Sesampainya di rumah, Dewa langsung meminta Savana untuk menjelaskan semuanya tentang kejadian yang menimpanya. Sementara Bayu memutuskan untuk pulang, karena Azzam terlihat sudah tertidur.
Savana pun menceritakan semuanya kepada kakaknya dan kakak iparnya yang juga ikut mendengarkan. Tidak ada satu pun yang ditutup – tutupi, termasuk keinginan mereka untuk menjual Kirana kepada keluarga Saputra.
BRAK!
Dewa memukul meja dengan keras. Wajahnya terlihat membesi. Aura membunuh yang kentar terpancar sangat jelaa. Dewa begitu marah saat mendengar cerita Savana.
“b******k! Mereka pikir mereka itu siapa! Beraninya melakukan hal buruk pada adikku!” teriaknya dengan keras, membuat Savana dan Sintia pun terkejut.
“dasar bosoh! Apa dia yakin kalau perempuan itu akan mampu memberikan posisi manager di perusahaanku? Memangnya siapa mereka? Aku tidak takut dengan keluarga Adikara,” maki Dewa dengan mata terlihat begitu menyala. “Apalagi ibunya, dasar mata duitan. Teganya ingin menukar cucunya sendiri dengan uang! Terlebih lagi, dia juga menorong putranya untuk menikahi wanita lain! Apa di aitu sudah tidak waras!”
Savana hanya bisa tertunduk mendengar kemarahan Dewa yang begitu berapi – api. Dia sama sekali tidak mampu mengangkat wajahnya atau pun mendebatnya, karena yang dikatakan kakaknya adalah kebenaran.
"Itulah! Bukankah aku sudah melarangmu untuk menikah dengan laki – laki b******n macam si Andika?! Dia itu hanya sampah yang tidak berguna! Tapi kamu tetap memaksa sampai tega memilih memutuskan hubungan keluarga hanya demi laki – laki b******k itu!”
Kemarahan Dewa semakin menjadi. Perbuatan Andika dan keluarganya membuat Dewa pun menyalahkan Savana.
“Asal kamu tahu! Posisi yang didapatnya saat ini bukan karena dia berprestasi! Tapi karena koneksi mendiang ayahnya! Kalau dia memang punya kemampuan, tidak perlu meminta bantuan orang lain untuk menjadi Manager di Niskala! Cukup buktikan saja kalau dis itu benar – benar layak untuk jabatan itu!”
Savana semakin tertunduk malu dengan perkataan kakaknya.
Memang benar apa yang dikatakan Dewa. Kalau bukan karena koneksi mendiang ayahnya Andika, mana mungkin mantan suaminya itu bisa mendapatkan posisi manager diperusahaanya saat ini.
“Sudah, mas. Jangan terus menyalahkan Savana,” ucap Sintia mencoba menengahi. “Savana masih sangat muda waktu itu, dia juga tidak ingin mengalami nasib seperti ini. Andai saja Savana tahu lebih awal, tidak mungkin dia mau menikah dengan laki – laki itu.”
Mendengar perkataan istrinya, Dewa pun menarik nafas dalam – dalam. Tentu saja dia terlalu terbawa emosi saat mendengar kalau adiknya diperlakukan sangat tidak adil oleh Andika. Sebagai seorang kakak, tentu saja Dewa tidak terima dengan perlakuan Andika dan keluarganya. Kemarahan itu pun muncul karena dia begitu menyayangi Savana.
Merasa tidak ada gunanya terus – terusan menyalahkan Savana, Dewa pun mengambil ponselnya yang tergeletak diatas meja, lalu menghubungi seseorang. Dan saat panggilannya tersambung, Dewa pun berkata dengan tegas. “Putuskan kerja sama dengan keluarga Adikara!”
Savana seketika terkejut. Dia tidak menyangka kalau kakaknya akan melakukan hal sejauh itu.
“Apa yang kakak lakukan?” tanyanya sambil memberanikan diri menatap sang kakak.
Dewa melikir kearah Savana, kemudian berkata. “Apa yang aku lakukan?’ ucapnya sambil menatap tajam Savana. “Tentu saja memberi pelajaran pada orang – orang yang sudah memperlakukan buruk terhadap kamu!" jawabnya dengan tegas.
Savana menarik nafas berat. Dia pernah mendengar kalau keluarga Adikara memang menjalin kerja sama dengan Niskala Corp. Tapi, bukan berarti karena kesalahan salah satu anggota keluarganya, lantas semua keluarga Adikara mendapat imbasnya?
Belum lagi, kakaknya sudah dipastikan harus membayar penalty karena memutuskan hubungan kerjasama secara sepihak, tanpa ada kesalahan yang serius, dan alasannya karena urusan pribadi, bukan urusan perusahaan.
Merasa keputusan kakaknya itu akan sangat merugikan perusahaan, Savana pun mulai angkat bicara. “Kakak ngelakuin ini demi aku?” tanya Savana.
Dewa menautkan alisnya mendengar pertanyaan Savana yang dianggapnya sangat konyol. “Tentu saja, kamu tidak bisa menghancurkan keluarga Adikara dan keluarga Permana? ”Dewa menyunggingkan senyum, “Itulah bodohnya kamu. Memiliki keluarga kaya, tapi lebih memilih menjadi pembantu dirumah mertua kamu yang konyol itu! dasar b***k cinta,” makinya.
Savana kembali mendengus kasar mendengar ejekan kakaknya. Tapi apa yang dikatakan oleh Dewa memang benar. Savana terlalu bodoh, karena mau dijadikan pembantu gratisan di rumah Soraya. Padahal dirinya adalah seorang Nona Muda dikeluarga kaya raya.
Namun walau demikian, Savana merasa terharu dengan sikap kakaknya yang begitu peduli dengan penderitaanya. “Terima kasih, kak,” ucap Savana kembali bersuara. “Tapi, kakak tidak perlu melakukan itu semua.”
Perkataan Savana tentu saja membuat Dewa kembali mengerutkan dahinya, “Maksud, kamu? Apa?” tanya Dewa tidak paham.
“Yang menyakitiku dan bersikap tidak adil padaku itu adalah keluarga Permana. tidak ada hubungannya dengan keluarga Adikara. Dan tentu saja sangat tidak adil kalau kakak harus menghukum mereka yang sama sekali tidak bersalah,” jelas Savana.
“Tentu saja ada hubungannya, bukannya perempuan itu adalah anggota keluarga Adikara? Mencoba untuk mengambil yang bukan haknya itu adalah perbuatan yang sangat tidak terpuji! Perempuan itu kan tahu kalau Andika itu sudah punya istri! Tapi kenapa masih mencoba untuk mendapatkannya, sampai – sampai menawarkan sesuatu yang sebetulnya tidak akan pernah didapatkan!” jawab Dewa.
“Apa yang dikatakan kakakmu itu benar, Savana. Seluruh keluarga Adikara pun bersalah karena membiarkan Nona Mudanya merebut barang orang lain,” timpal Sintia.
“Tapi, kak,” Savana melirik kearah kakak iparnya. “Keluarga Adikara sudah bisa dipastikan tidak mengetahui tentang hal itu. apa kakak lupa, Tuan Muda keluarga Adikara yaitu Yoga Adikara sangat tegas dan keras. Dia tidak akan membiarkan adiknya melakukan hal buruk, apalagi merebut suami orang,”
Sintia dan Dewa terdiam. Mereka baru sadar apa yang dikatakan Savana memang benar. Yoga Adikara yang merupakan putra tertua Rama Adikara terkenal sangat tegas. Tentu saja pria itu tidak akan membiarkan salah satu anggota keluarganya melakukan kesalahan. Dan kalu saja tahu Ziya menjalin hubungan dengan Andika yang sudah punya istri, tentu saja hal buruk akan menimpa keluarga Permana.
