganlah Engkau berikan tanggal merah untuk pria zalim tersebut. Bikin Niska malu saja, huh! Alhasil, Niskala menarik tangannya. Ya sudah kalau tidak mau dicium. Tangannya! "Ini kos putri," kata Bapak Galen yang Terhormat. "Tolong dihargai. Jangan masuk-masuk tanpa izin, apalagi seenaknya, sekali pun salah satu dari kalian adalah saudara salah satu dari kami." Untuk Bang Daaron, ya, itu? Tapi tatapan Pak Galen jatuh di wajah Kak Garda. "Kecuali kalau memang orang tua dari penduduk kos ini," imbuh Pak Galen. "Lho ... Abang sendiri, kan, laki? Kok, boleh masuk sini?" Memang semprul Bang Daaron itu. "Saya yang punya kosan." "Wah ... justru bahaya, dong, ini." Lagi, Bang Daaron bicara. Kak Garda menarik tangan Bang Daaron, tetapi ditepis. "Jangankan kos, ya. Berita soal oknum yang punya pondok keagamaan aja ada, tuh, yang melecehkan para santrinya." "Ren!" Kak Garda yang menegur. "Dahlah, yuk, balik!" "Gak bisa gitu, Gar. Ini kos putri dan katanya sodara gak boleh masuk, kecuali orang tua, sedangkan yang punya kos cowok begini, kok. Apa nggak aneh? Sus banget ini!" Niska meringis. Dia pun mencekal tangan Bang Daaron untuk menariknya ke motor. "Abang bilangin pipi sama mimi, lho, Nis. Kalo bisa dituntut aja ini kosan—" "Bang, plis! Pulang aja, pulang." "Nis—" "Kak Garda, tolong!" ucap Niska, pun kepada kawanan Bang Daaron yang lainnya. "Nanti biar Nis yang ngobrol sama pipi-mimi. Udah, Abang pulang aja! Lagian Nis aman di sini." "Balik, Ren, balik!" Tatapan Bang Daaron dan Pak Galen beradu, sama-sama runcing. Namun, Niska rasa sorot mata Pak Galen lebih tajam dari itu. "Hati-hati, Bang! Semuanya, hati-hati! Makasih udah anter aku!" Selepas akhirnya, Bang Daaron berlalu. Itu pun dengan berat hati. Dari sorot mata begitu jelas terlihat masih ingin ngobrol-ngobrol sengit dengan Pak Galen. Oh, iya. Pak Galen! Punggung Niska serasa sedingin es yang lambat laun merambat ke seluruh bagian tubuh. Mengingat di belakangnya ini adalah ... monster kutub! Pak Galen sosok paling fleksibel, bisa jadi reptil, monster kutub, juga iblis terpanas di pikiran Niska. Bagaimana ini, Tuhan? Kira-kira umur Niska masih panjang apa sudah tinggal menunggu detik demi detik? Niska takut untuk berbalik. Sudah pasti Pak Galen—KYAAA! Benar. Niskala menjerit saat akhirnya berbalik. Dia melihat makhluk tinggi besar bernama Galen pemilik kos Airlangga ini tepat di belakangnya. Fix, pingsan. Niska pingsan sajalah, ya. Berhubung dia drama queen dan ... Niska ambruk. Demi apa pun, ini akting paling totalitas yang Niska lakoni di hadapan orang lain, selain akting tidak punya perasaan cinta kepada Bang Daaron. Harusnya Niska ikut casting film buat jadi aktris saja, ya, alih-alih ingin jadi dosen? By the way, Niska freak banget nggak, sih? Freak, ya? Dia overthinking atas ulahnya sendiri pula. Yang begini apa cuma Niskala? Ngomong-ngomong, kok, Pak Galen tidak mengangkatnya? Dibopong gitu, dipindah ke teraslah minimal. Niska serasa dibiarkan. Oh, atau tidak? "Mbak?" Ada suara, juga sundulan di kaki Niskala. Sundul-sundul dengan ujung sepatu. Serius, nih, Niskala Syahda Budiman disepertiinikan? "Mbak?" Demi apa? Niska mengintip dari celah kelopak mata sebisa-bisa agar siasat pingsannya tidak ketahuan hanya akting belaka. Asli, cui! Pak Galen menowel-nowel betis Niska dengan ujung sepatu beliau. Parah, sih, ini. Yang lalu muncul suara orang lain. "Kenapa ini, Mas?" "Tidak tahu, ambruk sendirinya." Endasmu tidak tahu! Niska pingsan gara-gara ente, lho, Pak. Saking seramnya. Paham? Dan sekarang Niska menyesal sampai akting pingsan begini. Kok, ya, malah jadi memalukan, sih? "Ya Allah, Nis!" Itu suara Uci. "Tolong bantu pindahkan ke kamarnya. Kalian bisa angkat dia bersama-sama, kan? Tubuhnya kecil, harusnya ringan." Serius, nih? Sementara itu, tas Niska diambil. Oleh Pak Galen sepertinya. Mungkin mencari kunci? Yang Niska tahu, dia dibopong ramai-ramai oleh para penduduk kos—semuanya wanita. Catat, wanita! Nah, kenapa tidak Pak Galen saja yang menggendongnya? Supaya tidak membutuhkan banyak tenaga kerja. Paling penting supaya harga diri Niska terselamatkan. Kalau begini, sih, dia jadi terpikir untuk pindah kosan. Ada yang menyodorkan minyak angin ke dekat hidungnya, lalu memijat-mijat, hingga memanggil namanya. Sudahkah tiba saatnya Niska untuk bangun? Sudah, ya? Cukup? Nggak perlu akting kesurupan, kan, habis ini? Nggaklah, gilak! Begini saja sudah cukup bikin malu. Fine. Niska mengerjapkan mata, keningnya dia kernyitkan. Begini, bukan, tanda-tanda orang bangun dari pingsan? Entah bagaimana nanti Niska menghadapi mereka setelah ini. Asal tidak ada yang tahu bahwa dirinya pingsan bohongan saja, sih. Niska pun pegangi kepala. Sudahkah meyakinkan? "Nis?" Niska menggumam. Uci menyodorkan air mineral. Ya ampun! Dan Niska tidak berani menatap kepada sosok tinggi besar yang jenis kelaminnya paling beda di sini. Betul, Bapak Galen si mata laser. Takut banget, lho! "Nis, kamu nggak pa-pa? Tadi kami denger suara kamu ngejerit, terus pingsan, ada apa?" "Lihat sesuatu?" Aduh. Sekarang kepala Niska pusing betulan. Dia geleng-geleng saja. Yang mana dengan tidak disengaja, kerlingan mata Niska bersirobok dengan sorot tajam bapak kos Airlangga. Saat itulah tatapan Niskala terkunci. Kenapa Pak Galen tidak menggendongnya tadi? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN