Jadi Guru Privat!

1237 Kata
"Um, anu. Saya ekhm, ada telpon katanya harus ke kampus juga." Lulu terpaksa bohong. Ya mau gimana lagi, kalau gak modus gak bakalan bisa dapat kesempatan berduaan dengan pria ini. "Waduh, kamu ke sini naik apa tadi?" Raihan celingukan. Rasanya tidak mungkin kalau gadis sekelas Luna mau naik ojol atau angkutan umum. Putri tunggal Bu Sinta dan Pak Amar. Terkenal kaya dan punya banyak mobil dan motor. "Itu, anu, saya awalnya naik motor. Tapi motornya dipinjam teman, Mas. Hehe, jadi saya bingung nih mau pulang lagi gimana caranya coba?" Luna tertawa sumbang. Aish, bohongin orang jubahan dosanya kerasa lebih double ini. "Begitu ya? Kamu bisa naik ojol saja ya? Nanti saya pesankan." Raihan sudah bersiap membuka layar ponsel di tangannya. "Eh, tunggu! Saya gak bisa naik ojol, Mas. Rawan. Saya punya pengalaman buruk malah. Ada driver ojol yang menggoda saya. Kalau nanti terjadi sesuatu yang buruk pada saya gegara naik ojol gimana?" Raihan terdiam sejenak. Ada benarnya juga. Apalagi tidak bisa dipungkiri jika putrinya Bu Sinta ini berparas sangat cantik bak boneka Barbie. Kulitnya putih bersih dengan bibir yang merah segar alami. Matanya juga sangat indah. Jangan tanyakan tubuh gadis di depannya ini, sungguh sangat indah dan sempurna. Eh, astaghfirullah! Seakan baru sadar dari lamunannya, Raihan menggeleng. Kenapa dirinya malah menikmati keindahan paras cantiknya Luna?! "Ekhm, kok malah bengong, Mas?" Dalam hati sebenarnya Luna bersorak. Pasti pria bermata teduh ini mulai masuk dalam pesona keindahan paras cantiknya. "Saya lagi memikirkan jalan keluarnya. Oh ya, saya ingat. Kamu sama bapak satpam aja ya? Saya hubungi beliau buat antarin kamu." Lagi-lagi Raihan bersiap membuka kunci layar ponselnya. Tapi kembali dicegah oleh Luna. "Eh, jangan! Itu, saya gak biasa sama orang asing." Raihan mulai terlihat menahan kesal. Andai saja gadis ini bukan anaknya Bu Sinta, dia mungkin tidak terlalu cemas. "Terus kamu maunya gimana?" tanya Raihan. Sambil tersipu malu, Luna menjawab pelan, "Ya ikut sama Mas Rai, lah. Boleh ya? Janji kok gak pegangan. Nanti duduknya dihalangin sama tas saya deh." Raihan tampak berpikir sejenak. Mungkin tidak apa-apa. Lagipula hanya ikut nebeng ke kampus aja kan? "Baiklah. Ayo, pakai helm saya aja!" Luna benar-benar bersorak dalam hati. Kalau gak ingat rasa malu, rasanya ingin melompat berkali-kali. Senang banget! Akhirnya es kutub mulai cair! Dengan penuh semangat, Luna menerima helm dari Raihan. Ah, manisnya hari ini. Dia akan boncengan pertama kali dengan gebetan tercinta, uhuy! "Mas, jangan ngebut ya? Kan saya gak pegangan, takut jatuh." Luna tersenyum malu. Sumpah, dia belum pernah segerogi ini saat jalan dengan cowok. "Hm, naiklah!" ujar Raihan. Aw, senangnya! Luna naik ke motor. Aduh, kok gak bisa duduk seperti biasa ya? Masa harus duduk kayak ibu-ibu naik ojek sih? "Ayo, Mas!" ucap Luna. Bukannya jalan, Raihan malah kaget dengan posisi duduk Luna. Yang paling membuatnya terkejut adalah Luna malah sengaja mengangkat jubah lebarnya ke atas hingga gadis itu leluasa naik ke motor. Yang parahnya adalah Luna sama sekali gak pakai celana panjang! Gadis itu hanya mengenakan celana pendek di atas lutut. "Eh, kok duduknya begitu?" tanya Raihan. "Lah, emang kenapa? Salah ya?" Luna bertanya dengan wajah polos. "Tentu salah. Kamu gak pakai celana panjang. Otomatis kalau cara duduk kamu kayak gini, kaki dan paha kamu terekspos jelas." Luna meringis. Lah malah diprotes. Tapi daripada nanti Raihan gak mau memboncengnya, mending Luna nurut saja dengan saran Raihan. Pria itu tersenyum tipis saat Luna mengubah cara duduknya. Begini lebih baik. "Udah, Mas." Luna memberi instruksi. Motor Raihan mulai bergerak dan melaju meninggalkan pesantren. Selama di atas motor, buru-buru Luna menghubungi si Mardi via chat. Kalau telpon nanti Raihan curiga. Mar, gue punya bonus buat lo. Tapi sebelumnya bawa motor gue dari pesantren punya Raihan sekalian dengan helmnya. Kalau udah di depan rumah gue, fotoin, ntar gue transfer langsung duit buat lo, oke? Huft. Sent. Dan langsung dibaca. Bibir Luna tersenyum lebar saat Mardi membalas 'Ya' padanya. "Aduh, pelan-pelan, Mas! Saya kan gak pegangan." "Maaf, barusan ada tanggul yang lumayan tinggi." Padahal tadi sekalian dikencengin juga gak apa-apa, biar pura-pura meluk dia. Luna rela kok. "Lho, kok berhenti, Mas?" Luna merengut kecewa. Jangan-jangan mau diturunin di jalan lagi? "Sebentar, sepertinya bensin habis deh." Raihan turun dari motor diikuti oleh Luna. "Waduh, kok tadi gak dicek?" Iya, Luna aja kalau mau bepergian, selalu memastikan bahan bakarnya penuh. Masa pria ini bisa ceroboh begini sih? "Tadi ada santri yang pinjam motor saya." Raihan mendorong motornya ke pinggir jalan. Mana ini jauh dari manapun. Hanya ada hamparan sawah yang baru dipanen. "Terus kita mau beli bahan bakarnya kemana, Mas?" Raihan terlihat menghubungi seseorang. "Sebentar ya? Saya hubungi seseorang dulu." Tin tin! Keduanya menoleh. Sebuah mobil menepi ke depan mereka. Luna tersenyum lebar. "Papa?" sapanya. Kaca mobil terbuka. Tampaklah Amar dan Sinta yang menatap keduanya dengan tatapan heran. "Lho, Raihan? Luna? Sedang apa kalian di sini?" tanya Sinta. Raihan tampak terkejut, "Oh, ini kami sedang dalam perjalanan ke kampus, tiba-tiba saja bahan bakar saya habis. Jadi terpaksa kami berhenti di sini." Sinta dan Amar saling melempar pandangan. "Ya udah, Papa akan hubungi seseorang untuk ke sini. Sekarang kalian ikut saja ke mobil Papa, ayo!" Raihan sepertinya merasa sungkan, "Ah, gak apa-apa, Pak. Saya biar menunggu di sini. Luna kamu ikut sama Papa kamu ya?" Lah, kok gitu? Jelas Luna gak mau dong! Ini kesempatan emas untuk berduaan dengan Raihan, masa gagal lagi? "Ah, gak apa, Mas. Saya kan tadi ikut sama Mas Rai. Jadi saya tidak mungkin meninggalkan Mas sendirian di sini." Sinta yang sangat tahu dengan kelakuan putrinya itu, hanya menggeleng. "Gak apa-apa, Rai. Tempat ini jauh dari manapun. Jalan kaki juga jauh. Saya sudah menghabungi seseorang untuk membawa motor kamu. Nah itu dia!" Sinta menunjuk ke depan. Tampak dua orang naik motor bersama mendekat ke arah mereka. Raihan mau gak mau akhirnya naik ke mobil Sinta dan Amar. Luna jangan ditanya, bibirnya full senyum sejak tadi. Awalnya sih kesal, tapi berhubung Raihan akhirnya mau ikut dan keduanya duduk di belakang, Luna malah senang. "Luna, kok kamu gak jadi ikut kajian di pesantren?" tanya Amar. Luna menggigit bibir bawahnya, aish, Papanya malah nanyain itu. "Um, anu, Pa. Aku ada jadwal ke kampus. Bimbingan. Jadi ya terpaksa gak jadi ikut kajian." Luna melirik pria yang duduk di sampingnya itu. Bibir pria itu tersenyum geli. Entah apa yang ada di otak pria ini. Andai ada resletingnya, Luna ingin sekali membukanya dan mengintip isi pikiran Raihan. "Oalah, jadi begitu. Tapi kamu pakai baju begituan bagus juga tuh. Oh ya, Rai, kamu hari Minggu sore ada jadwal gak?" Amar bertanya sambil fokus menyetir. "Sebenarnya gak ada, Pak. Hanya sesekali aja kalau misalnya ada undangan mengisi kajian di luar pesantren." Raihan menjawab dengan nada santai. Pria itu anteng melihat jalanan dari jendela mobil. "Wah, cocok nih. Sekalian kamu bisa jadi guru privatnya Luna kan?" Pertanyaan Amar jelas membuat Raihan kaget. Tapi sekaligus pertanyaan yang malah membuat Luna bersorak. Ekhm, tapi Luna harus tetap bersikap tenang dan menyembunyikan euporianya. "Jadi guru privat?" tanya Raihan memastikan. "Ya. Sebenarnya ini kesalahan saya. Sejak kecil, gak pernah ngajarin ngaji sama si Lulu. Jadi sampai dia sudah sebesar ini, ngajinya belum benar. Kamu bisa kan ngajarin anak saya?" tanya Amar lagi. Sebenarnya Sinta udah gak enak sejak tadi. Bagaimana kalau Raihan tertekan karena kelakuannya Luna? Pasti anak gadisnya itu terus menggoda dan mengincar Raihan. Sukur-sukur kalau mereka jodoh, lah kalau gak jodoh? Putrinya akan patah hati. "Kalau tidak ada jadwal mengisi kajian di luar, insya Allah saya akan usahakan." Jawaban Raihan membuat Luna bersorak kegirangan. Rasanya ia ingin nari Zumba sekarang juga!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN