Bengek!

1038 Kata
Raihan nampak kaget. Celananya hampir saja melorot. Untung gespernya kuat. Lulu menarik celananya sampai gadis itu bisa bangun. "Tenang saja, saya cuma sentuh celana Ustat doang kok, gak sampe sentuh kulitnya," ucap Lulu tanpa merasa bersalah sedikitpun. "Lain kali jangan seperti itu, kalau aurat saya terbuka gimana?" "Ya kan gak kebuka, cuma minta pinjam celananya doang buat pegangan." Raihan gak menjawab lagi, pria itu hanya menggeleng melihat tingkah Lulu. Padahal Sinta sangat baik dan bijak. Ya, ibu dari gadis ini yang sudah lama jadi partner bisnisnya. Keduanya berjalan menuju parkiran. Raihan kaget melihat ban motornya yang kempes. "Astaghfirullah! Kok bisa kempes gini ya? Perasaan tadi gak kenapa-napa." Raihan terlihat bingung. Pria itu memeriksa kondisi ban motor belakangnya yang kempes. "Ya kali aja motornya lelah, Ustat. Kempes deh jadinya." "Saya harus cari bengkel dulu." Raihan bangkit dan hendak membawa motornya. Ya walaupun ia juga tidak tahu di sekitar sini ada bengkel yang masih buka atau tidak. "Ustat perlu bantuan saya gak?" Lulu segera melakukan rencana yang sudah disusun di otaknya. "Terimakasih, saya insya Allah bisa mengatasinya." Raihan menolak halus tawaran dari Lulu. "Tapi ini udah mau senja, Ustat. Bengkel motor sekitar sini udah pada tutup lho?" "Kamu tahu daerah sini?" tanya Raihan. "Tentu saja. Daerah ini adalah tempat tongkrongan saya." Raihan terlihat bingung, "Ya udah, gak apa-apa. Saya dorong aja." "Eh, jangan! Nanti Anda capek. Gini deh, mau gak saya bantuin?" "Kamu bisa benerin emang?" "Bukan, tapi saya punya temen sekitar sini yang kerja di bengkel. Jam segini pasti udah pulang. Biar dia bawain motor Ustat, besok kalau sudah beres dibalikin sama Ustat, gimana?" Awalnya Raihan terlihat ragu. Tapi beberapa saat kemudian, pria itu mengangguk setuju. "Baiklah kalau begitu. Kalau sudah beres hubungi saya ya?" Lulu mengangguk. Yes, umpannya berhasil! "Eh, mau kemana?" Lulu kaget saat tiba-tiba pria itu pergi meninggalkan Lulu yang sedang berdiri dekat motor Raihan. "Saya mau pulang." Raihan menjawab dengan santai. "Ha? Naik apa?" "Banyak angkot dan ojek di sekitar sini." Lah, kok jadi gini sih? "Um, anu, jangan naik angkot! Panas, gak nyaman pula." Raihan mengerutkan keningnya, "Memangnya kenapa? Saya biasa naik angkot kok." Haduh, Lulu memutar otaknya. "Gini Pak Ustat, angkot tuh gak nyaman, apalagi senja hari begini, rawan ada copet. Mending naik motor saya aja yuk!" Raihan terlihat berpikir. "Memangnya kamu bawa motor?" Lulu mengangguk sumringah, "Tentu saja. Saya bawa motor." "Yang mana?" Dengan senang hati Lulu menunjuk motor miliknya. "Yang itu, Ustat!" "Oh baiklah. Mana kuncinya?" Lulu makin bersorak kegirangan dalam hati. Yes! Ini yang dia rencanakan. Ngempesin motor Raihan dan membuat pria itu naik ke motornya. Ahay! Sebentar lagi Lulu akan boncengan dengan Raihan! "Sebentar ya?" Lulu membukan tas selempang yang ia bawa. Raihan menunggu Lulu yang sedang mengambil kunci motor dari tasnya. "Ini, Ustat!" Raihan menerimanya. Pria itu mengangguk, "Baiklah. Segera kabari saya kalau motor saya sudah beres ya? Oh ya, kamu bisa minta nomor saya ke ibu kamu, Lulu." "Tentu saja, Ustat! Ayo kita pergi!" Ah, Lulu sudah gak tahan boncengan. Nanti dia akan pura-pura takut jatuh dan memeluk erat punggung pria itu. Manisnya! "Lho, kamu mau kemana?" Raihan mengerutkan keningnya