Juwita berdiri di depan gerbang rumah megah yang dihiasi taman kecil di sisi kanan dan kiri. Rumah itu tampak sempurna dengan cat putih bersih dan ornamen modern minimalis. Namun, keindahan itu tak mampu menghapus rasa sesak di dadanya. Ia menatap rumah itu dengan pandangan kosong, mencoba menahan air mata yang siap tumpah.
"Ini rumah Nathan dan Asti," pikirnya lirih.
Dulu, ia bermimpi akan tinggal bersama Nathan di sebuah rumah yang indah, membangun keluarga kecil yang bahagia. Tapi takdir berkata lain. Nathan, lelaki yang pernah menjadi seluruh dunianya, kini adalah suami Asti, adik kandungnya.
Juwita menggigit bibir bawahnya, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang tak seharusnya. Ia tidak boleh lagi membayangkan dirinya sebagai istri Nathan. Itu hanya akan menambah luka di hatinya.
Suara pintu yang terbuka membuyarkan lamunannya. Asti muncul dari balik pintu, mengenakan pakaian rumah yang kasual tetapi tetap modis. Tatapannya langsung menusuk ke arah Juwita. Asti memang sudah lebih dulu sampai di rumah ini dan tanpa satu mobil dengan Juwita. Tidak sudi satu mobil dengan Juwita.
"Kenapa berdiri di situ saja? Cepat bawa barang-barangnya ke dalam," kata Asti dengan nada ketus, tangannya menunjuk pada koper dan kardus-kardus yang Juwita bawa.
Juwita tersenyum tipis, mencoba menahan rasa sakit yang kembali muncul. "Iya, Asti," jawabnya lembut.
Nathan tiba-tiba muncul dari dalam rumah, wajahnya langsung mengerut melihat tumpukan barang yang harus dibawa Juwita. "Juwita nggak bisa bawa semuanya sendiri," katanya tegas.
Asti menoleh ke arah Nathan, matanya menyipit sinis. "Dia bisa, Nathan. Lagipula, Mama yang menyuruh dia bekerja di sini sampai kita menemukan pelayan baru. Juwita sudah biasa kerja keras, kan?"
Nathan tidak suka mendengar nada bicara Asti, tapi ia tidak ingin memperpanjang masalah di depan Juwita. Ia menatap Juwita, matanya penuh rasa iba. "Kalau berat, biar aku yang bawa."
Juwita buru-buru menggeleng dan tersenyum. "Nggak apa-apa, Nathan. Aku bisa kok."
Nathan masih ragu, tapi ia mengangguk pelan. "Kalau gitu, hati-hati, ya."
Juwita mulai mengangkat koper dan kardus satu per satu. Beban fisiknya terasa ringan dibandingkan beban emosional yang ia rasakan. Ia tahu, bekerja di rumah Nathan dan Asti akan menjadi ujian terbesar dalam hidupnya, tapi ia tidak punya pilihan lain. Setelah ayah mereka meninggal, keluarga Juwita mengalami kesulitan keuangan. Ibunya memintanya membantu sementara di rumah Asti.
Di dalam rumah, Juwita melihat Nathan dan Asti bercakap-cakap di ruang tamu. Nathan terlihat sabar menanggapi ucapan Asti yang terdengar tajam dan penuh keluhan. Meski begitu, Nathan tetap menunjukkan sikap lembut, sesuatu yang membuat Juwita semakin teringat alasan mengapa dulu ia mencintai lelaki itu.
“CEPAT! KAYAK SIPUT BANGET SIH! PAKAI USAP-USAP KERINGAT!” Bentak Asti dengan nada kasarnya melihat Juwita yang begitu lelet.
Juwita hanya tersenyum kecil mendengar ucapan Asti, meski hatinya terasa seperti ditusuk. Ia tahu, membalas hanya akan memperburuk keadaan. Dengan sabar, ia mulai menyusun barang-barang itu sesuai permintaan Asti. Tangannya bergerak cepat, merapikan setiap kardus dan koper di sudut ruangan, memastikan tidak ada yang berantakan.
Asti duduk di sofa, memerhatikannya dengan tangan terlipat di d**a. "Cepat, jangan lambat seperti siput," katanya dengan nada mengejek kembali.
Juwita tetap tidak merespons. Ia melanjutkan pekerjaannya, berusaha mengabaikan sindiran itu. Dalam hatinya, ia hanya berdoa agar kesabarannya tidak habis.
Saat Juwita sedang membungkuk untuk mengambil koper terakhir, Nathan masuk ke ruang tamu. Ia melihat Juwita yang berkeringat, sementara Asti duduk santai di sofa. Wajahnya langsung mengeras.
"Asti, kamu nggak seharusnya memperlakukan Juwita seperti ini," kata Nathan dengan nada tegas.
Asti menoleh ke arah Nathan, memasang ekspresi tidak peduli. "Dia cuma bantu-bantu di sini, Nathan. Lagipula, ini pekerjaan yang sederhana."
"Tapi dia kakakmu," Nathan menekankan. "Kamu nggak bisa memperlakukannya seperti pembantu."
Asti mendengus dan memutar bola matanya. "Nathan, kamu terlalu lembut. Kalau Juwita nggak mau kerja, dia nggak perlu ada di sini."
Juwita yang mendengar percakapan itu berdiri tegak, memaksa senyum meski hatinya terasa hancur. "Nggak apa-apa, Nathan. Aku di sini untuk membantu, bukan untuk bikin masalah."
Nathan menatap Juwita dengan ekspresi penuh rasa bersalah, tapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Ia tahu, Juwita tidak ingin memperkeruh situasi.
**
Malam itu, setelah semua pekerjaan selesai, Juwita duduk di kamarnya yang kecil. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Namun, suara Asti dan Nathan yang bertengkar dari lantai bawah menarik perhatiannya.
"Apa yang sebenarnya kamu mau, Asti? Kenapa kamu terus-terusan memperlakukan Juwita seperti itu?" suara Nathan terdengar jelas.
"Karena aku tahu kamu masih mencintainya!" balas Asti dengan nada tinggi.
Nathan terdiam sesaat sebelum menjawab, "Aku menikah denganmu, Asti. Bukankah itu cukup membuktikan bahwa aku memilihmu?"
Asti tertawa sinis. "Kamu memilihku karena kita dijodohkan, Nathan. Kamu pikir aku nggak tahu? Kamu merasa bersalah meninggalkan dia, dan menikahiku hanya untuk menerima perjodohan dan tidak mau hidupmu kacau!"
Nathan menghela nafasnya lalu dia menggenggam tangan Asti.
“Asti, aku bukan hanya menerima perjodohan ini dengan terpaksa. Tapi aku juga suka padamu. Kau harus percaya kalau aku suka padamu sayang. Aku juga sudah mulai mencintaimu.” Ucap Nathan.
Juwita mendengar apa yang dikatakan oleh Nathan menatap sendu dan menatap ke bawah dengan berusaha menahan tangisannya.
Asti tersenyum penuh senang. “Kamu dengar itu Juwita. Kalau Mas Nathan ini sudah cinta sama aku. Dia sudah tidak cinta sama kamu lagi. Jadi, kamu jangan coba-coba untuk menggoda suamiku. Kamu itu wanita penggoda.”
Tanpa Asti sadari mata Nathan berkilat penuh amarah mendengar ucapan Asti pada Juwita. Dia tidak suka dengan apa yang dikatakan oleh Asti pada Juwita.
Juwita bukan w*************a.
“Aku mau lanjut menyusun ini.” Kata Juwita berjalan menjauh dan mulai menyusun barang-barang dari Asti. Dibanding mendengar apa yang dikatakan oleh Asti yang ada membuatnya semakin sakit hati.
Lama-lama Juwita benar-benar merebut Nathan dan menerima tawaran Nathan untuk berselingkuh. Karena dia begitu sakit hati dengan segala ucapan Asti padanya. Dan terus menerus menuduh dirinya penggoda.
Jadi … lebih baik menjadi penggoda sungguhan saja bukan?
Dan Juwita mewujudkan apa yang dikatakan oleh Asti padanya.