Syifa dan Akila begitu senang melihat Mamanya datang bersama Jey. Dua anak itu segera berlari menghambur ke arah mereka berdua. Nida menggandeng tangan Syifa sementara Jey menggandeng tangan Akila.
“Ini langsung pulang ke rumah, kan?” Tanya Jey seraya membukakan pintu mobil untuk Nida, juga untuk Syifa dan Akila.
“Iya, antarkan kami pulang ke rumah Ibu.” Sahut Nida seraya melangkah masuk ke dalam mobil.
“Nida setelah kita menikah, sebaiknya kamu tinggal di rumahku. Aku tinggal seorang diri, juga rasanya tidak akan nyaman jika kita tinggal di rumah kedua orangtuamu, aku sudah berjanji tidak akan menyentuhmu.” Ucap Jey dengan suara pelan. Dia cemas kalau perkataannya sampai menyinggung perasaan wanita itu.
“Tidak masalah, aku sudah memutuskan untuk menerima pinanganmu, jadi.. aku, aku, aku akan ikut ke manapun kamu membawaku pergi.” Nida meremas ujung kerudung yang dikenakannya. Wanita itu menundukkan wajahnya dalam-dalam. Benarkah keputusan yang dia ambil saat ini? Nida sudah melaksanakan istikharah untuk meyakinkan kembali keputusannya tersebut. Sampai detik ini hasilnya Jey masih tetap tinggal di sisi keluarganya. Nida selalu mempertanyakan keberadaan pria asing tersebut. Bisakah Jey menjadi imam yang baik untuk keluarga kecilnya, nanti? Apakah kesabaran pria itu hanya sebatas sebelum mereka berdua menikah? Lalu sikap Jey akan kembali berubah ketika dia resmi menjadi istri dari Jey? Semua itu terus terlintas di dalam benak Nida Syafara!
“Aku hanya berharap bisa membahagiakan kalian.” Ucap pria itu padanya.
Nida tetap saja merasa ragu, bisakah pria itu memenuhi kewajibannya. Mengingat penampilan Jey seperti itu. Pasti pria itu akan datang ke pertemuan para artis dan lainnya, sementara dirinya hanya wanita biasa yang mengurus katering. Nida memikirkan banyak hal, dia cemas akan membuat Jey malu suatu hari nanti. Dia tidak bisa merubah penampilannya, hijab yang membalut tubuhnya saat ini merupakan hidup dan mati baginya. Sampai kapanpun dia tidak akan pernah melepaskannya.
Mobil yang dikemudikan Jey, sudah sampai di kediaman kedua orang tuanya Nida. Pria itu segera turun untuk membukakan pintu. Nida segera menyerahkan Syifa dan Akila kepada pelayan di rumah tersebut.
“Bi, tolong urus Syifa dan Akila. Nida harus ke rumah katering, banyak pesanan yang harus Nida urus hari ini.”
“Iya, Mbak Nida.” Ucap pelayan rumah tersebut padanya.
Nida kembali masuk ke dalam mobil, Jey menyalakan mesinnya. Mobil tersebut meluncur meninggalkan kediaman Nida menuju rumah katering yang dikelola Nida.
“Aku melihat sejak tadi kamu melamun, apa yang kamu pikirkan?” Tanya Jey seraya menoleh sejenak ke arah Nida.
“Banyak sekali yang aku pikirkan, Jey. Apa yang harus aku lakukan setelah kita menikah? Tinggal hitungan minggu aku resmi menjadi istrimu. Kamu tahu keluargaku hanya keluarga biasa-biasa saja. Aku juga tidak bisa bersolek seperti wanita kota kebanyakan. Aku hanya selalu berpenampilan seperti ini. Kamu pasti akan jengah melihatku dengan kerudung ini. Sementara kamu, penampilanmu seperti artis model. Pasti kamu akan sibuk bertemu dengan banyak orang.” Ucapnya pada Jey dengan wajah menunduk.
“Astaga! Apa yang kamu pikirkan? Papa dan Mamaku sudah setuju, sudah cukup. Itu sangat luar biasa, terlebih lagi kamu bersedia menjadi istriku. Jangan pikirkan apa-apa lagi, okay?” Jey menggelengkan kepalanya seraya melebarkan senyum pada bibirnya. Dalam hati Jey berkata, “Kamu sangat cantik Nida, bahkan lebih cantik dari artis yang aku lihat selama ini. Kerudungmu ini adalah simbol sekaligus ciri khas-mu. Aku tidak akan meminta kamu merubah penampilanmu. Kamu tidak perlu menunjukkan sisi dirimu yang lain hanya untuk terlihat baik di depan orang lain. Hanya aku yang berhak menilaimu, sekaligus menyaksikanmu, karena aku adalah imam-mu!”
“Kamu yakin?” Tanya Nida seraya menoleh padanya.
“Yakin sekali.” Sahut Jey dengan nada pasti.
Nida menghela napas lega, wanita itu menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi mobilnya. Rasanya lega sekali setelah mengatakan semua yang dia keluhkan dan dia simpan selama ini. Sampai di rumah katering, Jey ikut turun lalu masuk ke dalam.
“Masuklah, kamu belum makan siang, aku akan menyiapkan makan siang untukmu.” Nida menarik kursi untuk Jey, wanita itu meletakkan tasnya lalu melangkah masuk ke dalam. Karyawannya masih sibuk mempersiapkan pesanan. Nida mengambil beberapa menu camilan dan nasi kotak untuk Jey.
“Hanya satu?” Jey mengernyitkan keningnya karena Nida hanya membawa satu kotak makan untuknya. “Untukmu mana?” Tanya pria itu padanya. Nida mengambil dua botol minuman dingin dari dalam lemari es lalu ia letakkan di atas meja.
“Aku masih kenyang, aku tidak terbiasa makan siang.” Sahutnya pada Jey.
“Aku juga tidak terbiasa makan sendiri.” Gurau Jey asal saja. Dia tidak tahu kalau Nida mengambil hati atas ucapannya barusan. Wanita itu segera kembali ke dalam untuk mengambil kotak nasi.
Ragu-ragu Nida mendekat lalu duduk di sebelahnya, Nida juga mulai menikmati makan siangnya. Jey mengulum senyum, pria itu merasa senang karena Nida ikut makan bersama dengannya.
“Padahal aku hanya bercanda, kamu mengambil hati semua yang aku katakan?” Tanya Jey seraya membuka tutup botol minuman lalu meneguknya perlahan.
“Setelah kita resmi menikah rasanya aku memang harus patuh padamu, Jey.” Ucap Nida dengan suara tersendat. Dia selalu ingat dengan semua hukum-hukum dalam pernikahan. Sepenuh hati, suka-tidak suka dia harus patuh pada suaminya. Imam keluarga kecilnya. Menjaga diri seutuhnya, karena hanya Jey yang berhak atas segala hal yang ada pada dirinya.
“Apa kamu merasa tertekan? Bukan ini yang aku inginkan setelah kita menikah. Kamu wanita yang baik, terlalu sempurna untukku..” Ucap Jey sambil menatap Nida dengan kedua bola mata berkaca-kaca. “Kamu bagaikan bidadari yang turun ke bumi, terima kasih karena menerima lamaranku. Ini sangat luar biasa sekali, bagiku.” Ucapnya dengan sungguh-sungguh.
“Tidak, bukan tertekan, sebenarnya memang harus begitu.” Ucapnya pada Jey.
“Aku jatuh cinta padamu.” Ucap Jey pada Nida dengan terang-terangan. Nida spontan menoleh padanya. Wanita itu membalas tatapan kedua bola matanya. “Jangan cemas, aku tidak akan bertindak di luar batas, aku hanya ingin menyatakan apa yang aku rasakan.” Tambah Jey seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa sangat canggung sekali.
“Kamu tahu usiaku lebih tua darimu?” Tanya Nida dengan nada serius, Nida mengetuk bahu jey agar kembali menoleh padanya.
“Aku lebih tua darimu, aku sengaja memanggilmu Mbak. Biar lebih sopan.” Sahut Jey sambil meneguk minuman dari dalam botol miliknya.
“Masa? Berapa tahun?” Nida mengukir senyumnya, wanita itu menopang dagunya sambil menatap Jey.
“Sialan! Wanita ini cantik sekali! Aku merasa sebentar lagi akan mati karena terpesona dengan elok parasnya! Senyumnya begitu manis, tutur katanya terdengar begitu merdu dan lembut. Suaranya saat bercakap terasa renyah dan menyenangkan.” Umpat Jey dengan rasa gelisah. Jey berulang kali meneguk minuman dari dalam botolnya.
“Hey? Malah bengong.” Nida melambaikan telapak tangannya di depan wajah Jey.
“Dua tahun lebih tua darimu.” Sahutnya santai.
“Ah, begitu..” Nida ikut meneguk minuman dari botolnya. “Kamu bujangan tua?” Gurau Nida seraya menggerai tawanya.
“Tidak lagi sekarang. Hahaha!” Sahut Jey, pria itu ikut menggerai tawanya. “Sebentar lagi aku punya dua anak.”
Nida terdiam, wanita itu terpaku menatap wajah pria di sebelahnya tersebut.
“Akila dan Syifa, mereka akan menjadi putriku.” Tambah Jey sambil mengukir senyum lembut.
Entah kenapa mendadak ada sesuatu yang ingin Nida tanyakan kepada Jey saat itu juga. “Apakah kamu tidak menginginkan keturunan dariku?”
“Deg!” Jantung Jey terasa dihantam batu. Wajah pria itu tiba-tiba memerah. Botol dalam genggaman tangannya hampir terjatuh jika Nida tidak segera membantu menggenggamnya. Dua pasang mata tersebut saling bertukar pandang satu sama lain.
Nida tidak bisa menahan tawanya lagi, dia bisa menebak penampilan urakan dari sosok pria di sebelahnya tersebut hanya sampul belaka! Jey masih perjaka!
“Kamu belum pernah..” ucapan Nida terpotong.
“Em, sepertinya aku harus kembali ke lokasi. Ya, aku ingat ada banyak hal yang harus aku urus.” Jey berdiri dari kursinya.
“Jey!” Panggil Nida. Mau tidak mau Jey menghentikan langkah kakinya. “Aku akan mengantarkanmu.” Nida mendahuluinya keluar dari dalam rumah katering.
“Lihatlah itu, sepertinya wanita itu akan menindasku ketika kami menikah nanti. Aku sudah berusaha menyembunyikan sosok polos ini, tapi dia begitu mudah menemukannya!” Keluh Jey dalam hatinya.
“Kenapa wajahmu berubah pucat, ini tidak seperti dirimu yang aku kenal selama ini?” Nida terus merundungnya dengan kalimat memojokkan.
“Aku memang tidak pernah melakukan hubungan intim, pernikahan ini adalah hubungan yang pertama bagiku, Nida. Aku tidak ingin melakukan hal-hal yang memalukan kedua orangtuaku. Sebenarnya sejak lama mereka ingin aku menikah. Dan sepertinya Tuhan sudah mengirimkan bidadari untukku, yaitu dirimu. Kamu bertanya padaku, apakah aku ingin keturunan darimu? Tentu saja aku sangat menginginkannya.” Jelas Jey panjang lebar. “Apakah kamu kecewa karena aku bukan pria ahli seperti yang kamu bayangkan?” Tanya Jey padanya.
“Hah?! Astaga! Apa-apaan! Aku sama sekali tidak berpikir seperti itu. Kamu ingin aku jujur? Aku tidak suka dengan pria yang suka berganti wanita, aku tidak suka pergaulan bebas dan sejenisnya! Aku selalu memegang hukum-hukum itu! Dan aku tidak akan merubah penampilanku sekalipun aku menikah denganmu, hijabku ini, aku sangat mencintainya!” Seru Nida dengan kedua bola mata berapi-api.
“Ah, kamu salah lagi menilaiku. Aku sangat suka dengan penampilanmu sekarang. Kamu sangat mengagumkan!” Timpal Jey dengan senyum cerah.
Keduanya saling bertukar pandang satu sama lain, Jey mengukir senyum pada bibirnya, begitu juga Nida Syafara!