saat melihat Lulu mengekor di belakangnya. "Kan pulang juga barengan sama Ustat." Lulu mesem-mesem. "Motor saya bagaimana?" Raihan berhenti melangkah. "Kan nanti ada teman saya yang bawa, Ustat!" ucap Lulu. "Kapan? Kan belum ada?" Lulu melongo, "Oh, jadi kita tunggu teman saya datang dulu gitu ya? Baru kita pergi?" Lagi-lagi Raihan mengerutkan keningnya, "Kita? Kamu saja. Saya harus segera ke mesjid di pesantren. Setelah sholat Maghrib, saya ada jadwal ngisi kajian kitab kuning dengan santri." Lah, kok jadi gini? Segera Lulu memasang wajah menyedihkan, "Masa Anda tega ninggalin saya sendirian di sini sih?" "Lho, kan kamu sendiri yang nawarin saya naik motor kamu kan? Kalau gak bisa gak apa. Ini kamu pulang aja ya?" Raihan memberikan lagi kunci motor milik Lulu. "Eh, jangan deh! Ya udah gak apa. Pakai aja motor saya, Ustat!" Lulu mengangguk lesu. "Kamu ikhlas gak? Kalau keberatan saya gak maksa lho!" "Ya tadinya saya mau pulang bareng sama Ustat." "Kamu tungguin motor saya dulu, Lulu. Kalau gak bisa, biar saya aja yang bawa motor saya dan cari bengkel sendiri." Kok bisa-bisanya jadi gini sih? Kalau gak jadi minjemin motor juga gak enak. Ntar si Ustat bakalan kecewa sama Lulu ya kan? "Ya udah, Pak Ustat pulang aja duluan pake motor saya. Nanti saya bisa pulang sama temen saya kok." "Yakin?" Raihan masih meyakinkan gadis itu. "Hm, bener kok. Saya ikhlas, saya kan gadis baik. Ya kan?" Raihan terlihat menahan tawa, "Baiklah. Kalau begitu saya pulang dulu ya? Terimakasih bantuannya, Lulu!" Lulu mengangguk lesu melepas kepergian Raihan yang membawa pulang motor miliknya. Dengan gerakan lunglai, Lulu mengambil ponselnya dan menghungi seseorang. Deringan kedua sudah diangkat. "Apaan? Ke club lagi? Gak ah, serem gue sama bokap elo!" Suara Mardi terdengar di seberang sana. "Ck, bukan itu, Marimar!" "Heh, nama gue Mardi! Bukan Marimar!" Si Mardi mengumpat kesal. Kebiasaan Lulu memang begitu, doyan amat merubah namanya. Kadang Marimar, Markonah atau gak jarang juga dia dipanggil Maemunah. Untung Lulu cakep, Mardi hanya ngomel gak pernah sampe benci apalagi dendam. "Mar, gue butuh bantuan elo, bisa kan?" "Nah kan, ujungnya gak enak, udah gue duga. Mesti mau ngerepotin!" "Ck, ya udah kalau gak bisa, gue tutup. Elo bukan temen gue lagi!" "Eh, jangan marah! Kayak anak kecil aja lo, kenapa?" Lulu tersenyum lebar, "Ke sini samperin gue." "Dimana?" "Gue share lokasi ya?" Lulu menutup sambungan telepon dan mengirim lokasinya ke Mardi. Gak butuh waktu lama, Mardi sudah datang. "Ha? Elo kerasukan arwah siapa, Lu?" Mardi melongo melihat tampilan Lulu. Ya, ya, biasanya anak ini pakai baju kurang bahan yang menggoda iman. Lah ini kok agak lain? "Jangan banyak tanya! Lagi kesel gue. Bantuin bawa ini motor!" Margi makin bingung, "Motor siapa ini, Lu? Elo udah kehabisan duit? Nyuri motor orang? Gila lo!" "Hush! Sembarangan! Ini motor si Ustat ganteng itu." Mardi melongo, "Apa? Jadi ini motor Ustat Raihan? Kok bisa kempes gini?" "Gue yang kempesin!" Lulu menjawab dengan ketus. "Haha, pakai apa?" "Paku!" Wajah Lulu makin suram. "Bentar deh gue tebak. Elo ngempesin motornya biar bisa pulang barengan kan! Tapi yang terjadi malah motor elo dibawa dan elo ditinggal sendirian?" Walau agak malu, tapi Lulu mengangguk lesu. "Iya, puas lo!" Tawa Mardi langsung meledak. "Haha! Bengek, anjir! Haha!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN