"Mas Rai!" Luna masih berusaha mengejar Raihan.
"Lu, udah ayok balik lagi ke kafe, itu si Yoga gimana?" Mardi ngos-ngosan ikut berlari di belakang Luna. Sialan, mungkin emaknya benar, sebaiknya ia berhenti merokok. Dibawa lari dikit aja nafasnya udah gak kuat.
"Luna!"
Luna menoleh. Alah, ngapain sih si Yoga pake acara ikut keluar dari kafe segala? Ck, kan jadi makin runyam begini.
"Maaf, Luna. Saya berangkat dulu, masih ada acara lain." Raihan tampak tenang membuka pintu mobilnya.
Pria itu hendak masuk ke mobil, namun urung saat tiba-tiba Luna menarik ujung lengan baju milik Raihan.
"Eh, tunggu, Mas Rai! Dengerin saya dulu, yang tadi itu gak seperti yang Mas lihat kok. Saya dan Yoga baru saja putus. Beneran!"
Raihan tersenyum kecil, tapi pria itu hanya memandangnya sekilas lalu beralih menatap objek lain di depannya.
"Kenapa kamu harus menjelaskan? Saya bukan siapa-siapa di sini. Dan lagi pula itu urusan kamu."
"Terus kenapa tadi pas Mas mau masuk malah keluar lagi? Pasti Mas kecewa ya sama saya?" Lulu masih kukuh dengan prasangkanya. Ya, pasti Raihan cemburu tadi.
"Luna, saya ke sini untuk bertemu pelanggan. Tapi barusan saya ditelpon katanya saya salah masuk kafe. Harusnya bukan kafe yang ini. Namanya agak mirip, jadi saya harus kembali lagi."
Luna melongo, "Ha? Jadi Anda ke sini untuk masalah pekerjaan?"
Raihan mengangguk, "Ya, benar. Saya pergi dulu ya? Khawatir sudah ditunggu lama."
Kalau sudah begini, siapa yang malu? Luna tadi terlalu yakin jika Raihan pergi karena melihat adegan mesranya dengan Yoga. Tak tahunya huhu, udah ngejar sampe parkiran segala lagi.
"Lu, siapa dia?" Kali ini Yoga tak bisa diam terus. Ia berjalan dan menghampiri Luna.
Luna gak jawab. Menunggu Raihan pergi. Setelah memastikan pria itu menjauh, Luna menatap Yoga.
"Ga, sekali lagi gue benar-benar minta maaf. Kita gak bisa melanjutkan hubungan kita lagi."
Yoga terlihat menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Jujur sama aku, Lu. Kamu minta putus karena dijodohkan atau karena pria yang tadi?"
Luna melirik Mardi. Minta bantuan jawab. Untung saja si Mardi sedang menatapnya. Pria itu langsung mengangguk cepat.
"Udah saya bilang, Mas. Luna dan saya dijodohkan. Ya mau gimana lagi, saya juga sebenarnya keberatan. Apalagi Luna sudah punya pacar. Tapi saya juga gak mau dicap jadi anak durhaka. Mas ngerti kan?"
Pria itu terlihat menahan kesal. Yoga tersenyum kecut. "Apapun alasan kamu, mungkin intinya kamu ingin putus dari aku kan?"
"Gak gitu, Ga. Aku gak bisa menolak keinginan orang tua aku."
"Terus kenapa kamu tadi mengejar pria lain dan berusaha menjelaskan sama dia?"
Anjir! Si Yoga masih belum percaya. Seketika otak Luna bekerja cepat.
"Oh, pria tadi. Dia partner bisnis Mama. Tadi dia lihat kamu lagi memeluk aku. Pasti dia ngadu sama Mama. Aku hanya gak mau bikin Mama sedih." Luna menatap Yoga, semoga pria ini percaya.
"Begitu rupanya. Mungkin aku udah gak punya kesempatan lagi. Padahal aku ingin melamar kamu setelah kamu wisuda."
Luna tersenyum kaku, "Maaf, Ga. Kamu pria baik. Yakin deh bisa dapat gadis lain yang jauh lebih baik dari aku."
Pret, Luna ingin muntah rasanya saat memuji si Yoga pria baik. Ya, Luna tahu kok. Pria ini punya banyak selingkuhan. Mana ceweknya seksi semua lagi. Mesti mereka sudah pernah bobo bareng. Waktu masih pacaran dengan pria ini, Luna pernah mengutus seseorang untuk membuntutinya. Dan Yoga ketahuan masuk ke hotel dengan tante-tante seusia Mama.
Sedangkan Luna hanya pernah ciuman doang sama si Yoga. Untung aja dirinya tidak terkecoh dengan mulut manis si Yoga yang merayunya ngajakin chek in di hotel.
Yoga tersenyum tipis. Pria itu menunduk lama lalu menatap Luna. "Baik, kalau begitu aku pergi dulu. Semoga kamu bahagia dengan pilihan orang tua kamu. Tapi jika suatu hari kamu sudah bosan padanya, datanglah padaku."
Luna meringis, "Ah ya, tentu saja. Sekarang cepat pergilah."
Luna buru-buru menarik tangan Mardi dan mengajaknya pergi.
"Ngapain si lo buru-buru begitu?"
Mardi menatap Luna heran.
"Si Yoga tipe nekat. Kalau kita gak cepat pergi, pasti dia balik lagi dan nanya lagi."
"Ha? Apa iya begitu?"
"Ho'oh, aku pacaran sama dia tuh terpaksa. Karena dia ngikutin aku terus tiap hari. Daripada risih ya udah aku terima saja."
Mardi tertawa geli, "Haha! Masa sih? Tapi yang gue lihat kayaknya si Yoga beneran suka ke elo deh, Lu."
"Bodo amat ah, mau beneran kek mau bohongan kek, yang penting gue udah lepas dari dia."
Mardi dan Luna sudah sampai di depan kedai tempat mereka menyimpan motor.
"Eh, elo bilang kan masih ada satu lagi yang belum diputusin, siapa dia?" tanya Mardi begitu mereka sudah naik motor masing-masing.
"Oh itu, namanya Alvin. Masih berat euy kalau yang itu."
"Ha? Elo masih suka?"
"Bukan gitu juga sih, cuma si Alvin ini pernah nolongin gue beberapa kali. Agak gak enak kalau bikin dia sakit hati."
Mardi dan Lulu meninggalkan halaman kedai. Sengaja mereka menjalankan motornya gak terlalu cepat. Sambil ngobrol juga.
"Alvin yang mana sih, Lu?"
"Yang anak basket."
"Wow, bukannya dia anak baik?"
"Iya sih, gue emang belum pernah dengar si Alvin main wanita. Tapi kita gak tahu kan di belakang gue dia kayak apa."
Keduanya berhenti di depan kampus. Ya, mereka sekarang akan bersiap untuk bimbingan si Mardi dengan dosennya. Sesuai dengan janjinya Lulu.
"Bukannya elo suka menyelidiki semua pacar lo?"
"Kecuali si Alvin keknya. Anaknya lurus gak neko-neko. Jadi gue gak curiga. Dia juga gak pernah minta peluk apalagi tidur. Jadi gue pikir gak ada yang mesti dicurigai."
Mardi dan Lulu duduk di gazebo depan kampus. Sambil menunggu dosen pembimbing Mardi datang.
"Oh ya, gue perlu dandan gak? Siapa tahu dosen pembimbing lo kepincut," ucap Lulu sambil cengengesan.
"Ck, gak usah! Segitu juga udah cakep."
"Heh, jangan bilang elo juga demen sama gue?"
"Dih, ogah! Gue tahu elo luar dalam, haha! Tukang ngorok, jarang mandi, kentutnya paling bau!"
"Bangke lo!"
Selang lima menit kami ngobrol sambil makan cemilan, dosen si Mardi datang. Wow, ini sih dosen yang banyak digilai banyak mahasiswi di kampus. Sayang, bininya udah tiga.
"Siang, Pak. Maaf saya ganggu Bapak." Mardi menyambut Pak Trisno.
"Kamu sama siapa?" Mata Pak Trisno melirik Luna. Tentu Luna langsung pasang senyum terindah.
"Saya temannya Mardi, Pak. Dari fakultas ekonomi." Luna menjawab tanpa melepaskan senyum di bibirnya.
"Hm, temannya?" Pak Trisno menatap Mardi dan Lulu bergantian. Mungkin gak percaya jika Luna teman dekat Mardi. Mukanya sangat jomplang.
Luna mengangguk sambil tersenyum, "Iya, Pak. Oh ya, saya ambilkan minum. Bapak mau minum apa?"
Pak Trisno menatap Lulu. Siapa sih yang gak suka melihat wanita cantik? Begitu juga dengan Pak Trisno. Sesuai dugaan Mardi, membawa Luna dalam bimbingan benar-benar mengubah mood Pak Trisno jadi lebih ramah dan hangat. Biasanya galak dan ketus. Si Lulu benar-benar pandai membuat pria merasa nyaman dan dihargai. Pantas saja banyak yang suka.
