Bab 3. Kembali Bekerja

1212 Kata
Tertegun beberapa saat, Ihsan dengan cepat menebak bahwa Mia sedang bermasalah dengan putra satu-satunya. "Gilang?" tanyanya. Mia mengusap pipinya yang basah, mengangkat kepalanya dan menatap wajah tegas Ihsan. Entah kenapa dia merasakan getar di d**a yang tidak biasa, menyadari keadaannya yang salah. "Maaf, Om." Mia mundur dan tertunduk. "Oke, oke. Baiklah. Om pergi sekarang." Ihsan lalu pergi ke luar toilet, mengerti bahwa Mia yang sepertinya ingin sendirian, dan tidak ingin diganggu. Barulah Mia merasa lebih tenang setelah mendengar langkah yang menjauh. Dia kembali merapikan hiasan di wajah dan pakaian, lalu kembali ke ruang acara. Ternyata acara semakin meriah, bahkan dia melihat Gilang sedang bercakap-cakap dengan mama dan papanya. "Sayang, kamu dari mana?" tanya Gilang dengan wajah khawatirnya. "Aku cari-cari lo." Perasaan Mia mendadak hangat, senang dengan Gilang yang mengkhawatirkannya, dan dia bisa melihat dari sorot matanya. "Dari restroom, aku kebelet," jawabnya. "Oh, haha. Aku pikir kamu ke mana." Tak lama kemudian, mama Gilang ikut menanyakan Mia dan Gilang menjelaskan bahwa Mia yang baru saja dari restroom. Setelahnya, Mia tetap bersikap biasa, melayani para tamu undangan yang menyapa dan mengucap selamat kepadanya. Perlahan, perasannya tenang, meskipun di lubuk hatinya yang terdalam dia masih ragu untuk melangkah ke depan bersama Gilang. Di sudut lain, tampak Ihsan memperhatikan Mia dari balik kerumunan, matanya tajam seolah masih mengingat dengan jelas wajah Mia yang memendam kesedihan yang mendalam, dan dia yang berusaha menebak-nebak. Tanpa sengaja Mia menoleh ke arahnya, dan gadis itu dengan cepat mengalihkan pandangannya. *** Hidup itu terus berjalan, begitu moto hidup Mia, yang sekarang bekerja sebagai staff biasa sekretaris utama di perusahaan yang bergerak di bidang properti ternama di Jakarta. Dia adalah pekerja keras meskipun dari latar belakang keluarga berada, lulusan Amerika pula. Tidak lantas bersantai dan manja, dia juga dipercaya mengelola supermarket milik mamanya. "Selamat pagi, Bu Gilang Permana." Mia kaget, kontan menoleh ke belakang. "Sara? Ih." Dia tampaknya jengah mendengar sapaan baru dari Sara barusan. "Ya elah, kok sewot. Harusnya bahagia dong sudah bertunangan dengan cowok terganteng dan tercinta-cinta di hatimu." "Udah deh, jangan mulai." Sara menoleh ke kanan dan ke kiri, seolah mengawasi keadaan yang cukup sepi di awal kerja pagi itu. "Jangan mulai ... maksud?" Mia memandang wajah Sara dengan perasaan jengahnya. "Hm...." Sara bergumam, dalam hati dia mencurigai ekspresi jengah di wajah Mia. "Aku apa ngga salah lihat malam itu, Gilang ke luar gedung dan menelepon, dia kayak pusing gitu dan ... nggak lama sih." Mia jadi mengingat malam pertunangannya, di saat Gilang yang dengan tiba-tiba meminta izin pergi sebentar darinya, yakin Gilang yang pasti sedang menghubungi Rita. "Hei, ada apa, Mia?" tanya Sara. Menatap Sara beberapa detik, Mia memutuskan untuk tidak menceritakan yang terjadi malam itu. Sara dan Rita memiliki hubungan persaudaraan, dia tidak ingin ada perseteruan di antara mereka, meskipun Sara yang kerap kesal kepadanya. Ada sedikit kekhawatiran Sara yang mungkin berpihak kepada Rita, menceritakan keluh kesahnya dan itu yang tidak dia inginkan. Ah, kehidupan Mia memang sempurna, tapi dia memiliki kekurangan mencari teman sejati tempat dia berkeluh kesah. Sara masih berdiri di sisi sekat ruang kerja Mia. "Tapi aku sedang jatuh hati pada pria matang setengah baya." Mia mendelik, baru tertarik dengan omongan Sara. "Siapa?" tanyanya ingin tahu. "Hahaha, kepo juga,'kan akhirnya?" tawa Sara. "Ya nggak apa-apa kalo kamu nggak mau cerita." "Hm, om Ihsan, si calon mertua." Sara mengatakan juga akhirnya. Mia mengulum senyum, mengaku dalam hati bahwa Ihsan memiliki pesona luar biasa, terutama sorot matanya yang teduh. Dia masih ingat kejadian di malam pertunangannya dengan Gilang, saat Ihsan yang ingin menenangkan perasaannya. "Oh, papanya Gilang," gumam Mia, dan dia beralih ke komputernya. "Iya, ganteng banget,'kan, nggak kalah sama anaknya. Mana yang ini lebih macho lagi." "Oiya, kamu dulu bilang kalo Rita juga suka om Ihsan, 'kan?" "Haha, itu urusan dia. Yang penting om hot yang satu ini masih sendiri." Dahi Mia berkerut, entah kenapa dia mencium aroma tidak sedap dari ucapan Sara barusan. "Oke, selamat mendekati duda hot kalo begitu," ucap Mia dengan senyum manisnya, tapi dia sebenarnya yang tidak peduli. "Tapi ... aku butuh bantuan nih." "Bantuan apa?" "Hm, bantu aku untuk dapatin nomor kontaknya." Dahi Mia berkerut lagi, agak heran dengan permintaan bantuan Sara. "Aku ... baru saja mengenalnya malam itu." Sara menepuk dahinya. "Ah iya, hm ... tapi siapa tau kamu bertemu om ganteng itu. Lagi pula... bukannya kamu yang telah berhasil membujuk Gilang agar bisa mendatangkan om Ihsan ke acara pertunangan kalian. Jadi kupikir kamu bisa jadi menantu yang baik dan dekat, bisa dong dapetin nomor kontaknya." Mata Mia mengerling malas, apalagi dia yang baru saja melihat pesan surel di layar komputer bahwa ada rapat dadakan di divisinya. "Keberatan? Kok mukanya cemberut gitu sih?" tanya Sara, heran melihat Mia yang kurang bersemangat dan berdecak sebal. "Bukan begitu, ini Bu Sindi baru kirim email, pagi ini ada jadwal rapat dadakan di divisi keuangan, tandanya apa? Aku harus buat persiapan dadakan juga." Sara mengangguk mengerti. "Oh, kayaknya ada tamu luar datang deh." "Oh ya? Tamu dari mana?" tanya Mia. "Denger-denger dari perusahaan Biantara. Kurang tau juga sih, soalnya aku juga denger dari Lola, ada proyek baru di gedung ini, katanya bakal ada perombakan besar-besaran." "Kamu sudah dapat email rapat?" tanya Mia lagi. Sara menggeleng, "Semoga saja nggak," harapnya. Mia cemberut, dia tidak suka mendapat jadwal dadakan, dan Sara menertawakan nasibnya. "Sori, sudah mengganggu." Sara lalu pergi meninggalkan ruangan sekat Mia. Tiba-tiba Mia mendapat panggilan. "Ya, Bu?" "Mia, segera ke ruangan saya." "Baik, Bu." Meskipun kesal dan dadakan, Mia tetap bekerja sebaik mungkin, dia langsung merapikan meja kerja dan mengambil ponsel dan tablet, juga buku catatan penting, dan bergegas ke luar ruangan. Tampak Sara yang berada di sekat ruang lain memperhatikan Mia dengan mata tajamnya, entah apa yang ada di dalam pikirannya. Berada di dalam ruangan Sindi beberapa menit, Mia langsung mengerti tugasnya dan bergerak cepat. “Rapat mendadak memang menyebalkan,” ujar Sindi sambil memperbaiki dandanannya di depan cermin besar yang ada di ruangannya. Atasan Mia satu ini memang terkesan genit, tapi kerjanya yang sangat cekatan. “Tapi tenang, Mia. Rapat ini baru permulaan, hanya perkenalan biasa dan tanpa presentasi detail.” “Hm, terkait perombakan gedung ini, Bu?” tanya Mia, mengingat apa yang dikatakan Sara sebelumnya di ruangan. “Ya, ada beberapa tamu penting nanti,” ujar Sindi tanpa mau tahu bagaimana Mia tahu. Tak lama kemudian, Sindi mendapat panggilan dan dia yang dipinta untuk segera datang ke ruangan, lalu mengajak serta Mia. Rapat diadakan di ruang pimpinan tertinggi, dan sudah ada beberapa tamu undangan yang datang. Mia langsung sibuk melayani para tamu dan memastikan keadaan. Setelahnya, dia duduk di samping Sindi. “Saya nggak liat mbak Vina di ruang Ibu.” “Oh, dia sakit, makanya saya panggil kamu.” Mia mengerti kenapa Sindi membutuhkannya pagi ini. Dia kembali mengikuti acara rapat perusahaan pagi itu. Dia tidak menyadari bahwa ada seseorang di antara para peserta rapat tengah memperhatikan dirinya. Ternyata rapat pagi itu tidak terlalu lama berlangsung, hanya sambutan dari pimpinan tertinggi perusahaan dan balasan dari perwakilan tamu. Mia cukup lega karena sudah menuntaskan tugas di awal pagi ini. Rapat selesai, dan Mia yang bergerak cepat, mencatat laporan untuk Sindi. Setelahnya, dia bersiap-siap pergi dari ruang rapat. “Mia?” Mia kaget, suara yang sangat dia kenal menyapa. Dia menoleh ke belakang. “Om Ihsan?” Ihsan tersenyum hangat memandang Mia, dan Mia yang tampaknya senang akan kehadirannya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN