"Anu, Ma. Aku masih segelan kok."
"Jangan bohong!" Mama masih tidak percaya.
"Serius, aku gak bohong, Ma."
Kudu mengeluarkan seribu jurus biar Sinta percaya. Mamanya kadang lebih percaya sama si Mardi ketimbang anaknya sendiri. Mungkin karena semua teman Luna kebanyakan gak bener. Hanya si Mardi yang gak pernah ikutan main ke club atau semacamnya. Alasannya gak ada duit. Walau dipaksa pun, anak itu tetap ogah.
"Lah itu tadi kamu bilang si Edward sudah biasa tidur dengan banyak wanita. Apakabar kamu yang udah jadi pacarnya?"
"Ya ampun, Ma. Aku gak sebobrok itu juga kali, Ma."
"Yakin? Mama takut pas kamu minum alkohol terus mereka rusak kamu."
"Ampun deh, gak ada, Ma. Tanya aja sama si Mardi. Dia tahu kok, aku gak pernah main ngamar sama cowok."
"Baguslah, jangan sampai pokoknya. Ngeri juga ya si Edward itu."
"Makanya, Ma. Kali aja si Edi lamar aku cuma penasaran doang pengen tidur bersama. Kalau udah dapat yang dia mau, pasti dia ninggalin. Mana mau lah aku."
Mama terlihat kaget, "Dih, kok jahat ya?"
"Nah makanya, aku tolak aja lamaran pria itu."
Sintia sebenarnya sedikit khawatir dengan pergaulan Luna. Anak ini sangat supel mudah bergaul dengan siapa saja. Sayangnya dia berteman tanpa pilih-pilih. Mending yang circle-nya positif, lah ini? Yang aneh-aneh juga Luna ajakin.
"Tapi kalau dipikir-pikir usia kamu kan udah dua puluh dua tahun tuh, kalau semisal ada yang melamar dan kamu cocok mending terima aja deh."
Ya, Sinta pikir ada bagusnya juga kalau anak gadisnya segera menikah. Biar ada yang menjaga sepenuhnya.
"Aku gak mau gegabah, Ma." Luna berpindah dari ruang tamu ke ruang televisi lalu merebahkan tubuhnya di sofa.
Ah, tetiba wajah Raihan berkelebat. Kalau yang ini sih, sepertinya bisa dipertimbangkan. Cakep, gak genit pula. Masalah ekonomi sih Luna gak matok. Asal mau kerja keras, harta bisa didapat setelah bersama. Kan, jadi bikin mesem-mesem gak jelas. Semoga saja mamanya gak lihat.
"Heleh, gayamu gak mau gegabah, tapi kamu sendiri kenapa pacaran dengan pria begitu?" Sinta ikut duduk di ruang televisi.
"Cuma hiburan doang, Ma. Ditambah buat tameng juga kalau aku ke club. Rerata orang kayak Edward itu banyak pengawalnya, Ma."
"O ya? Lumayan juga ya? Tapi tadi kamu tolak dia apa gak bakalan jadi masalah?"
Mendengar penuturan putrinya, Sinta jadi cemas. Bagaimana kalau si Edward atau yang sering dipanggil Edi sama Luna itu sakit hati lalu mencelakai Luna?
"Gak akan. Doain aja, Ma. Si Edi gak bakalan gegabah bertindak. Dia pewaris hotel ternama di kota Jakarta. Kalau bikin ulah, usaha bapaknya yang kena."
"Kamu tetap harus hati-hati, Lu."
"Iya, Ma!"
"Oh ya, sarapan dulu gih!"
"Aku mandi dulu, Ma."
Mama kaget, "Ha? Ampun deh, jadi kamu menemui Edward belum mandi sama sekali?"
Luna nyengir dan mengangguk, "Iya. Kenapa emang?"
"Dih, anak perawan jorok amat! Sana mandi! Bau iler juga!"
Luna hanya tertawa melihat mamanya. Gadis itu kembali naik ke atas untuk mandi. Hari ini ia memang ada jadwal ke kampus untuk bimbingan. Fase ini memang benar-benar menguras emosi dan pikiran. Seperti santai tapi membantai. Itulah perjuangan menyusun skripsi.
***
"Lu, udah ACC?" Mardi menghampiri Luna yang sedang duduk sendirian sambil minum air kelapa muda. Hari yang panas membuat tenggorokannya terasa sangat haus. Minum air mineral saja rasanya gak cukup.
"Udah, Mar. Lo sendiri?" Luna balik bertanya dengan gaya santai.
"Anjir! Demi apa?! Gue nyusun skripsi lebih dulu dari elo, bahkan gue udah bab tiga elo baru ngajuin judul. Dan sekarang elo udah ACC aja?!"
"Gak usah kaget, namanya juga rezeki."
"Sialan! Bantuin gue juga, njir!"
"Haha, gue bisa apa, Mar? Bisa selesaikan babnya juga udah bagus."
"Heh, jangan pura-pura bego, gue tahu dosen pembimbing mesti cepat bantu lo ACC karena elo cakep. Bantu gue lah, anterin bimbingan sore ini."
Wajah Mardi memelas.
"Haduh, harus ya sama gue?"
"Iyalah, kalau gue sendirian, si Bapak mukanya bete berat. Kali lihat yang bening jadi bersinar."
"Haha, ya udah, boleh deh. Tapi lo bisa bantuin gue gak?"
"Ha? Buat apaan?"
"Gue mau mutusin pacar gue yang dua lagi. Si Edi udah tadi pagi. Dua lagi belum. Rencana siang ini gue ketemu Yoga di kafe. Mau ya?"
"Gue mesti ngapain emang? Pura-pura jadi pacar lo lagi? Ogah! Kapok jadi perkedel gue!"
Luna tertawa lepas, "Haha! Yang ini kagak lah, skenarionya beda."
Iya, dulu si Mardi pernah bantuin Luna mutusin pacar anak juragan kontrakan. Mardi disuruh pura-pura jadi pacarnya Luna. Eh, pulangnya si Mardi bonyok dipukulin sama orang-orangnya mantan Luna. Untung saja Amar jauh lebih kuat pengaruhnya dari juragan kontrakan itu. Mardi selamat.
"Gue mesti ngapain a***y?"
Mardi was-was, sumpah! Masih kebayang sakitnya perut yang kena tonjokan pria berbadan Hulk waktu itu.
"Elo pura-pura jadi cowok yang kepaksa dijodohin sama gue gitu, elo gak usah repot-repot akting mesra pokoknya, cuma bilang iya, iya, aja. Bisa ya?"
Sekarang giliran Luna yang memelas. Sumpah ya, kalau bukan karena demi skripsinya, Mardi gak mau lagi. Tapi daripada skripsinya terus terkatung-katung ya kan?
"Oke, deal!"
Luna tersenyum lebar. "Siap, gue traktir lo makan bakso deh, cus!"
"Nah gitu, dong! Biar ada tenaga, haha!"
Lulu dan Mardi pergi ke kedai bakso terdekat dari lokasi kafe yang sudah disepakati dengan Yoga.
"Ah, kenyangnya! Coba elo tiap hari traktir begini, kan gue gak usah repot-repot buka jasa fotokopi sama anak-anak di kampus," Mardi mengusap perut ratanya.
"Ck, bukan tiap hari lagi, tiap jalan sama lo, bukannya gue yang selalu bayar? Sue lo! Mendadak amnesia!"
"Haha, iya gitu?"
"Ck, udah ah. Ayok ke kafe! Mobil si Yoga udah ada tuh!"
Mardi melirik ke luar kedai. Tepat di seberang adalah kafe yang akan mereka tuju. Ada mobil mewah terparkir di sana. Mardi keder banget, ampun deh! Rerata cowoknya si Lulu orang atas semua.
Setelah bayar ke kasir, Lulu dan Mardi keluar. Mereka berjalan menuju kafe. Luna dan Mardi sengaja menyimpan motor mereka di kedai bakso.
"Hai, Yoga! Udah lama? Maaf ya bikin kamu nungguin."
Luna memberi isyarat ke Mardi agar mendekat. Lah, anak itu malah kayak anak SD yang minta sumbangan, menyedihkan sekali!
"Lho, ini siapa?" Yoga menatap tak suka ke arah Mardi. Duh, Mardi menyiapkan mental. Drama akan dimulai!
"Kenalin, Ga, ini Mardi. Aku minta maaf sebelumnya, sebenarnya Mama dan Papaku sudah lama menjodohkan aku sama dia."
"Maksud kamu?" Yoga tak terima sepertinya. Raut wajahnya terlihat sangat kesal.
"Gini lho, Mas. Sebenarnya saya juga gak mau dijodohin sama Luna. Tapi berhubung orang tuanya maksa, jadi saya gak bisa nolak." Mardi melancarkan perannya.
Good, Marimar! Teriak Luna dalam hati. Yoga menatap Luna, "Sayang, kenapa kamu tega melakukan ini sama aku? Bukannya selama ini semua yang kamu mau selalu aku turutin?"
"Iya aku tahu. Tapi ini juga berat buat aku, Yoga. Kalau gak nurut, aku diancam dicoret dari daftar kartu keluarga." Luna juga tak mau kalah.
"Sayang, tapi aku masih cinta sama kamu, aku gak mau kita putus," Yoga mengambil tangan Luna dan meremasnya lembut.
Pret, cinta tai embe! Luna mengejek dalam hati. Si Yoga ini playboy cak dua banteng. Lagaknya aja kayak yang berat, padahal di belakang sana, anak ini banyak juga pacarnya. Entah Luna termasuk pacar yang keberapa.
"Maaf ya, kamu jangan marah dan benci sama aku dan Mardi. Kami hanya dua anak malang yang sedang berusaha berbakti."
Luna berdiri diikuti Mardi. Ia harus segera pergi. Males buat basa-basi lagi.
Yoga ikut berdiri. Pria itu mendekat. "Sayang, sebagai tanda perpisahan kita, izinkan aku memeluk kamu untuk yang terakhir kali."
Sret!
Eh?
Luna kaget saat tiba-tiba si Yoga menarik pinggangnya dan memeluk erat Luna.
Mata Luna makin kaget saat melihat di seberang kursi mereka. Sepasang mata yang sedang menatap ke arahnya.
Buru-buru Luna melepaskan pelukan Yoga.
"Mas Rai? Se-sedang apa di sini?" Aish, jadi gugup kan?
"Jangan terganggu dengan kehadiran saya. Lanjutkan saja!" Raihan menjawab dengan ketus. Biasanya pria itu ramah walau Luna berbuat ulah padanya.
"Mas Rai, jangan salah faham!" Luna mengejar Raihan yang baru masuk malah keluar lagi dari kafe.