"Lo yang dorong!" Lulu masih mode kesal. Bahkan motor milik Raihan ia serahkan ke si Mardi.
"Lah kok ke gue sih? Kan itu ulah elo sendiri, anjir! Ngapain pake ditusuk paku segala macam?"
Sumpah, Mardi geli sebenarnya melihat tingkah si Lulu. Anak ini sebentar lagi pasti lebih gila dari ini. Semakin Raihan menolaknya semakin gila juga ide si Lulu untuk mengejar Raihan.
"Ogah! Kesel gue!"
"Lah, terus lo mau kemana?"
"Pulang lah, ngapain gue benerin motornya? Ck, dasar laki gak peka! Awas aja, gue bikin lebih kacau dari ini!"
Lulu tampak menghubungi seseorang. Sepertinya si Lulu minta dikirim motor lagi ke sini.
Dan dugaan Mardi benar. Dua orang datang bawa motor.
"Ini, Nona," ucap salah satu pria yang datang.
"Oke, makasih ya, Rif!"
Lulu naik ke motornya dan mulai menyalakan mesin.
"Hoi, ini motor gimana? Gue gak bawa duit!" Mardi agak cemas juga. Beneran gak bawa duit dia. Lah, kalau misal harus bayar mahal di bengkel gimana? Mana motor punya Ustadz lagi. Kalau ditinggalkan pasti dosanya berlipat ganda deh.
"Ck, tenang saja, gue yang bayar!"
Lulu mendekat dengan motornya. Anak itu mengeluarkan dompet dari tasnya. Memberi Margi lima lembar uang seratus ribuan.
"Nih! Biaya tambal ban sama biaya tenaga lo buat dorong motor. Ok?"
Mata Mardi seketika bersinar. Kebetulan sekali ini akhir bulan. Lebihnya masih banyak sepertinya.
"Siap, Tuan Putri! Ntar kalau beres gue kontak elo ya?"
"Iyalah, siapa lagi! Gue mau jadi pahlawan nganterin motornya si Ganteng, haha!"
"Gila lo ya, masih aja gak nyerah."
"Gak dong, udah.bela-belain pake baju penguin yang gerah begini, masa nyerah!"
Mardi hanya menggeleng saat Lulu pergi meninggalkannya bersama motor Raihan yang dikempesin Lulu. Tapi bagus sih, lumayan duit kembaliannya buat biaya makan sebelum dia di kirim duit sama emaknya.
***
"Gimana kajiannya?" Papa menyambut Lulu yang baru datang.
"Lah, bukannya Papa juga ikut datang?" Lulu mengerutkan keningnya.
"Um, anu, tadi Papa gak sampe beres, pas sesi tanya jawab, Papa ada jadwal ketemu klien."
Lulu manggut-manggut, bagus lah. Setidaknya Papa gak tahu kegilaannya mengerjai si Ganteng tadi, kalau tidak, alamat kena ceramah dosis obat dokter, sehari tiga kali.
"Lu, tadi Raihan nelpon Mama, katanya motornya mogok ya? Dia suruh Mama ngasih nomor telponnya ke kamu. Bener itu?" Mama bertanya sambil menatap layar ponselnya.
"Bannya kempes, kena tusuk paku," jawab Lulu lalu menuliskan nomor ponsel pria itu. Sumpah, ia masih kesal dengan kejadian tadi, prediksi pulang bareng sambil boncengan romantis dengan Raihan ambyar sudah. Malah disuruh ngedorong motor mogok. Untung saja ada si Mardi.
"Lho, kok bisa ya? Jaman sekarang orang udah pada gila ya? Mau duit aja segala tebar paku di jalan."
"Si Ustatnya yang bikin gila kali, Ma. Siapa suruh dia ganteng dan sok kalem gitu? Kan jadi banyak yang ngerjain!"
Sinta menatap curiga ke putri semata wayangnya, "Lu, kamu gak bikin ulah kan?"
"Ha? Aku? Gak lah, Ma!" Gak salah maksudnya, lanjut Lulu dalam hati.
"Baguslah, jangan sampe deh. Jangan bikin Mama malu."
"Ma, Pa, aku pergi dulu ya?"
"Lho, mau kemana?" tanya Papa.
"Mau nganterin motornya Ustat Raihan. Katanya udah beres dibenerin."
"Yang bener itu Ustadz Raihan, bukan Ustat, Lulu!" Papa mengoreksi.
"Biar cepet lah, Pa. Lagian Lulu gak tahu masalah begituan."
"Makanya ngaji yang bener, Lu. Jauhin teman-teman anehmu itu." Papa terlihat kesal. Ya, bukan sekali dua kali Amar membawa pulang Luna dari tempat club malam yang sangat tidak ia sukai.
"Mereka gak aneh kok, mereka baik sama aku, Pa."
"Iya baik, kan kamu yang bayarin mereka, jelas mereka baik sama kamu, Lu."
Mama ikut menimpali.
"Kan kata Papa juga harus banyakin sedekah. Biar hartanya makin banyak, ya gak?"
"Kalau sedekah itu ke fakir miskin, anak yatim, bukan malah traktir mabok ke club."
Lah, kok ini jadi sesi ceramah gini sih? Lulu berdiri, "Udah ah, aku berangkat dulu."
Amar dan Sinta hanya menggeleng melihat tingkah laku putri mereka.
Motor Luna melesat meninggalkan halaman rumah. Bengkel yang ia tuju. Si Mardi sudah menghubunginya. Anak itu bilang motor Raihan sudah selesai ditambal.
"Mana, Mar?" ucap Luna begitu sampai di depan bengkel.
"Noh!" Dagu Mardi memberi isyarat ke arah motor Raihan yang baru selesai dicuci.
"Lah, dibersihin pula?" tanya Lulu.
"Iya, biar dikata elo gadis cantik yang pandai bersih-bersih! Gimana, baik kan gue?" Mardi menepuk dadanya.
"Serah elo deh. Nih, ini kunci motor gue. Elo balik pake motor gue. Besok jemput gue ke kampus bawa motor ini. Oke?"
Luna memberikan kunci motornya ke si Mardi.
"Lah, jadi elo mau ke rumah Ustat itu sendirian ya?"
"Iya dong! Lo gak usah ikut, ntar ayang gue cemburu," Lulu tersenyum lebar.
Anak itu tanpa banyak bicara lagi langsung tancap gas dan pergi.
"Hoi, Lulu! Luna! Wei! Mezzaluna!"
Teriakan Mardi gak didengar Lulu. Anak itu terus melesat meninggalkan bengkel. Padahal tadinya si Mardi mau minta tambah biaya administrasi penitipan motor di rumahnya.
Sedangkan Luna sendiri sudah sampai di depan pesantren. Wow, banyak juga santrinya. Jam pagi begini pesantren cukup ramai. Ini hari libur. Sepertinya gak pada pulang deh. Beberapa terlihat sedang membaca buku, ada yang sedang menjemur pakaian ada pula yang tampak membaca Al-Qur'an.
"Lulu?"
Luna menoleh. "Lho, Ragil?"
Agak kecewa sih, dikira abangnya yang akan nongol. Eh malah si Ragil.
"Ngapain elo ke sini?" Ragil tampak senang melihat Luna.
"Nganterin motor punya Ustat Raihan. Dia Abang Lo kan?"
"Benar. Oh ya, ini kunci motor punya lo. Bang Raihan bilang katanya trimakasih udah bantuin dia kemarin."
"Ah, bukan masalah besar. Oh ya, kalau Ustat Raihan dimana? Sibuk ya?"
"Lagi ada tamu. Makanya suruh gue yang menemui elo."
Luna kecewa lagi. Kirain bakalan ketemu sama si tampan.
"Tamu? Siapa?"
Ragil mengangkat bahu dengan cuek. "Kalau gak salah sih salah satu orang tua santri di sini. Katanya hendak menawarkan gadis dari keluarga mereka."
"Busyet! Kenapa Lo gak bilang?!"
Kaget dong si Lulu. Masa udah kandas sebelum berlayar sih kisahnya dengan si pangeran kodok itu?
"Kenapa elo kaget?" Ragil mengerti keningnya.
"Gue boleh ketemu sama Abang Lo gak?"
"Gak bisa, udah dibilang lagi ada tamu kok."
"Di rumah elo ya?"
"Bukan, tapi di ruang kerjanya Bang Raihan."
"Ha? Emang ruangan Abang lo di sebelah mana?"
Tanpa curiga sedikitpun, Ragil memberi tahu lokasi ruangan Raihan.
Luna berpikir keras. Ia harus menggagalkan perjodohan itu. Dia gak rela, sumpah!
"Gil, kamar mandi dimana?"
"Kenapa?"
"Ck, kebelet pipis!"
Ragil tersenyum kecil, "Oh, sebelah sana!"
"Tunggu sini ya? Titip motor gue dulu! Gue ke kamar mandi!"
Luna setengah berlari meninggalkan Ragil. Kepalanya celingukan. Semua santri di sana menatap ke arah Luna. Jika santri perempuan menatapnya aneh karena gak pake kerudung, sedangkan santri pria malah menatapnya kagum dan terpesona.
Tapi Luna tidak peduli, yang sedang jadi pusat perhatiannya sekarang adalah ruangan Raihan! Mata Luna tertuju pada sebuah bangunan khusus. Terlihat ada dua mobil terparkir di sana. Luna segera bergegas. Ia yakin pasti itu ruangan Raihan!
Pintu masuk ruangan itu terbuka. Tampak ada keluarga yang tengah berbincang hangat dengan Raihan dan seorang pria sepuh yang Luna yakin pasti itu yang dibilang Mama sebagai Pak Kiyai.
"Mas Rai! Lagi sibuk ya?" teriak Luna. Gadis itu berdiri di ambang pintu sambil tersenyum manis.
Seketika semua orang terkejut. Apalagi Raihan. "Kamu kenapa ke sini?" tanya Raihan.
Melihat Raihan yang tampak mengenal Luna, jelas semua orang kaget. Ya, Raihan kok bisa kenal dengan gadis cantik tak berkerudung itu?
"Rai, siapa dia?" tanya Pak Kiyai dengan tatapan heran.