2 | Bapak Kos Galak

1520 Kata
"Nis, kamu nggak lagi naksir sama siapa gitu? Nanti Abang bantu pedekatein. Kan, kamu selama ini selalu bantu Abang soal Dikara." Sore itu .... Ada, Bang. Nis naksir sama Abang. Tapi .... "Lagi nggak, sih, Bang." Tidak mungkin, kan? Nanti canggung, nanti jadi beda, dan bukan hanya pada Bang Daaron, bisa jadi kepada Dikara. Daripada kesulitan menghadapi mereka, Niska lebih baik kesusahan mengungkapkan perasaan dan memilih sebisa-bisa menguburnya dalam-dalam. "Serius? Udah segede ini kamu nggak naksir siapa-siapa? Cowok di kampus nggak ada yang bening, Nis? Yang bikin hati kamu geter kayak hati Abang ke Kara gitu, gak ada?" "Nggak ada, Bang. Yang bening banyak, tapi hatiku biasa aja." Ya, bagaimana mau ada jikalau sejak kecil hati Niska sudah penuh oleh sosok Bang Daaron. Jangan tanya bagaimana Niska bisa suka lelaki ini. Bang Daaron itu tampan, sudah pasti. Beliau baiiik sekali. Spek pangeran negeri dongenglah, tipe yang Niska gemari. Dari caranya menyukai Dikara, Niska makin suka. Yeah, padahal bukan Niska yang Bang Daaron kasihi laksana perasaan pria kepada wanita, tetapi Niska jadi semakin menemukan keunggulan putra Om Reinal. Daaron Edzhar Reinaldi itu ... totalitas. Dia yang Dikara tinggal pergi saja sama sekali tidak berpaling, malah tampak menunggu walau entah Dikara akan pulang ke pelukannya atau tidak, sesetia itu memang. Andai kepada Niskala, andai perasaan Bang Daaron tumbuh untuknya, Niska tidak akan menyia-nyiakan cinta lelaki ini. Akan Niska sambut dengan rasa yang sama besarnya, bahkan mungkin lebih besar. Niska selalu merasa Dikara sangat beruntung, dari segala kelebihan yang dimiliki, Dikara juga dicintai seugal-ugalan ini oleh Bang Daaron yang Niska sukai. Sekadar informasi, kembaran Niskala itu memang jauh lebih cantik darinya, kulit lebih putih, pembawaan lebih anggun dan tenang, karakternya sangat elegan, cerdas pol—bisa dikata jenius kalau menurut Niska. Ya, pantaslah Bang Daaron cinta Dikara. Dari kecil. Niska sadar Bang Daaron naksir kembarannya, sedang Niska cinta pria itu. Melihat pemberian Bang Daaron kepadanya dan Dikara berbeda, hati Niska agak teriris. Pun, di samping itu Niska harus tetap bersuka hati, menampilkan raut senangnya walau perih. Saat Dikara diberi hadiah jepit dan gantungan love, sementara Niska hanya jepit tanpa gantungan. Dikara pernah diberi gelang, Niska tidak. Niska memang suka diberi es krim, tetapi Dikara diberi hati. Ah, sudah, sudah. "Sayang banget, Nis. Eh, apa mau Abang kenalin ke Garda?" "Bukannya Kak Garda itu suka sama Mbak Ais, ya?" "Iya, ya. Tapi temen Abang yang paling bener dia doang, sih. Lainnya sengklek." Sambil tertawa. Niska ikut tertawa, meski hati perih karenanya. Laki-laki yang dia sukai justru menawarkan pria lain kepadanya. Iya, sih ... Bang Daaron tidak tahu tentang hati Niskala yang penuh oleh nama Daaron itu sendiri. Kalau bisa memang jangan sampai tahu. Sejauh ini berarti Niska berhasil. "Ya udah, Bang. Aku mau mandi dulu, udah sore." "Oh, iya, iya. Disampo, Nis, biar wangi." "Lho, emang aku bau sekarang?" Secepat kilat Bang Daaron mencondongkan tubuh, membuat Niska tersentak dan mematung, kala pucuk kepala ini dicium-cium aromanya. "Wangi, Nis." Sambil mengacak-acak rambut Niskala, tetapi yang berantakan justru hatinya. Bang Daaron terkekeh. "Wangi, kok, wangi. Abang cuma asal bunyi." Dan lelaki itu berlalu tanpa berbalik, hingga tak melihat kebekuan Niskala di tempat, yang sibuk menenangkan debar di d**a, juga rasa sakitnya. Istigfar, Nis. Jangan. Jangan baper. Bang Daaron itu cintanya sama Dikara, sama kembaran kamu. Ingat! Kepala kamu bukan dicium, tapi dihidu aromanya. Dipastiin bau apa nggak. Rambut kamu diacak-acak, tapi cuma itu, Nis. Bang Daaron nggak libatin perasaan, beda kalau rambut Kara yang diacak-acak. Kamu pernah lihat, kan? Hati Niskala bermonolog. Oh, ini menyakitkan. Niska lalu mengunci pintu kamar, menangis lirih di sana, menepuk-nepuk d**a yang selalu begini rasanya kalau-kalau menghadapi Bang Daaron. Cintanya bertepuk sebelah tangan, Niska tahu. Dan dengan sangat kurang ajar, cinta itu sulit dipudarkan. Padahal, Niska sendiri maunya move on agar kelak bila Dikara dan Bang Daaron ditakdirkan bersama, Niska tidak semakin tersiksa. Paham, kan? Makanya itu Niska balik ke kosan, tidak sanggup di rumah, Bang Daaronnya menginap. Niska pikir pulang. Ya sudalah, selepas makan malam bersama, Niska ngeluyur ke sini. Indekos Airlangga. Eh, malah dihadang bapak kos galak. Membuatnya tidak bisa lekas berbaring di kamar. Diomel-omel pula, jadi Niskala kesulitan menahan tangis yang memang sedang dipendam sedari di rumahnya. "Mbak?" Aduh. Plis, deh! Manggilnya 'mbak', nih? "Iya, Mas?" balas Niskala. Pasangan panggilan 'mbak' itu 'mas', kan? Pak Galen menyodorkan sapu tangan. Wait. Ini manusia abad kapan, sih? Serius beliau mengantongi sapu tangan di zaman sekarang? Fine. Niska terima, dia pupus air mata, bahkan ingusnya. Di depan Pak Galen langsung. Bodoh amat! Si amat saja tidak peduli. "Nanti aku balikin kalau udah dicuci. Makasih, ya." "Buat Mbak saja, sapu tangan saya banyak." Tuh, kan! Banyak, cui! Tatapan keduanya bersirobok. Dilihat-lihat, Pak Galen tidak seseram yang Niska rasa. Memang tatapan beliau seruncing anak panah, tetapi ini ada sisi manusiawinya juga. "Oh ... oke. Makasih, Mas." Soal panggilan kepada Pak Galen, suka-suka Niska saja. Entah mas atau pak. Deal? Pak Galen tidak menyahut. Niska pun melintas, Pak Galen kembali duduk. Sementara, Niska sudah berdiri di depan pintu kamar, mencari-cari kunci kosan. Lho, kok, nggak ada? Di mana, ya? Masa ketinggalan? Nggak mungkin. Niska obok-obok tasnya, bahkan dia keluarkan isinya sampai berjongkok di teras. Ada meja dan kursi, sih—tempat mangkal di tiap-tiap kamar kos, tetapi lantai lebih luas untuk aksi Niska kali ini. Tentu saja, tatapan Pak Galen pasti tertuju ke sini. Kepadanya. "Cari apa, Mbak?" See! "Kunci kamarku, Mas." Isi tas Niska mulai dari dompet, lipstik, charger, camilan ringan, hingga pembalut ... "Oh, ini ada! Ya ampun. Keselip ternyata." Niska senang sekali menemukan benda yang dia cari. Sepertinya kunci kamar kos harus Niska pasang gantungan supaya tidak terjadi hal seperti ini lagi. So, .... "Kalau kuncinya aku pakein gantungan, boleh—" Eh! Wajah Pak Galen tepat di depan wajah Niska. K-kok bisa? Saat Niska menoleh, rupanya Pak Galen bertempat di belakangnya sambil merundukkan tubuh. Untuk sepersekian waktu, posisi itu bertahan cukup lama. Dengan satu sama lain saling terpaku di posisinya. Tentu, Pak Galen yang lebih dulu menarik diri. Beliau pun mundur selangkah. Niska berdeham, dia lalu merapikan barang-barangnya ke dalam tas lagi, dengan tangan satunya yang mengepal kunci. Saat Niska berdiri, Pak Galen sudah duduk di tempat semula. Dan ... ya, beliau membaca koran. Koran, Sis! Niska baru sadar. Abad ini masih ada koran, ya? Niska pikir sudah punah, bahkan majalah pun sudah mulai terkikis rasanya, tetapi bapak kos Niska yang terhormat ini benar-benar sedang baca koran. Wah .... Malam-malam pula. Ada lampu, sih. Pikiran Niska auto penuh oleh beliau. Masuklah dia ke kamar, lalu kunci. Niska pun mengempas tubuhnya ke kasur. Hal yang dia sadari, isi kepalanya sudah bukan tentang Bang Daaron lagi sehingga tangis yang semula ingin dirinya keluarkan auto menguap menjadi kenyitan di dahi. Perihal bapak kos galaknya ini ... Niska lalu meraih sapu tangan tadi. Ngomong-ngomong ini sapu tangan bersih, kan, ya, yang Pak Galen berikan? Jangan bilang bekas lap keringat atau penutup mulut saat bersin dan batuk? Iyuw! Ah, tetapi Pak Galen sepertinya manusia apik. Sudahlah. Niska masukkan ke ember cuci, lalu dia beranjak ke kamar mandi. Begitu keluar, lampu kamarnya sudah dalam kondisi mati. Lho? Kenapa, nih? Lampunya putus? Alih-alih mencari ponsel, Niska memilih langsung keluar. Ada Pak Galen, kan? Niska mau laporan. Namun, sudah masuk ke kamar sepertinya. Pria itu sudah tidak di teras. Okelah, Niska ketuk pintu kamar beliau. Ini genting, toh? Niska tidak bisa tidur kalau lampunya mati, sedangkan dia tidak bisa mengganti lampunya sendiri. So, diketuk-ketuknya pintu kamar bapak kos. Ini kalau yang jaga ibu kos, macam mana, ya? Memang bisa ibu kos mengganti lampu? "Ada apa?" Oh, ya ampun! Hampir saja Niska mengetuk-ngetuk d**a beliau. Ehm. "Itu, Mas ... lampu kamarku mati." Pak Galen lalu masuk lagi, Niska dapat melihat sedikit isi kamar pria ini. Rapi sekali. Niska menunggui hingga bapak kosnya keluar dan membawa boks lampu, juga tongkat yang cukup panjang. Sepertinya itu alat untuk ganti lampu. Bersama-sama memasuki kamar Niskala. "Jangan ditutup pintunya." "Nggak, kok." Ya kali, Niska tutup? Lagi pula harusnya Niska yang takut karena lelaki itu masuk-masuk ke sini, bukan malah Pak Galen yang takut Niska kurung. "Ponselmu ada senternya, kan? Coba tolong sinari, saya nggak kelihatan. Terus itu sakelarnya matikan dulu." Baik. Niska manut. Dia lalu mencari ponselnya. Oh, ya, di tas. Niska pun menyalakan senter, menyinari lampu di atas sana, dan Pak Galen beraksi. By the way ... beliau wangi. Aromanya sangat maskulin. Apa saat mau tidur juga pakai parfum? Niska pikir bapak kosnya akan beraroma remason. You know remason? Macam aroma balsem gitulah. Ya, mana tahu? "Nyalakan," tukas beliau. Niska pun menekan sakelar dan ... "Nyala!" Girang betul dia, sampai tepuk tangan. "Makasih, Pak." Beberapa menit lalu nyebutnya 'mas'. Pak Galen menanggapi dengan satu kata, "Ya." Sudah, itu saja. Namun, saat Pak Galen mau lewat dan posisinya tubuh Niska menghalangi jalan, tiba-tiba terjadi sebuah tragedi. Niska geser ke kiri, Pak Galen juga ke kiri. Niska geser ke kanan untuk beri jalan di kiri, Pak Galennya sama-sama geser ke kanan. Kebayang? "Kamu sengaja?" Buset. "Nggak." "Minggir, saya mau lewat." "Ih, dari tadi juga aku udah berusaha minggir. Bapaknya aja yang ikut-ikut geser." Sekali lagi, masih sama pula arahnya. Salah Niska? No, ini takdir! Salahkan takdir! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN