Mobil Amar membawa mereka ke depan kampusnya Luna.
"Nah, sudah sampai. Kamu bimbingan kok gak bawa berkas apapun, Lu?" tanya Amar dengan wajah heran.
Aish, si Papa tadi bikin senang dan sekarang malah hampir membuat Luna malu di depan Raihan, bisa ketahuan bohongnya.
"Eh, anu, Pa. Tadi ditelpon dadakan. Datanya ada di ponsel aku kok, jadi tinggal print out aja di depan sana."
Huft, semoga semua orang di sini percaya padanya.
"Oh begitu. Ya udah hati-hati kalian! Raihan, titip putri saya ya? Kalau dia nakal, seret aja!" ucapan Amar membuat Raihan tertawa geli.
"Saya gak berani, Pak. Oh ya, sekali lagi terimakasih atas tumpangannya."
Raihan mengangguk sopan sambil tersenyum.
"Sama-sama. Kami pergi dulu!" ucap Amar. Mobilnya mulai melaju meninggalkan halaman kampus.
"Oh ya, saya cari Ragil dulu," ucap Raihan setelah mobil Amar menjauh dari pandangan.
"Kita barengan aja, Mas. Searah kok," Luna tersenyum lebar.
Raihan tidak menjawab. Ia hanya berjalan mendahului Luna. Tujuannya ke sini untuk bertemu Ragil, adiknya yang sering membuat masalah itu.
Luna mengekor di belakang Raihan. Kenapa sih pria ini jalannya cepat banget? Luna kewalana mengejarnya. Apa karena kaki Raihan yang sangat panjang?
"Hai, Luna!"
Luna menoleh. Begitu juga Raihan. Pria itu agak memelankan jalannya.
Aish, kenapa harus bertemu si Alvin sih?
"Lho, Alvin? Elo ngapain ke sini?" tanya Luna.
Alvin melirik Raihan yang berjalan di samping Luna. Entah kenapa, Raihan juga malah ikut memelankan jalannya. Semoga aja Alvin gak berbuat macam-macam. Luna takut Raihan nanti curiga.
"Gue ada kumpulan sama anak-anak basket, ada undangan turnamen persahabatan dengan kampus sebelah."
Alvin menatap Luna. Ada yang lain dari gadis ini.
"Ya udah, silakan elo kumpulan dulu, gue juga lagi ada urusan." Luna mengusir halus ke Alvin.
Sayang, Alvin bukannya pergi malah ikut jalan dengan Luna dan Raihan.
"Elo apa gak kangen sama gue, Lu? Udah dua hari elo gak ada kabar. Bahkan gue telpon juga gak diangkat."
"Oh, hehe. Maaf, gue sibuk nyurun skripsi, jarang buka ponsel, " jawab Luna. Sebenarnya ia merasa risih. Kenapa si Alvin malah ikut jalan sih?
"Ngomong-ngomong, elo cantik banget pakai jubah ini. Gue sampai pangling banget tadi. Nanti kalau kita nikah, elo pakai baju tertu--"
Luna refleks menarik Alvin dan membawa pria itu sedikit menjauh dari Raihan. Walau sempat terlihat kaget, Raihan tidak bergeming dan hanya melanjutkan jalan kakinya.
"Vin, elo jangan ngomongin masalah nikah di depan pria itu."
"Lho, kenapa? Kita sebentar lagi lulus. Gue juga udah siapin segalanya, Lu. Bahkan saat gue niat mau lamar elo, tetiba toko gue penjualannya meningkat. Emang benar kata orang. Kalau ada niat baik, pasti dikasih jalan kemudahan."
Waduh, Luna makin gak nyaman. "Duh, Vin. Gue belum mikir ke arah pernikahan. Lulus juga belum. Kalaupun nanti setelah wisuda, bukan berarti gue udah siap juga di bawa ke KUA. Gue mau kerja dulu lah."
Alvin terlihat sedikit kecewa, "Jadi elo gak mau kita menikah setelah lulus? Terus mau sampai kapan kita kayak gini, Lu? Gue serius lho sama elo."
Luna menatap nanar ke punggung Raihan yang kian menjauh. Yah, ditinggalin deh
"Vin, ngomongin nikahnya nanti aja lagi ya? Itu teman gue udah ninggalin."
"Tapi Luna ...."
Alvin tampak belum selesai bicara.
"Udah nanti aja lagi ya? Bye, Alvin! Sorry, gue buru-buru!"
Luna segera berlari mengejar Raihan yang hilang di belokan. Beberapa mahasiswa menatapnya dengan tatapan aneh. Bukan karena di kampus ini gak ada yang hijaban, banyak juga, cuma mungkin mereka pangling dengan Luna. Biasanya Luna, gadis cantik yang cukup terkenal di kampus itu, selalu memakai pakaian terbuka dan menggoda iman. Namun tiba-tiba saja sekarang Luna tampil dengan pakaian tertutup.
Ternyata Raihan menemui salah satu dosen di kampus ini. Lah, dia kenal Pak Trisno? Luna hendak menghampiri kedua orang itu, tapi sayang, Raihan dan Trisno malah masuk ke ruangan. Bahkan mereka menutup pintu. Alhasil, terpaksa Luna balik badan dan meninggalkan tempat itu.
Sebenarnya Raihan jujur gak sih? Katanya tadi mau mencari Ragil. Kok malah ketemu sama Trisno? Bahkan mereka masuk ke ruangan segala. Kalau bukan Raihan, Luna pasti gak akan peduli. Tapi ini Raihan. Pria yang sedang menjadi targetnya.
"Lu, ngapain elo di sini? Wah ini beneran elo ya? Sejak kapan elo hijrah?"
Luna menoleh ke sumber suara. Tampaklah sosok pria yang tadi pagi dia putusin. Ya, Yoga.
"Iya, gue hijrah. Kenapa? Masalah buat lo?" Luna menjawab dengan ketus. Mentang-mentang sudah putus, si Yoga mulai bicara mode gue-elo dengannya. Biasanya aku-kamu. Kalau si Alvin sih meski udah pacaran, anak itu gak mengubah panggilan sama sekali. Walau terkesan gak romantis, tapi justru dengan begitu Luna merasa nyaman dengan si Alvin. Anak itu satu-satunya pacar Luna yang belum diputusin.
"Gak masalah sih, cuma dengan ini gue makin tahu alasan elo mau putus dari gue. Bukan Mardi anak malang itu. Tapi pasti pria berjanggut yang elo kejar itu kan?"
Merasa risih, akhirnya Luna berdiri. "Terserah gue dong! Elo mau percaya atau tidak, gue gak peduli. Permisi!"
Luna meninggalkan Yoga sendirian. Pria itu sebenarnya masih sayang dan cinta sama Luna. Andai saja mereka tidak putus, Yoga sudah merencanakan untuk melamar Luna.
***
"Lho, udah pulang, Lu? Katanya mau bimbingan." Mama menyambut Luna di ruang televisi.
Luna membuka jilbab dan melemparkannya ke atas kursi. Gadis itu lalu duduk di samping mamanya.
"Dosennya gak datang." Terpaksa bohong lagi.
"Kok begitu ya? Harusnya dosen itu mengajarkan disiplin pada mahasiswanya. Kalau membuat janji, ya harus ditepati."
"Tahu ah, aku capek, Ma. Mau mandi terus tidur." Luna bangkit dan naik ke kamarnya.
"Udah makan belum, Lu?" tanya Sinta lagi.
"Gak lapar, Ma. Ntar aja."
Namanya juga ibu kandung. Sinta bisa membaca pikiran Luna. Anak itu pasti sedang kesal atau kecewa. Entah karena apa dan oleh siapa, hanya saja Sinta bisa menilai jika putrinya pasti kesal ke Raihan. Tadi mereka barengan ke kampus. Luna terlihat senang dan antusias. Lah tetiba pulang dengan wajah ditekuk, pasti ada hal terjadi yang membuat Luna kecewa.
"Lu, besok Minggu sore katanya Raihan mulai datang ke rumah buat ngajarin kamu."
Lulu yang sudah sampai di depan pintu kamar tetiba berhenti. Bibirnya tersenyum lebar lalu berbalik ke mamanya. Pura-pura bersikap biasa saja walau hati sedang berpesta ria.
"Oh, benarkah? Katanya Mas Rai sibuk, Ma?" tanya Luna.
"Enggak kok. Mama yang nelpon dia tadi. Katanya kamu pulang gak bilang dulu ya? Raihan sempat cari kamu. Takut kamu kenapa-napa katanya."
Ucapan Mama barusan sungguh membuat Luna melayang. Ish, baru saja dirinya kesal dengan sikap Raihan, tiba-tiba saja pria itu melakukan hal manis lagi. Nyariin katanyaa? Ah yang benar? Jadi gak sabar ingin segera hari besok.
Sumpah, Lulu gak bisa menahan senyum lagi kalau sudah begini. "Ekhm, o ya? Maaf, tadi aku pulang naik taksi. Mas Rai sih malah ngobrol dengan Pak Trisno. Mana masuk ruangan dan ditutup pula."
Sinta menahan tawa. Tuh kan? Sesuai dugaannya. Pasti karena Raihan. Apa gadisnya itu benar-benar jatuh cinta pada Raihan ya? Atau hanya main-main seperti yang sering terjadi sebelumnya? Iya, Luna sering terlihat jalan dengan pria. Tapi saat ditanya, jawabnya hanya sekedar teman dan bermain saja. Gak ada yang serius katanya.
Walau sempat merasa khawatir Luna membuat malu, tapi Sinta sedikit berharap. Semoga saja Raihan bisa sedikit membawa perubahan baik untuk Luna. Minimal gadis itu berhenti main ke club malam. Sebagai orang tua, tentu Sinta cemas dan khawatir. Walau sejauh ini, Sinta selalu memantau putrinya saat anak itu pergi ke club dengan gengnya. Benar kata Mardi, Luna gak pernah sampe chek in ke hotel dengan pria. Namun kemarin saat mendengar penuturan Luna tentang si Edward, Sinta sangat kaget. Takut kecolongan.
"Ya udah, kamu mandi dulu. Terus makan malam ya? Mbok Yem udah masakin lauk kesukaan kamu tuh."
Luna tersenyum lebar, "Siap, Ma."
Luna masuk ke kamarnya. Sinta hanya menggeleng. Dasar bocah!
***
Seharian ini Luna benar-benar tidak keluar dari kamar. Hanya tiduran setelah maskeran tadi.
Ponselnya bergetar. Mardi.
"Ya, Mae?" sahut Luna.
"Heh, gue bukan Mae! Rusak nama seenak jidat lo."
"Haha, ngapain? Tumben nelpon, kangen ya?"
"Lo gak ngampus hari ini?"
"Kagak. Males gue. Lagian skripsi gue udah ACC. Tinggal nunggu jadwal sidang doang."
"Gue lagi bokek, belum makan dari kemarin, Lu."
Nah, mulai deh. Luna sudah sangat hafal alurnya. "Iya, gue transfer sekarang. Kemarin kelupaan."
"Nah gitu dong. Thanks ya? Gue ke ATM dulu ngambil bonus dari elo."
Klik. Yah, dimatiin deh, dodol!
Luna segera mentransfer sejumlah uang ke Mardi. Ya, kemarin dia janji ngasih uang ke anak itu setelah membawa motornya dari pesantren.
Ternyata rebahan seharian di kamar capek juga. Tidur - makan, tidur - makan juga cukup lelah.
Luna bangkit dan melirik jam dinding. Sudah jam tiga sore. Bibirnya tersenyum lebar. Sebentar lagi Raihan datang. Ugh, senangnya.
Segera ia bergegas mandi dan memakai baju. Pakai yang jubahan jangan ya? Tapi kan ini di rumahnya? Jadi bebas dong! Luna tersenyum lebar. Benar juga. Gak apa kali ya?
Tepat jam tiga lewat tiga puluh menit, terdengar suara Mbok Yem menerima tamu di bawah sana. Sepertinya Raihan sudah datang. Buru-buru Luna masuk lagi ke kamarnya dan memeriksa riasan wajahnya. Oke, ini sudah cukup. Gak terlalu menor tapi cukup menarik. Luna tersenyum puas. Ia mengenakan kaos panjang sebatas paha. Dipadukan dengan celana pendek. Bahkan celananya nyaris tak terlihat tertutup oleh kaos longgar yang ia pakai. Rambut sebahunya ia biarkan tergerai.
"Non, Luna! Ada tamu!" Terdengar Mbok Yem memanggilnya di depan pintu kamar.
Luna membuka pintu dan tersenyum. "Iya tahu. Makasih, Mbok!"
Luna turun dan melihat Raihan yang sedang duduk menunggu.
"Mas Rai udah lama?" sapanya.
Beberapa saat Raihan tertegun. Cantik sekali. Eh, astaghfirullah! Raihan memalingkan wajahnya ke arah lain. "Barusan. Oh ya, kalau mau belajar mengaji, coba kamu pakai baju yang kemarin."
"Ha? Kan kotor, Mas?"
"Eum, memangnya kamu gak punya baju hijab lagi?" tanya pria itu.
"Oh hehe. Saya belum beli lagi, Mas. Baru punya sebiji doang," ucap Luna.
"Kamu bisa pakai celana panjang dan penutup kepala."
Ya ampun, ini orang ribet amat sih? Pikir Luna. Tapi daripada Raihan pulang lagi, akhirnya Luna mengangguk.
"Ayo, di atas aja, Mas." Luna mengajak Raihan naik ke lantai dua. Ada ruangan khusus di samping kamar Luna. Ruang belajar yang biasa Luna gunakan.
"Mas kenapa sih harus pakai baju tertutup lagi? Kan katanya kalau di dalam rumah bebas ya?"
Raihan tampak tersenyum geli. "Di rumah bebas kalau tidak ada non murhim. Kalau kamu di rumah, tapi ada pria lain yang bukan muhrim, tetap saja kamu harus menutup auratmu."
"Ha? Kok gitu? Setahu saya outfit hijaban cuma untuk pengajian lho!"
"Bukan, Luna. Tapi harus setiap hari."
Luna tersenyum geli, "Kalau begitu, Mas Rai juga harus ke rumah saya tiap hari dong!"
"Ha? Kok begitu?" Raihan heran dengan ucapan Luna.
"Iya kan biar saya tiap hari pakai hijaban?"
Luna tersenyum puas melihat Raihan terlihat gugup dengan ucapannya. Haha, amboy gemesnya Abang ganteng yang satu ini!