“Lantas, aku harus diam saja dan membiarkan mereka semua merasa menang, sementara aku tahu kamu itu tersakiti?!” ucap Dewa sambil kembali menatap Savana dengan tajam.
Savana menggeleng. “Tidak kak, bukan itu maksudnya,” ucap Savana sambil menarik nafas sejenak. “Intinya, membalas perbuatan keluarga Permana, dan memberi pelajaran pada Ziya adalah urusanku. Kakak gak perlu turun tangan sendiri. Biarkan aku saja yang akan membalas perbuatan mereka,” tegasnya dengan begitu yakin.
“Lagi pula, disini aku yang disakiti. Jadi, aku yang harus mengembalikan rasa sakit ini pada mereka. Dan hatiku akan lebih puas jika mereka jatuh oleh tanganku sendiri. Kakak cukup memantaunya saja dari belakang.”
Dewa menatap wajah Savana, lalu melirik kearah Sintia yang mengangguk. Kemudian kembali menatap Savana lalu mengangguk.
“Baiklah, lakukan apa yang harus kamu lakukan,” ucapnya luluh, “Sudah malam, sebaiknya kamu istirahat,” titahnya sambil berdiri. Lalu berjalan menggandeng tangan Sintia menuju kamarnya.
Begitu juga dengan Savana, sepeninggalnya Dewa Nalendra dan Sintia Fuji Lestari, wanita itu pun berajalan menuju kamarnya untuk menemani Kirana tidur. Entah kenapa, walau pun Dewa sudah memberikan sebuah kamar khusus untuk Kirana, tapi hati Savana merasa berat kalau harus membiarkan putrinya tidur sendiri.
Barus saja hendak memejamkan mata, ponselnya pun berdering. Savana dengan cepat meraih ponselnya yang tergeletak diatas nakas.
“Mas Bayu? Ada apa nelpon malam – malam?” ucap Savana sambil memandang layar ponsel miliknya. Nama Bayu terpampang disana. Savana memang sudah memberikan nomor kontak kepada Bayu, namun hanya nomor ponselnya saja, karena memang Ponsel Savana jadul, dan tidak bisa WA.
“Halo, Mas!” sapa Savana setelah terhubung.
“Tante…ini Azzam.” Savana menautkan alisnya. Dia terkejut, dikira Bayu yang menghubunginya, ternyata Azzam.
“Oh, ini Azzam? Kok belum bobo, sayang?” tanya Savana lembut.
“Azzam mau minta maaf tante,” ucap bocah itu terdengar menyesal.
“Minta maaf? Memangnya Azzam salah apa sama tante?” tanya Savana kembali.
“Soalnya, tadi Azzam lupa pamit sama tante, Azzam ketiduran di mobil,” jelas bocah itu jujur.
“Ya udah, tante maafin. Sekarang, Azzam bobo ya, Sayang,” sahut Savana sambil tersenyum sendiri. Merasa lucu dengan sikap lugu bocah itu.
“Makasih tante,” sahut Azzam. “Oh iya, Azzam boleh main gak kerumah tante besok? Sekalian ingin bermain dengan Kirana,” tanya Azzam.
“Tentu saja boleh sayang. Azzam boleh main kerumah tante kapan pun Azzam mau. Nginap di rumah tante juga boleh,” ucap Savana.
“Asik…Azzam besok boleh main kerumah tante!” teriak Azzam kegirangan.
“Ya udah, sekarang Azzam bobo ya sayang, udah malam.”
“Iya tante, Azzam bobo dulu,”
“Iya, selamat bobo Azzam, semoga mimpi indah.”
Savana menggenggap ponselnya, lalu meletakan kembali dinakas. Kemudian merebahkan tubuhnya memeluk Kirana yang sudah tertidur lelap.