"Denger-denger Pak Galen sampe turun gunung dan milih tinggal di sini demi mewujudkan visinya terkait kosan yang beliau bangun."
"Maksudnya gimana?"
Apabila di sebuah perusahaan suka ada karyawan yang bergunjing tentang bos mereka, maka sekarang kasusnya Niskala dan Uci selaku anak kos tengah bergibah bersama terkait bapak kos Airlangga. Well, sejak kejadian kemarin itu Niska jadi berteman lebih akrab dengan Uci.
Ada hikmahnya.
"Pak Galen itu tinggalnya di daerah puncak, katanya."
"Serius?"
"Hm. Setelah sukses sama bisnis kosan, bapak kos kita itu cuti dari peradaban kota. Keluarnya paling kalau di salah satu indekos dia ada apa-apa. Kayak kosan ini. Bu kosnya, kan, udah nggak kerja lagi. Sementara dipegang sama Pak Galennya langsung. Mungkin lagi nyari-nyari kandidat penjaga kos lain."
"Tahu dari mana kamu, Ci?" Niska meniup-niup kuah seblak, ternyata enak. Jujur, ini pertama kali dia makan seblak. Kalau ketahuan pipi pasti kena omel.
"Kata orang-orang aja. Nggak tau juga orang-orang taunya dari mana."
"Orang-orang kos Airlangga tapi, kan?"
"Iyalah. Yang tau-tau aja."
"Oh. Terus, terus?" Niska melahap kerupuk letoy setelah dia tiup. Ya ampun! Sebelumnya Niska agak aneh dengan olahan kerupuk kuah, tetapi ini tidak buruk. Biasanya kalau makan kerupuk itu kriuk-kriuk.
"Kamunya mau tahu soal apa lagi terkait bapak kos kita? Coba tanya, nanti aku kasih info setahu-tahu aku aja."
"Udah punya istri belum, ya?"
Uhuk, uhuk!
Oh, shiiit!
Uci sampai tersedak mendengarnya. Untung bukan tersedak kuah seblak, tetapi tersedak air minum.
"Ya ampun, Ci ... maaf."
Uci berdeham, minum lagi, lalu menjawab, "Ada yang bilang duda."
"Asli?"
"Soalnya udah tiga puluhan tahun, ganteng, banyak uang, masa gak ada istri? Minimal duda, kan, kalaupun iya gak ada?"
"Dih, justru cowok mapan, ganteng, dan banyak uang itu rata-rata nikahnya entar-entaran, tau!"
Niska sotoy, sih. But, sepengetahuan Niska di keluarganya banyak yang seperti itu. Mulai dari Om Nandar, Om Gilang, sampai Pakde Genta. Mereka tampan, mapan, banyak uang, tetapi menikah tidak diprioritaskan.
"Iya, sih. Lagian kenapa nanyain bapak kos udah ada istri apa belum? Mau daftar, Nis?"
"Kalau ada lowongan." Sambil haha-hihi. "Ah, tapi nggak, ding. Pak Galen galak." Niska lalu bergidik. "Dari tatapannya aja udah mematikan, Ci. Aku sering kena tatapan lasernya itu. Beuh!"
"Bolong gak pala kamu?"
"Untungnya nggak."
Mereka tertawa.
"Eh, jangan berisik. Yang di sebelah ini kamarnya Pak Galen," kata Niska.
"Lha, tadi kamu bilang orangnya lagi nggak ada?"
"Iya, tapi takutnya udah balik, gimana?"
"Harus keliatan dari sini, kan?" Berhubung pintu kamar Niska dibuka.
"Iya, sih. Okelah, aman." Niska seruput lagi kuah seblak yang salah satu rempahnya adalah kencur.
"Tapi serius, Pak Galen aslinya orang mana, sih?" Niskala kepo banget.
"Jakarta. Ada, tuh, yang tahu rumah orang tuanya."
"Kenapa milih tinggal di gunung, ya?" I mean, daerah pegunungan.
"Udah muak sama ingar-bingarnya perkotaan kali, jadi menepi. Toh, kalo kita udah ada ladang pemasukan yang cuannya ngalir terus, enakan tinggal di daerah desa-desa adem gitu gak, sih?"
"Andai masnya nggak galak, nggak serem, aku kayaknya mau, deh, pepetin beliau tipis-tipis." Aslinya, Niska iseng saja bilang begitu.
"Pepetin aja, Nis. Mana tahu kalo udah jadi ayang mah seratus delapan puluh derajat bedanya. Jadi lemah lembut dan penyayang."
Niskala tertawa. "Aku godain aja apa, ya?"
"Sejauh ini belum ada yang berani, sih. Tapi kalo kamu bisa dan dapet, rejeki nomplok, yakin. Tugasmu entar cuma ongkang-ongkang kaki aja, Nis."
"Haha! Iya, bener, bener. Tapi gimana cara godainnya? Ada ide?"
Uci sampai menyingkirkan kemasan seblaknya sejenak, menatap Niska dengan serius seserius pertanyaannya. "Ini kamu serius? Dari tadi bukan asbun?"
"Lha ... serius, Ci! Kamu kira aku asal bunyi?"
Iseng, sih, lebih tepatnya. Pas awal-awal. Namun, sepertinya seru juga, tuh, lumayan nambah-nambah kesibukan dan beban pikiran. Daripada mikirin Bang Daaron, kan? Yang mana belum move on sepenuhnya. Sudah dikata tidak mudah, tetapi sekarang Niska merasa lebih baik karena tidak sesering dulu ketemu lelaki itu.
Hanya memang di saat-saat sedang lengang, pikiran Niska suka lari ke sosok Bang Daaron, apalagi kalau sudah melihat status WA beliau, biasanya Niska merembet kepo ke mana-mana. Menjelajah media sosialnya. Kan, asem!
Capek-capek empat tahun lebih usaha memupus perasaan cinta yang ada untuk Bang Daaron, sampai bela-belain ngekos pula. Eh, kacau hanya dengan sekali kepikiran. Move on-nya bisa-bisa mulai dari nol lagi.
Nah, mana tahu kalau Niska ada kesibukan ditambah melibatkan pria lain, perasaan di hati untuk cinta pertamanya pudar menyeluruh. Asal Niska tidak sampai naksir saja, sih, sama bapak kosnya. Kecuali kalau Pak Galen yang naksir lebih dulu, mungkin Niska bisa pikir-pikir nanti mau pakai gaun pengantin adat mana.
Eh?
Ya, itulah pokoknya.
"Pertama-tama kamu kudu save nomor WA-nya Pak Galen dulu, sih, Nis."
"Udah aku save kemarin pas di grup sungkem minta maaf."
Uci malah tertawa.
"Doi, kan, cowok dewasa, nih, ya ... kamu harus mode dewasa juga, Nis. Secara kepribadian, ya, ini."
"Harus kayak gitu? Nggak bisa jadi diri sendiri aja apa, Ci?"
"Takutnya Pak Galen ilfeel."
"Parah, kamu. Emang aku sebikin ilfeel itu, ya?"
"Eh, eh, bukan gitu, Nis. Maksudnya ... kamu itu, kan, auranya kayak Tadika Mesra banget. Nah, sedangkan Pak Galen aura kuburan. Nyocokin aja gitu. Masa iya di kuburan nuansanya TK Upin-Ipin?"
"Iya juga, sih." Niska tidak menampik bahwa dirinya yang sangat 'ramai' ini dikatai aura Tadika Mesra, juga tidak menampik bahwa aura Mas Galen memang semistis kuburan, sunyi, dan menyeramkan.
"Betewe ...." Niska bicara lagi. "Kalau aku godain dan ternyata Pak Galen bukan nggak suka aku, tapi emang gak suka cewek ... apa kabar itu?"
"Hom to the mo maksudnya, Nis?"
"Iya. Gimana kalo ternyata beliau jenis jeruk makan jeruk?"
"Ya, mampus. Antara nanti kamu dijadiin subjek buat menutupi kehomoannya atau dilepeh mentah-mentah."
"Kalo Pak Galen gay, ya, akulah yang lepeh dia. Enak aja!"
Uci lalu tertawa. "Haha! Udah, ah. Aku balik ke kamar dulu. Seblakku udah abis juga. Thanks, ya, traktirannya!"
"Oke, sip. Makasih juga atas infonya, ya!" Terkhusus yang kemarin di chat itu, yang memberi tahu Niskala bahwasanya sosok cowok wara-wiri di kos putri adalah sang penilik kos ini sendiri.
"Eh, kenapa, Ci?" Niska heran melihat Uci seakan sedang memergoki rohnya digeret oleh malaikat maut. Sampai mematung memucat begitu.
Yang mana kemudian Uci melesat ke kamarnya di lantai atas.
Bocah ngapa, ya?
Niska praktis melongok ke luar, apa hal yang membuat Uci—alamak!
Pintu kamar sebelah terbuka sedikit dan saat Niska belum sempat beranjak dari keterkejutannya, seseorang menarik handel pintu hingga kini terbuka lebih lebar, menampilkan pria tinggi besar yang lebih seram dari hewan buas spesies mana pun!
P-Pa-Pak Galen!
Kok, di sini?
Bukannya tadi pergi bawa tas besar dan belum kembali?
Pintu kamar Niska pun dibuka lebar sehingga dapat melihat orang keluar-masuk gerbang, mestinya. Nah, lho, manusia setinggi besar bapak kos Airlangga ... macam mana bisa tidak teraba mata? Kalaupun iya tidak terlihat, minimal ada suara yang terdengar.
Ta-ta-tapi ....
Mati aku.
Mati lagi.
Niska menelan ludahnya kelat dan sama sekali belum beranjak. Dia syok berat, asal you know!
Tatapan mereka bertemu, bahkan sejak Pak Galen membuka lebih lebar daun pintu.
Fix, Niskala beku. Kaku.
Hingga lelaki berperangai seram itu berlalu.
Just it.
Tapi Niskala berasa tersedot seluruh energi kehidupannya sampai tubuh mengering, lalu dia pecah, remuk, menjadi abu, habis itu tertiup angin panas ibu kota, dan hilang dari peradaban pribumi abad ini.
"UCIII!"
"NIIIS! TERNYATA PAK GALEN ADA DI KAMARNYA!"
Diucap dengan pekikan pelan laksana tikus mencicit terjepit.
Tadi, Niska buru-buru melesat ke kamar sobat gibahnya di kos Airlangga setelah punggung Pak Galen tidak terlihat. Beliau keluar entah ke mana.
"Tapi sumpah, Ci, aku lihat dia pergi bawa tas gede sebelum kita jajan seblak! Pas kita balik, kondisi kamarnya masih persis kayak yang aku lihat sebelumnya. Nggak ada tanda-tanda Pak Galen udah pulang, bahkan mobilnya gak ada. Sandalnya juga gak ada, lho."
"Ah, gimana, dong? Nyatanya dia udah balik, Nis, tanpa kita tahu gimana ceritanya."
Niskala mengacak-acak rambut. "Ternyata kekhawatiran aku bener."
"Duh, iya lagi." Uci sama-sama gelisah.
"Tapi kamu mending, Ci, kamarnya di sini. Lha, aku?"
Bersebelahan, cui!
Apa Niska pindah kosan saja, ya?
Bisa, sih. Tapi ... meski seram, Pak Galen lumayan tampan bikin betah.
Duh.
Niska tepuk jidat.
***
"Betah, ya, Nis, di kosan?"
Uh ... iya. Itu Bang Daaron yang bertanya.
Saking betahnya, Niska sampai lebih memilih pulang dan tinggal di rumah untuk sementara, alih-alih milih pindah kosan setelah dua kali menistai Pak Galen dan ketahuan langsung oleh beliau.
Pertama, Niska mengatai Pak Galen galak bin seram di grup chat. Kedua, Niska gibah ini-itu sampai bahasan aura kuburan, gay, dan ... niatannya untuk menggoda lelaki itu.
Sudahlah.
"Abang juga betah, ya, di sini?" Niska haha-hehe.
Bang Daaron terkekeh. "Lebih betah di sini daripada di rumah orang tua sendiri malah."
"Dasar! Ya udah, ah, aku ke kamar."
"Eh, Nis ... bentar!"
Pergelangan tangan Niska dicekal, ada desir yang kurang ajar dan Niska berusaha menepis itu. Ayolah, move on!
Tapi cinta yang tertanam sedari kecil hingga dewasa itu sejatinya tidak mudah dipupus, apalagi Niska kasusnya masih dalam proses, dan prosesnya tidak sebentar. Apa dia tipe yang baru bisa move on kalau sudah ada penggantinya, ya?
Sejauh ini Niska belum mencoba mencari pengganti Bang Daaron, sih. Lagi pula bagaimana bisa?
Auk, ah!
Capek.
"Kenapa, Bang?"
Meski begitu, tidak Niska tepis cekalan tangan Bang Daaron, bahkan rangkulan tangan beliau. Bukan Niska melumayankan 'kedekatan', dia hanya tidak mau terbaca perasaannya dari gerak-gerik yang berbeda.
Niska, kan, sosok adik di mata pria itu. Jadi, oh ... ini menyesakkan.
"Telepon Dikara dulu, dong, Nis."
Sudah biasa.
"Please! Nanti Abang kasih apa pun yang kamu mau."
Hati.
Bagaimana kalau yang Niska mau adalah hati Bang Daaron?
***
Sial.
Niat mau kabur dari kosan ke rumah, ending-nya Niska balik lagi ke kosan. Tepat pukul delapan malam dia kembali ke kos Airlangga.
Ya Allah!
Nasib.
Takut banget gagal move on, jadi lebih baik gagal melindungi diri dari serangan tatapan tajam Pak Galen. Atau mungkin dampratan beliau karena sudah berani-beraninya menggunjing orang itu di wilayah ini.
Tuh, kan!
Baru juga tutup gerbang, Niska sudah melihat sosok bapak kos duduk dengan aura menyeramkan di depan kamar.
Kenapa kamarnya harus sebelahan dengan kamar Niska, sih? Dari sekian banyak kamar, kenapa di situ? Atau, kenapa Niska pilih kamar yang letaknya di sebelah kandang reptil?
Salah ibu kos, sih, ini. Kenapa tidak diberi tahu kalau sebelah kamar Niska itu tempatnya ular taipan pedalaman, yang racunnya dapat mematikan, satu gigitannya cukup membunuh 100 manusia, meski tidak agresif.
Huh, menyebalkan!
"Sudah tahu kalau di kos ini ada jam malam?"
Kan, kan! Niska bilang juga apa!
"Tahu, Pak." Padahal tadinya sebut mas, auto ganti jadi bapak.
"Saya sebutkan lagi, sepertinya kamu tidak benar-benar tahu atau malah aslinya tidak begitu paham tulisan berbahasa manusia."
Hei!
Apa-apaan ucapan beliau itu?
"Jam malam mahasiswa jatuh pada pukul tujuh, baik S2 maupun S1 sama, kecuali kalau sudah ada izin atau omongan sebelum pergi ke saya."
Sangat ketat, Bestie!
Kosan Airlangga memang begini, tetapi jangan salah, banyak peminatnya.
"Iya, Pak. Maaf."
"Ini yang keberapa kali?"
Niska disidang dulu sebelum masuk kamar, padahal sudah lelah pol ini. Lelah hati menghadapi perasaan sepihak.
"Baru kali ini, Pak."
"Tapi kamu yang paling banyak melanggar peraturan di sini—"
Dan, ya, Niskala menangis. Sedang patah-patahnya hati malah kena omel.
Tuhan ....
Pak Galen lalu berdiri. Ya, soalnya tangis Niska sampai tergugu, menutup wajah di depan pria yang semula duduk.
Bang Daaron, oh, Bang Daaron.
Secinta itu sama Dikara?
"Saya ada salah bicarakah, Mbak?"
Buset.
Mbak lagi nyebutnya.
Makin kejerlah ini.
Tanpa memedulikan apa pun, bahkan mungkin kekepoan penduduk kos Airlangga, tentang Niska yang menangis di depan bapak kos mereka.
***