Kamu Mau Jadi Imamku?

1027 Kata
Ternyata belajar mengaji dengan Raihan sangat menyenangkan. Bahkan rasanya belajar satu jam dengan pria itu berasa sangat sebentar. Luna masih mau belajar lagi. Kalau bisa sampai seharian juga gak apa-apa. "Baiklah, untuk hari ini saya rasa cukup. Saya permisi pulang dulu." Raihan melirik jam tangannya. "Lah, kok buru-buru sih, Mas? Baru jam lima sore lho." Luna tampak kecewa saat Raihan pamit pulang. Masih pengen berduaan dia. "Maaf, saya ada jadwal lagi selepas shalat Maghrib." Luna memutar otaknya. Mencari alasan agar pria ini tidak pulang ke rumahnya. "Sholat Magrib? Saya belum pernah lho, Mas." ucap Luna. Yang ini ia jujur kok. Luna belum pernah melakukan sholat atau semacamnya. Raihan terlihat kaget, "Apa? Kamu gak pernah sholat?" Luna tersenyum lebar dan mengangguk. "Iya belum. Makanya ajarin dong, Mas." Luna merajuk. "Saya pasti ajarkan. Tapi sepertinya tidak sekarang. Saya sudah membuat janji temu. Jadi saya gak bisa ngajarin kamu sekarang. Janji adalah hutang yang harus dipenuhi." Bukannya kecewa, Luna malah menatap makin kagum dengan sosok Raihan. "Wow, Anda sosok pria yang selalu menepati janji ya? Keren!" ucap Luna jujur. "Keren apanya? Memang janji itu wajib ditepati kok," ucap Raihan. Pria itu lalu membereskan buku dan peralatan bekas belajar dengan Luna ke dalam tasnya. "Saya gak bercanda, Mas. Nih ya, kebanyakan pria yang saya temui itu sukanya membuat janji dan menggombal lho, sampai muak saya mendengarnya. Padahal mereka sama sekali tidak menepati apa yang mereka janjikan. Nyebelin kan?" Raihan terlihat mengulum senyum. "Mungkin mereka belum faham. Bahwa tanda seorang mukmin yang tidak munafik adalah menepati janji yang dibuatnya." "Begitu ya? Wah, kapan kita belajar lagi? Mas malah mau pergi." Luna memasang wajah cemberut. Sumpah, dia masih betah dengan Raihan. "Maaf, Luna. Saya harus pulang sekarang. Papa dan Mama kamu ada? Saya mau pamitan." Raihan menggendong tasnya. Lalu berdiri dan diikuti oleh Luna. "Papa tadi keluar kota. Katanya ada urusan bisnis. Kalau Mama paling lagi memantau ke bangunan sebelah. Lagi acara live jualan," jawab Luna. "Oh, ya sudah. Saya pulang sekarang saja." "Eh, tunggu-tunggu, Mas makan dulu ya? Setelah itu baru boleh pulang. Gimana?" Luna tersenyum manis. Sengaja, biar Raihan segera terpikat padanya. Sayang, pria itu jarang sekali mau menatapnya. Pasti matanya malah melihat ke arah lain. Keduanya turun ke lantai bawah. "Terimakasih atas tawarannya, Lulu. Tapi saya harus benar-benar pulang sekarang." "Eh, kalian udah beres?" Sinta datang dari luar. Wanita yang melahirkan Luna itu tersenyum lebar. "Sudah, Tante. Saya mau pamit dulu." Raihan membungkuk sopan. "Lho, kok pamit? Makan dulu lah." ucap Sinta. Raihan terlihat sungkan. "Terimakasih banyak Tante. Tapi saya ada jadwal lagi." "Tunggu-tunggu, kemarilah!" Sinta mengajak Raihan ke meja makan. Tampak di sana sudah tersedia banyak masakan lezat yang masih mengeluarkan asap. Aromanya benar-benar menggelitik menggoda hidung. Membuat perut terasa lebih lapar berkali lipat. "Tuh lihat, udah siap makannya. Ayo, Mas. Kamu makan dulu aja." Luna menguatkan ucapan Sinta. "Waduh, bukannya menolak. Tapi saya memang benar-benar ada jadwal lagi." Sinta melirik jam dinding, "Memangnya jam berapa kamu ada jadwal lagi?" tanyanya. "Selepas shalat Maghrib, Tante." jawab Raihan. "Wah, itu sih masih lama. Ayo, makan aja dulu. Kasihan Mbok Yem udah masakin banyak malah gak dimakan." Sinta malah langsung menarik kursi di depan Raihan. Mempersilahkan pria itu untuk duduk dan menyantap makanan di atas meja. "Iya, Mas. Mbok Yem kalau udah masak banyak begini terus gak dimakan sama kita, pasti dia sedih," ucap Luna lagi. Akhirnya Raihan makan bersama dengan Sinta dan Luna. Sesuai dengan aroma yang menggoda indera penciumannya, rasa masakan ini juga sangat lezat. Entah mungkin karena Raihan sedang lapar. "Alhamdulillah," desis Raihan saat ia menyudahi makannya. "Gimana? Enak gak, Mas?" tanya Luna. Gadis itu tersenyum geli. Raihan yang tadinya menolak makan malah terlihat makan dengan lahap. "Enak sekali. Sekali lagi terimakasih atas jamuannya." Raihan berdiri dan berjalan ke kamar mandi yang ada di dekat ruang makan. Luna menebak, sepertinya pria itu sedang cuci tangan. "Cie mesem-mesem terus dari tadi," Sinta menggoda putrinya. Luna tersenyum malu, "Ah, Mama! Jangan ngomong gitu, kan aku jadi malu, Ma." Wanita itu malah tertawa, "Haha, beneran deh, Mama baru lihat mode kalemnya kamu. Gak pecicilan dan gak joget-joget kalau di rumah. Ternyata harus ada Raihan baru kamu bisa setenang ini." "Ish, Mama! Aku bukan kalem, tapi malu, Ma." Luna merasa kedua pipinya memerah panas. Duh, gimana ya jelasinnya? Yang jelas, walau merasa malu, tapi rasanya menyenangkan kok. Raihan kembali dari kamar mandi. Pria itu terlihat membuka ponselnya. "Rai, kamu ada jadwal dimana setelah ini?" tanya Sinta. Raihan tersenyum dan menyimpan ponselnya lagi. Ia ikut duduk di sofa bersama Luna dan mamanya yang memang sudah tak duduk di meja makan lagi. "Di mesjid alun-alun kota. Anak-anak rohis mengundang saya untuk mengisi kajian." Raihan menjawab sambil mengangguk sopan. "Ya ampun, kamu keren sekali sih? Bisnis oke, ngaji jago, bahkan ngisi kajian ke anak-anak remaja." Sinta menatap kagum ke Raihan. Pantas si Luna klepek-klepek, Raihan berbeda dengan kebanyakan pria yang pernah dekat dengan putrinya. "Masya Allah tabarakallah, itu bagian dari kenikmatan yang Allah berikan kepada saya." "Kamu bisa ajarin si Lulu juga kan? Biar gak pecicilan melulu. Eh, sudah adzan ya?" ucap Sinta saat terdengar suara adzan dari ponselnya Raihan. "Ah, iya. Gak berasa. Di sini mesjid sebelah mana, Tante?" tanya Raihan. "Ada di samping pabrik. Ayo kita sekalian aja. Lu, kamu ikut ya?" Sinta menatap Luna. "Ha? Aku? Ke mesjid gitu?" tanya Luna. Sejak tadi gadis itu malah asyik menatap Raihan. Puas-puasin sebelum Raihan pulang. "Iya, tuh lihat, Rai! Ini anak gak pernah mau sholat lho! Kamu bisa kan ajarin dia?" Sinta menatap kesal ke putrinya itu. Bikin malu saja. "Mama, aku kan masih muda. Wajar dong kalau belum bisa yang begituan." Luna merengut manja. Kenapa sikap gadis itu malah terlihat lucu ya? Raihan tersenyum geli. Eh, astaghfirullah! Kenapa dengan dirinya? Raihan memalingkan wajahnya ke arah lain. "Makanya belajar tuh sama Raihan. Jangan keluyuran terus." Raihan tersenyum, "Kalau begitu, kita ke mesjid sama-sama." Luna jelas sangat girang mendengar ajakan manis Raihan. Walau hanya diajak ke mesjid buat sholat, tapi rasanya kayak diajak kencan sama pacar! Ketiganya keluar dari rumah menuju mesjid yang ada di samping pabrik kosmetik milik keluarga Luna. Beberapa karyawan tampak sedang berwudhu. Ada juga yang masih ngobrol di luar menunggu antrian. "Mas, kamu mau jadi Imamku?" tanya Luna dengan wajah malu-malu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN