Semilir angin berembus lembut membelai pipi Agatha yang tak merona. Rambutnya ikut bergoyang mengikuti irama angin yang tercipta. Kini Agatha duduk termenung di depan gubuknya. Menatap jajaran pohon yang tingginya berkali lipat dari tubuhnya. Hanya suara daun yang saling bergesekan karena tiupan angin yang terdengar.
Agatha sangat menyadari jika kini ia hidup sendiri. Sudah seharusnya ia mampu berdiri tanpa uluran tangan siapa pun. Tidak ketiga sahabatnya, tidak pula Jonathan. Tidak akan ada yang benar-benar bisa diandalkan selain diri sendiri. Dan Agatha juga tidak bisa menjamin jika mereka akan tetap tinggal. Bisa saja besok atau di hari lain salah satu atau bahkan mereka semua pergi.
Dan pada akhirnya setiap manusia harus mampu menjalani hidupnya dengan hanya bertopang pada kaki sendiri. Agatha menatap pohon-pohon di sekitarnya. Mereka tumbuh menjadi pohon yang gagah, masing-masing. Tidak ada pohon yang bertopang ranting ke pohon lainnya. Akar mereka mencengkeram tanah dengan kuat hingga mereka bisa berdiri tegak.
Agatha ingin seperti pohon-pohon itu. Ia akan belajar untuk memperkuat apa yang ada dalam dirinya untuk kemudian dapat melakukan sebuah aksi untuk kesejahteraan hidupnya. Agatha tahu, hal pertama dan yang paling utama yang dapat manusia lakukan adalah memperteguh keimanan kepada Tuhan dan memohon bantuan kepada-Nya. Setelah itu Agatha akan memperkuat mentalnya, juga berdamai dengan diri sendiri.
Berdamai dengan diri sendiri, adalah sebuah kesulitan terbesar seorang manusia. Banyak manusia merasa gagal, tidak bahagia, dan rendah diri hanya karena tidak bisa berdamai dengan diri sendiri. Mereka sering berdalih, 'Mengapa aku begini, mengapa aku begitu'. Padahal jika ditilik lebih dalam lagi maka sebenarnya mereka hanya tidak menyadari keberuntungan yang mereka punya.
Agatha beranjak mengitari gubuk untuk menuju pemakaman Fred dan Elena. Tidak ada air mata yang mengalir di pipinya tapi Agatha merasakan kesedihan yang luar biasa. Agatha sengaja mendudukkan dirinya di antara dua makam agar ia bisa mengelus dua nisan sekaligus.
“Cinta kalian sepertinya sangat kuat, bahkan kalian meninggal di hari yang sama. Aku menyadari jika cinta sampai mati itu ada. Karena kalian adalah contohnya.”
Agatha tersenyum getir sambil mengelus tumpukan tanah yang mengubur Fred dan Elena. Ingatannya tertuju pada Jonathan yang terpaksa meninggalkannya pagi tadi karena harus pergi bekerja. Jika diberi satu kesempatan untuk memilih takdir maka Agatha akan meminta pada Tuhan agar ia ditakdirkan untuk menjadi istri Jonathan. Dan Agatha yakin jika mereka akan hidup bahagia selamanya, layaknya Fred dan Elena.
“Aku harap, aku dan Jonathan akan seperti kalian. Menjalani hidup bersama dan mati di hari yang sama. Aku tidak mau jika nyawaku diambil lebih dulu maka nanti John bisa saja jatuh cinta lagi pada wanita lain. Aku tidak akan bisa tenang di akhirat jika itu terjadi,” ujar Agatha. Ia menganggap jika Fred dan Elena bisa mendengarkannya.
“Dad, kau bilang padaku jika aku harus menerima setiap pemberian Jonathan bukan? Sekarang aku menerimanya, bahkan sekarang dia yang memberiku makan setiap hari. Dia juga bilang akan membantuku membayar biaya kuliah.”
Agatha menerawang jauh, membayangkan Jonathan yang sedang bekerja banting tulang untuknya. Lalu matanya beralih menatap nisan yang bertuliskan nama Elena. “Tapi aku akan tetap mencari pekerjaan, aku tidak ingin terus menjadi beban hidup bagi Jonathan meski ia berkata bahwa dia tidak keberatan.”
Tak disadari, ada seseorang yang menatap sedih punggung Agatha. Seseorang tersebut adalah Obie. Ia memang belum pulang dari gubuk Agatha karena ia hanya bekerja menjadi tukang parkir di restoran dari sore sampai malam. Ketika bangun tidur tadi, Obie mencari keberadaan Agatha yang ternyata ada di pemakaman kedua orang tua angkatnya.
Setiap kalimat yang Agatha ucapkan didengar oleh Obie. Dan hal tersebut membuat Obie merasa kasihan, apalagi mengenai kalimat Agatha tentang Jonathan.
Agatha yang tidak tahu jika Obie berada di belakangnya kembali berkata, “Bukankah aku sangat beruntung karena memiliki kekasih seperti Jonathan? John sangat menyayangiku, aku yakin suatu saat nanti kami akan menikah. Aku tahu, kalian pasti akan merestui hubungan kami. Mom, Dad, kalian tidak perlu khawatir akan hidupku. Selama aku bersama John maka aku akan baik-baik saja dan hidup bahagia.”
Kalimat yang terucap dari bibir Agatha benar-benar membuat Obie tidak tahan untuk berada di sana lebih lama. Ketika ia berbalik dan hendak pergi, Agatha justru menoleh dan memergokinya hingga Obie kembali terdiam. Ia mencoba memasang senyum andalannya agar Agatha tidak menangkap kejanggalan dalam mimik wajahnya.
“Obie, sejak kapan kau berada di sana?”
Obie bergeming, tidak ingin mengatakan jika dirinya berada di sana sejak lama dan mendengar semua ucapan Agatha. “Baru saja, tapi aku lihat kau sedang berdoa jadi aku akan menunggumu di dalam.”
Agatha membuat dirinya berdiri, ia tersenyum seraya menghampiri teman yang tidak diakui oleh Jonathan tersebut. “Aku sudah selesai, apa kau mencariku untuk sarapan? Sayang sekali Obie, aku tidak punya makanan. Opie sudah menghabiskan ikan yang kau bawa semalam.”
Obie meringis mendengar hal tersebut. Opie, kucing yang ia temukan di jalan raya itu memang terlihat sangat kelaparan semalam. Sepertinya mulai sekarang Obie harus menyiapkan makanan agar kucing itu dapat terlihat sedikit lebih gemuk.
“Maafkan aku, kucing itu sepertinya tidak mendapat makan selama beberapa hari. Kau tahu sendiri bukan jika manusia zaman sekarang banyak yang tidak mau berbagi kepada hewan liar sepertinya.”
“Kenapa kau meminta maaf? Itu bukan salahmu. Lagi pula ikan yang dimakan oleh Opie juga kau yang membelinya,” ujar Agatha.
“Sebenarnya aku ingin mengajakmu sarapan di luar, bukan di tempat mewah. Kita bisa membeli makanan di pinggir jalan. Apa kau keberatan?”
Agatha tertawa menanggapi Obie yang takut jika dirinya akan merasa keberatan jika diajak makan di pinggir jalan. Sepertinya Obie lupa jika Agatha bukanlah seseorang yang dibesarkan dalam keadaan gelimang harta.
“Keberatan? Tentu saja tidak! Kau akan mentraktir bukan?”
Obie langsung berseru, “Tentu saja!”
Mereka saling melempar senyum sebelum melangkahkan kaki. Tapi ketika melewati bagian depan gubuk keduanya berhenti. Mereka teringat pada satu sosok yang hampir mereka tinggalkan sendirian. Obie dan Agatha saling menatap satu sama lain sebelum keduanya berteriak menyebutkan nama yang sama. “Opie!”
***
Beratnya beban yang dipikul di atas pundaknya tak membuat Jonathan mengeluarkan satu kata keluhan. Di toko elektronik tempatnya bekerja, Jonathan kebagian tugas untuk memindahkan barang-barang yang baru datang ke dalam toko. Sejak tadi tubuhnya terus bolak-balik sambil membawa satu atau dua barang elektronik sekaligus.
Jonathan menghela napas lega ketika ia menurunkan kardus berisi televisi dari bahunya. Ini adalah barang terakhir yang diangkutnya. Sekarang Jonathan hanya tinggal menyusun dan merapikan barang-barang tersebut di dalam toko. Ia tidak sendirian, Bobby akan membantunya kali ini.
Pagi-pagi seperti ini belum banyak yang mendatangi toko. Biasanya akan mulai ramai ketika hari menjelang siang. Mengingat jika barang elektronik bukanlah kebutuhan pokok sehari-hari, maka kebanyakan dari pengunjung yang datang bukan untuk membeli melainkan untuk memperbaiki barang elektronik mereka yang rusak.
Dalam hal memperbaiki, maka Jonathan adalah ahlinya. Ia belajar membongkar dan memperbaiki barang-barang elektronik secara autodidak. Tidak ada orang yang secara khusus mengajarinya.
“Kita susun televisi di sebelah sana, sedangkan sound system di sini saja,” usul Jonathan. Ia memutar tubuh bagian atasnya ke kiri dan ke kanan guna melakukan peregangan. Otot-ototnya terasa kaku pagi ini.
Bobby tidak membantah, ia langsung mengambil satu televisi dan memindahkannya dengan mudah tanpa bantuan siapa pun. Bobby memiliki badan yang lebih tinggi dan besar daripada Jonathan. Ia sempat menjadi pria bertubuh gempal beberapa tahun yang lalu. Namun berkat olahraga dan pola hidup yang sehat, Bobby kini berhasil mendapatkan tubuh ideal.
“Bagaimana kalau kita tukar posisi sound dan mesin cuci? Sepertinya akan lebih tertata jika kita melakukannya.” Jonathan kembali mengeluarkan pendapatnya. Namun, ucapannya kali ini membuat Bobby berdecak malas.
“Kau memang benar, akan lebih tertata jika kita menukarnya. Tapi kita harus kembali bersusah payah untuk melakukannya! Sudahlah begini saja, gaji kita tidak naik meski kita menyusun barang-barang ini seribu kali.”
Dengusan kasar terdengar, bagi Jonathan totalitas dalam pekerjaan itu perlu. Meski tidak akan mempengaruhi jumlah gaji yang akan mereka terima. Karena kinerja baik kita juga akan menjadi tolak ukur ke depannya. Perihal pekerjaan terkadang bukan hanya soal berapa gaji yang didapat, tapi mengenai berapa lama peluang bekerja.
Bagi Jonathan percuma jika ia mendapatkan gaji besar namun ia hanya diperkerjakan dalam waktu singkat. Lebih baik bekerja dengan gaji yang umum namun terus berkelanjutan dalam waktu yang lama.
Jika Bobby tidak ingin membantu maka Jonathan juga tidak ingin melakukannya. Jika ia memindahkan sound dan mesin cuci sendirian maka ia pastikan tubuhnya akan terasa remuk. Berbeda dengan mesin cuci yang bisa didorong, sound system harus dipindahkan dengan cara diangkat. Berat dan jumlahnya yang banyak cukup untuk membuat Jonathan mengurungkan usulannya.
“John!”
“Ya?” sahut Jonathan. Ia menyimpan kembali televisi yang akan diangkatnya guna menjawab panggilan Bobby yang sedikit lebih keras dari biasanya.
“Lihatlah ke pintu masuk, bukankah itu wanita yang menemuimu waktu itu? Mungkin ia datang untuk bertemu denganmu lagi.”
Kepala Jonathan langsung menoleh dengan cepat. Dan benar, di ambang pintu masuk toko ada wanita cantik yang telah menatapnya dengan senyuman sendu. Jonathan meninggalkan Bobby, beruntung wanita itu datang ke tempatnya bekerja. Karena ada sesuatu yang harus Jonathan bicarakan dengan wanita itu, yakni Emily Rose.