Hingga selesai bimbingan, Pak Trisno gak henti menatap Luna dengan wajah berseri.
"Pak, makasih banyak ya atas bimbingannya, keren sih ini. Baru nemu saya dosen sebaik Anda." Tuh kan, Lulu bikin hidung si dosen kembung kempis terus sejak tadi.
"Itu sudah jadi tugas saya. Oh ya, ngomong-ngomong kalian mau lanjut jalan?" tanyanya dengan mode dibuat so cool. Lulu sendiri sebenarnya sudah pengen muntah sejak tadi. Dia ngebual terus sampai gumoh.
"Iya, Pak. Biasalah, anak muda." Lulu menjawab dengan tawa renyah. Jir, udah lihai pokoknya masalah gombal. Mardi aja sampe geleng-geleng. Gak ada lawan emang. Sayang, si Lulu malah mengejar pria jenggotan yang jelas menolak gadis itu.
"Kemana? Saya boleh ikut gak? Kebetulan hari ini free."
Mardi dan Lulu melongo, "Ah? Hehe, anu Pak. Saya hanya bercanda. Habis ini mau pulang. Takut Mama sama Papa nyariin."
"Oalah, bagus itu. Kamu gadis baik. Mar, jagain dia ya? Saya pulang duluan."
Sumpah, Lulu ingin tertawa tapi takut dosa. Kelihatan banget Pak Trisno menahan malu, haha.
Selepas kepergian Pak Trisno, Lulu menghembuskan nafas leganya. "Akhirnya semua beres. Eh, gue cabut dulu ya?"
"Lah, elo beneran mau pulang? Baru jam tiga lho ini?"
"Gue ada jadwal penting selepas ashar. Udah ya, gue pergi!"
Buru-buru Lulu naik ke motornya. Bisa telat nih. Ya, dia sudah janji mau ikut kajian lagi. Papa bilang sore ini kajian di pesantren untuk umum. Semoga saja yang ngisinya si Ganteng Raihan.
Lulu mandi dan segera berganti pakaian. Dia baru punya baju jubah satu biji. Belum sempat beli lagi. Tapi lumayanlah, daripada ntar jadi tontonan lagi karena beda sendiri bajunya.
"Kamu mau kemana? Bukannya baru pulang?" Sinta terlihat baru masuk ke rumah. Ia baru selesai mengecek karyawannya yang menggelar live streaming di akun media sosial resmi perusahaan. Membuat program diskon dan promo untuk menarik pembeli sebanyak-banyaknya.
"Aku mau ke pesantren, Ma."
"Oalah, bagus itu. Tapi awas lho, jangan bikin ulah lagi. Apalagi sampai godain Raihan. Mama malu, Lu."
"Iya, aku tahu."
Gak digodain sih, tapi mau dikawinin, haha. Lulu mematut dirinya di cermin. Cantik paripurna seperti biasa. Setelah puas, ia keluar dan segera meluncur ke pesantren dengan motornya.
Suasana pesantren sudah ramai. Beberapa jemaah pengajian masih terus berdatangan. Luna celingukan.
"Neng, di sana kosong, silakan!" ujar salah satu bapak pengurus DKM.
"Oh, saya bukan lagi cari kursi kosong, Pak." Lulu menjawab dengan senyuman khasnya.
"Terus nyari apa, Neng?"
"Cari Mas Rai. Ada gak ya?"
"Ha? Mas Rai?" si Bapak tampak kebingungan. Lalu tersenyum geli, "Maksudnya Bang Raihan?"
"Nah, iya Pak. Ada gak?"
Bapak itu malah celingukan. "Kemana ya? Tadi ada di sekitar sini deh."
"Kamu cari saya?"
Luna berbalik. Tampaklah Raihan dengan kemejanya yang digulung sampai sikut.
"Eh, iya, Mas. Um, kok Mas belum siap-siap untuk ngisi kajian?" tanya Luna.
Raihan tersenyum, "Bukan jadwal saya. Hari ini ayah saya yang ngisi."
Luna langsung kecewa, "Ya.... kirain. Terus Mas Rai mau kemana?"
"Saya mau ke kampusnya Ragil."
"Waduh, saya juga mau ikut sekalian boleh gak?"
"Tapi saya tidak bawa mobil. Pakai motor."
"Kayaknya cukup deh kalau saya dibonceng, Mas. Saya nebeng ya?"
"Lho, ngapain?"