Bab 4. Senang Mia

1121 Kata
Hampir saja Mia hendak berteriak, tapi dia dengan cepat menyadari keadaan sekitar, sungguh senang melihat Ihsan di depannya. "Kamu bekerja di sini rupanya," ujar Ihsan, masih dengan senyum hangatnya. "Iya, Om. Aku staff sekretaris utama, hm ... staff biasa,” jawab Mia merendah. "Bukannya kamu mengurus dua swalayan? Gilang cerita kamu sudah punya dua retail swalayan besar, papamu juga cerita sama Om." Mia mengangguk tersenyum. "Itu sambilan, Om." Ihsan tertawa kecil, merasa lucu dengan jawaban Mia, penghasilan dari swalayan tentu lebih besar daripada gaji menjadi staff biasa. Keduanya berjalan bersama ke luar ruangan. "Jadi Om terlibat proyek perombakan gedung ini?" tanya Mia. "Om yang memimpin proyek, hm ... bukan perombakan, tepatnya desain ulang. Tapi ada beberapa yang memang perlu perbaikan, harus disesuaikan dengan struktur gedung." "Oh." Mia manggut-manggut, ternyata calon papa mertuanya itu asyik diajak bicara, tidak pendiam seperti saat pertama kali bertemu di acara pertunangannya malam itu. "Dan Om tinggal di lantai dua puluh empat," ujar Ihsan lagi. Mia tentu terkejut mendengar pengakuan Ihsan. Entah kenapa dia yang seolah tidak memiliki masalah serius, justru senang dengan kabar ini. "Oh, Om tinggal di gedung ini?" tanya Mia kembali memastikan, seketika begitu banyak hal yang terlintas di benaknya. "Ya, jadi selama proyek berlangsung, Om tinggal di ruangan yang sudah disulap jadi tempat tinggal." "O, begitu." Ihsan mengulum senyumnya memandang Mia, dalam hati memaklumi alasan Gilang yang pada akhirnya memutuskan untuk bertunangan. Mia sangat cantik, sikapnya sopan dan ceria. Tapi senyumnya surut saat mengingat kejadian malam itu. "Kamu ... nggak sedih lagi?" tanyanya hati-hati, khawatir pertanyaannya menyinggung perasaan Mia. Mia tertawa malu. "Nggak, Om. Aku nggak sedih lagi." Tapi dia sebenarnya menangis di dalam hati. Tampaknya Ihsan mengetahui apa yang dipendam Mia. Dia mengulurkan tangannya ke hadapan Mia, berujar dengan pelan. "Boleh pinjam penamu dan kertas kecil?" "Oh." Mia mendesah sesaat, lalu dengan cepat mengambil pena di saku dan menarik secarik kertas kecil dari buku catatan kecilnya. Ihsan menulis angka-angka di atas kertas kecil yang dia ambil dari tangan Mia, lalu menyerahkannya ke Mia. "Ini nomor pribadi Om, kalo ada apa-apa, kamu bisa hubungi." Perasaan Mia menghangat, dia mengangguk semangat. Ini yang memang dia butuhkan, ada tempat mengadu di kala sedih, terutama tentang Gilang yang membingungkan. Dia dengan cepat melipat kertas dan memasukkannya ke dalam saku di d**a. Ihsan diam-diam mengamati Mia, yakin bahwa Mia menyembunyikan kesedihan. "Oke, Om jalan dulu," pamit Ihsan saat jeda diam di antara mereka berdua. "Oh, iya, Om. Aku juga ... mau balik kerja lagi," ujar Mia, sedikit gugup, dan dia yang menggerutu kenapa waktu begitu cepat saat bertemu Ihsan pagi ini. Ihsan berjalan lebih dulu, sedangkan Mia mengamatinya dari belakang. Baru lima langkah, Ihsan berbalik, dia tertegun melihat Mia yang tersenyum kecut, seolah sedih melihat kepergiannya. Dia mengangkat tangannya dan mendekatkan ke telinga, menyuruh Mia agar menghubunginya jika ingin mengungkapkan sesuatu kepadanya. Mia mengangguk tersenyum, berbalik arah menuju ruang atasannya, dia hendak mengajukan hasil laporan rapat khusus pagi ini, sebelum masuk ke ruang kerja utamanya. "Hai, Mia!" sapa Sindi, dia masih saja memperbaiki dandanannya di depan cermin. Mia dengan cepat membuka tabletnya, sembari menyalakan mesin printer yang ada di dekat meja kerja Sindi. "Kamu kenal Ihsan?" Tiba-tiba Sindi bertanya, dia sudah yakin riasan wajahnya yang tidak berubah. Mia terkesiap. "Iya, Bu." "Oh," desah Sindi dengan bibir sedikit mencebik, dan Mia menyadarinya. "Dia itu papa tunangan saya, Bu,” ujar Mia, tidak ingin atasannya itu berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Sindi mendadak tersenyum lebar. "Oh. Astaga, saya baru ingat kamu sudah bertunangan, maaf ya, saya nggak datang ke acara itu, karena saya ada acara keluarga di Manado." "Iya, Bu. Saya sudah baca pesan dari ibu. Terima kasih banyak hadiah dari Ibu," ucap Mia menunduk. "Jadi ... Ihsan itu papanya Gilang?" tanya Sindi memastikan kembali, dan dia yang mulai tertarik. Mia sudah mencetak laporan dan meletakkannya di atas meja Sindi. Dia memandang wajah Sindi yang bingung, dan dia mengerti. "Om Ihsan itu papa kandung Gilang, Bu." "Ooo. Oke. Ya ya. Hm ... soalnya setahu saya Ihsan ini dulunya kerja di perusahaan arsitektur di Singapore." Lalu dia memelankan suaranya saat berujar, "Dan dia ini ‘kan duda. Wah, kebetulan ya." Mia tertawa kecil melihat wajah genit Sindi. "Ah, jangan sampai si Ihsan ini genit kayak bos Tirta," bisik Sindi sambil mengedipkan matanya. "Haha, Ibu. Tapi pak Tirta orangnya suka bercanda." "Iya, tapi kadang candaannya nggak kenal tempat, Mia. Ingat ada tamu yang komplen sama saya dulu, ngeluh bokongnya dipelototin si Tirta sampe lama gitu pas rapat selesai?" "Haha, Ibu." Mia tidak sanggup menahan tawanya, dan perasaannya mendadak ceria hari ini. "Pas kamu gantiin kerjaan Vina waktu itu.” “Iya, Bu. Saya juga sempat liat Pak Tirta ngeliatin ibu itu trus ketawa-tawa sama Pak Razak.” “Ih, bikin malu,’kan. Ah, semoga mertuamu nggak begitu.” “Calon mertua, Bu.” “Ah, maksud saya itu, Mia. Tapi … kayaknya nggak banyak ngomong orangnya ya.” “Iya.” Mia mengiyakan saja, meskipun dia baru saja bicara cukup banyak dengan pria itu. Tapi dia memaklumi pendapat Sindi, karena baru saja mengenal Ihsan. “Hm … nggak banyak omong, jangan sampai kayak Harja yang dikit omongannya, nggak taunya selingkuh dengan Puspa.” Mia berdecak dalam hati, tidak begitu suka dengan gosip. Tapi dia tetap menunjukkan sikap hormatnya ke Sindi sebagai atasan. Lagi pula Sindi adalah atasan yang sangat baik. “Oh iya, kamu harus balik kerja lagi. Maaf ya. Eh, kalo saya ngelantur nggak usah didengerin.” “Haha, Ibu. Baik, Bu. Saya pamit keluar ya, Bu.” Sindi mengangguk tersenyum. Mia sudah kembali masuk ke dalam ruangannya, dan duduk sambil memainkan mouse agar komputernya kembali menyala. Dia lalu melanjutkan pekerjaannya. Ruangan sibuk pagi itu, terdengar bunyi ketikan di keyboard, ada juga yang mengeluh karena pekerjaan yang menumpuk serta atasan yang tidak bisa ditemui. “Hai, Mia,” sapa Sara pelan, dia tampak baru datang dari luar ruangan. “Hai, Sara. Baru dari dapur?” tanya Mia, melihat termos kecil di tangan kanan Sara. “Ya. Aku kerja dulu ya, jangan lupa makan siang di kantin bareng,” ujar Sara dan berlalu, kembali duduk di dalam sekat ruangannya. Mia menghela napas pendek, kembali mengingat Sara yang mengharapkan bantuannya untuk mendapatkan nomor Ihsan, dan dia yang sudah mendapatkannya. Matanya melirik ke saku d**a, melihat secarik kertas, mengambil dan membukanya. Ihsan ternyata tidak saja meninggalkan nomor hape pribadi, tapi juga nomor kamarnya yang berada di lantai dua puluh empat di gedung ini. Dia lalu mengambil ponsel dan menyimpan nomor Ihsan dengan cepat, bahkan sempat pula mengirim pesan ke nomor itu. Tanpa diduga, pesan Mia langsung dibalas cepat. Ihsan : Mia, ini nomor pribadi, jangan berikan ke siapapun Mia pun segera membalas pesan dari Ihsan dengan emotikon jempol ke atas, lalu menulis oke. Dia sudah tahu keputusannya untuk tidak memberitahu nomor Ihsan ke Sara. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN