Bibir Lulu tidak berhenti mesem-mesem. Sore ini akan jadi sore yang indah sepertinya. Ah, kenapa ada ribuan kupu-kupu di hatinya ya? Lulu gemes banget, ampun! Kalau saja gak lagi maskeran, rasanya pengen guling-guling di kasur!
"Lu, udah belum? Papa mau berangkat ini!"
Otak Lulu langsung bekerja cepat, "Pa, Lulu bawa motor aja! Papa berangkat duluan!"
Ya, ya, ini triknya. Rencana indah sudah disusun Lulu di otaknya. Segera ia bangun dan masuk ke kamar mandi. Pengennya sih luluran juga. Tapi takut pengajiannya keburu bubar. Alhasil, Lulu hanya mandi saja. Ia keluar setelah lima belas menit membersihkan tubuhnya.
Lulu memilih minyak wangi terbaik sore ini. Memakai make up yang agak tipis aja. Kalau medok takutnya si Ustat gak doyan.
Selesai dibaju, Lulu mematut dirinya di cermin. Sambil menyeringai, Lulu bertanya, "Wahai cermin ajaib! Gadis mana yang paling cantik di dunia?"
Lulu lalu tersenyum menirukan suara lain, "Tentu saja Mezzaluna."
Lulu merasa puas sekarang. Bangga banget rasanya punya wajah secantik ini. Masa iya si Ustat gak kepincut? Banyak pria di luar sana yang mengemis cintanya Lulu. Kalau si Ustat gak kecantol, fiks pria itu kudu diperiksa. Ya, barangkali matanya rabun atau katarak. Atau yang paling ngeri malah doyannya terong ketimbang serabi.
"Kamu yakin gak berangkat sama Papa, Lu?" terdengar suara Santi berteriak dari luar kamar.
"Iya, Ma. Aku mau bawa motor sendiri aja!"
"Walau bawa motor sendiri, cepetan berangkat! Udah sore ini, nanti kamu datang ke sana malah bubar."
"Iya, iya, ini aku udah siap kok!"
Setelah yakin, Lulu keluar dari kamar dan segera mengambil kunci motor. Saat ia hendak loncat bergaya seperti yang sering dia lakukan, Lulu bermuka kecut, dia lupa kalau lagi pakai jubah, untung bisa nahan biar gak jatuh.
"Ck, makanya agak kalem dikit deh, Lu. Mau jatoh kan jadinya?" Mama mengingatkan.
"Ini udah mode kalem, Ma. Oh ya, doain aku ya, Ma. Semoga misiku tercapai sore ini."
Bukannya mengaminkan doanya, Sintia justru kaget, "Ya ampun, apa yang kamu rencanakan, Lu? Jangan ganggu Raihan! Dia langganan Mama, Lu. Susah lagi cari partner bisnis sejujur dia."
"Ck, Mama tenang aja, semua akan baik-baik saja, oke? Dah Mama Sayang! Aku pergi dulu!"
Lulu berlari keluar setelah memberikan kecupan di kedua pipi Sintia. Wanita yang menjadi ibu kandung Lulu itu hanya menggeleng melihat tingkah putri semata wayangnya.
Bajunya aja yang jubahan, orangnya mah tetep aja bar-bar.
Lulu sendiri langsung mengambil motor segera meluncur ke lokasi yang dia tuju. Mesjid Agung tampak ramai. Banyak pedagang kaki lima yang berjejer di sepanjang pinggir jalan.
Bibir Lulu mengulum senyum saat mendengar suara teduh milik seseorang di pengeras suara. Lulu masuk ke dalam. Wuih, banyak juga jemaahnya. Pandangannya mengitari ruangan. Mencari celah agar bisa duduk paling depan. Lulu tersenyum lebar setelah melihat ada ruang kosong di depan. Walau jalannya susah karena sempit, Lulu berhasil maju ke depan.
"Baik, tiba saatnya untuk sesi tanya jawab. Ada yang mau bertanya?" Pembawa acara bertanya kepada audiens. Sedangkan Raihan sendiri sudah selesai mengisi materi. Sepertinya Lulu sedikit lambat datang ke sini. Kelamaan waktu maskeran kayaknya.
Seketika hening. Lulu langsung berdiri.
"Saya mau tanya Pak Ustat!"
"Oh boleh, silakan! Jangan lupa beritahu nama dan alamat ya? Biar menambah silaturahmi."
"Tentu, saya Lulu lengkapnya Mezzaluna. Saya tinggal di hati Ustat Raihan selama ini.“
Sontak ruangan menjadi riuh seketika. Semua mata tertuju pada Lulu. Bukannya malu, tapi Lulu malah senang.
"Haha, ya ampun, Tadz nih ada fans berat kayaknya," ucap pembawa acara itu.
Si Ustat benar-benar mode kalem weh. Senyumnya itu lho, tenang banget. Gak ngerasa terganggu sama sekali dengan celotehan Lulu.
"Benar sekali. Saya penggemar setia Ustat Raihan."
"Baik, Nona. Apa yang ingin Anda tanyakan?"
Sejenak Lulu tertegun, nanya apa ya? Orang dia datang juga telat, mana dia tahu si ustat tadi bahas apaan ya kan?
"Um, Ustat, kapan akan menikah?" tanyanya.
"Uuuh!" seru hadirin sambil menahan tawa. Mereka terlihat saling berbisik dan menatap Lulu.
Dan lagi-lagi pria itu masih bersikap tenang. "Jodoh, mati, bahagia ataupun sedih itu hanya Allah yang tahu. Kita sebagai manusia hanya bisa berencana."
Lulu melongo, jawaban macam apa itu?
"Iya, saya tahu. Berarti Anda juga sudah punya rencana untuk menikah?"
Kali ini si Ustat terlihat menahan tawa, "Tentu saja, Nona. Saya punya rencana untuk menikah."
"Kapan? Dengan siapa?" Lulu makin antusias.
"Ekhm, begini. Dulu saya pernah melamar seorang gadis."
"Wow!" Lulu tak bisa berkata-kata. Jadi benar rumor yang beredar bahwa si Ustat ini sudah tunangan?
"Tapi takdir berkata lain. Calon istri saya meninggal sebelum kami melangsungkan pernikahan."
Hadirin terdengar berucap 'innalillahii' saat mengetahui tunangannya Ustat sudah meninggal.
"Oh, saya turut berduka cita, Ustat!"
"Hm, terimakasih. Ada pertanyaan lain?"
"Tentu! Apa Ustat sudah punya calon lagi? Kalau belum, saya boleh daftar Ustat?"
Si Pembawa acara tampak tercengang mendengar ucapan Lulu.
"Haha, Masya Allah, kamu senang bercanda ya?" ucap pembawa acara itu.
Lulu tersenyum lebar. Sebenarnya dia menunggu reaksi si Ustat sih. Tapi sayang, pria tampan itu hanya tersenyum tipis. Tidak menjawab sama sekali.
"Baik, terimakasih Nona. Ada lagi yang bertanya? Bukan masalah pernikahan Ustadz Raihan ya?" Pembawa acara tampak tersenyum geli.
Beberapa berdiri untuk mengajukan pertanyaan. Lulu sendiri sudah kembali duduk. Ternyata yang sedang mereka bahas adalah tentang hubungan dengan orang tua.
Lumayan banyak juga yang bertanya. Lulu menatap kagum ke Raihan sambil duduk. Pria itu menjawab semua pertanyaan dari hadirin dengan sangat jelas dan tegas.
Lulu melirik seseorang. Sepertinya pria itu yang sering bersama Raihan. Apa mungkin supirnya ya? Lulu mendekat dan menepuk bahunya.
"Mas!"
"Eh, apa?" si Mas-mas terlihat kaget. Sepertinya dia tadi sedang mengantuk.
"Mas supirnya Pak Ustat ya?"
"Ha? Bukan. Saya temannya. Tapi beliau selalu ngajak saya tiap beliau ngisi kajian."
"Oh, saya kira supirnya. Emang Ustat Raihan ke sini bawa mobil atau motor?"
"Motor. Tuh ada di sana motornya. Kenapa gitu Nona?"
"Ah, gak kenapa-napa. Motornya yang merah ya?"
Pria itu mengangguk tanpa merasa curiga sedikitpun.
Lulu segera keluar dari ruangan mesjid dan berjalan mendekat ke motor merah yang dimaksud. Hm, ternyata ini ya motornya? Maaf Ustat, kali ini aku hanya sedang ikhtiar mencari jodoh, ucap Lulu dalam hati.
Tangannya mengeluarkan sesuatu dari dan saku jubahnya.
Benda tajam bernama paku itu sengaja ia bawa. Lulu celingukan. Setelah merasa aman, ia tusukkan paku itu ke ban motor Raihan.
Lulu tersenyum puas. Segera ia masuk lagi ke dalam mesjid.
Pengajian akhirnya selesai. Orang-orang mulai pergi. Lulu menunggu. Si Ustat tampak sedang ngobrol dengan DKM mesjid. Ah, Lulu gak sabar dengan reaksi pria itu. Oh ya, Lulu juga sudah memaksa pria yang dikira supirnya Raihan itu untuk pulang dengan segala alasan. Untungnya pria bego itu mau pulang, haha.
"Sekali lagi terimakasih, Ustadz!" ucap DKM lalu pria tua itu pun pergi. Tinggallah Raihan dan Lulu di dalam mesjid.
"Lho, kamu belum pulang?" tanya Raihan.
"Belum. Tadi saya lihat ban motor Ustat kempes. Jadi saya berniat untuk membantu."
Raihan mengerutkan keningnya, "Masa sih?"
"Iya. Ayo kita lihat sama-sama!"
Raihan segera keluar. Lulu mengekor di belakang. Bibir Lulu menyeringai.
Ia berjalan sengaja mendahului pria itu. Lalu pura-pura jatuh.
"Aduh, Ustat, saya jatuh!" Lulu memasang wajah memelas. Pasti si Ustat akan meraih tangannya dan menggendongnya, ugh, manis sekali!
Tapi Raihan tidak bergeming sama sekali. Pria itu terlihat kaget, "Innalilahi! Hati-hati, ayo bangunlah!"
"Gak bisa, sakit kaki saya!" Lulu merengek.
Melihat hal itu, Raihan tampak hendak memanggil seseorang. "Mbak! Mbak!"
"Eh, manggil siapa, Ustat?"
"Ada mbak penjual gorengan, pasti dia bisa tolong kamu."
Kesal, Lulu dengan sengaja menarik celana pria itu.
"Tolong bantu ya, Ustat!" ucapnya sambil menarik celana pria itu.
"Astaghfirullah, Lulu?!"
Siapa suruh pria itu gak mau menolongnya? Haha, celana Raihan hampir melorot!