Perselingkuhan Dimulai

909 Kata
Meja makan di ruang tengah rumah itu berkilauan, diterangi lampu gantung yang memancarkan sinar lembut ke seluruh ruangan. Aroma semur daging, sup ayam, dan sayur lodeh memenuhi udara, membawa kehangatan yang seharusnya menjadi inti dari sebuah makan malam keluarga. Namun, bagi Juwita, suasana itu tidak memberikan rasa damai. Sebaliknya, hatinya terasa sesak. Ia berdiri di dapur, memastikan semua makanan telah tersaji sempurna di atas meja. Setiap piring yang ia letakkan seperti mengukuhkan peran yang ia jalani di rumah ini: seorang pembantu untuk adik kandungnya sendiri, Asti. *** Asti turun dari lantai atas, mengenakan gaun tidur sutra yang tampak mahal. Langkah kakinya terdengar ringan, tetapi tatapan matanya penuh dengan penghinaan. Ia berhenti sejenak di depan meja makan, matanya memindai makanan yang tersaji dengan pandangan sinis. “Hmm... akhirnya selesai juga,” katanya dengan nada mengejek, sambil menyeringai pada Juwita. “Kamu memang pantas jadi pembantu di rumah ini.” Ucapan itu menusuk hati Juwita seperti belati. Namun, ia tak menunjukkan perasaan apa pun di wajahnya. Dengan napas yang berat, ia menunduk dan berkata pelan, “Silakan makan, Asti. Semoga kau suka.” Asti tertawa kecil, lalu duduk di kursinya. Ia mengambil garpu dan mulai memeriksa makanannya seolah-olah mencari kesalahan. “Nathan, ayo makan,” panggil Asti kepada suaminya yang sedang duduk di ruang tamu. Nathan, mantan kekasihnya itu terlihat sangat tampan sekali. Membuat Juwita merasa mencintai Nathan setiap saatnya. Mata Juwita tidak lepas dari Nathan, ahh.., seandainya dia yang menikah dengan Nathan. Nathan mengambil tempat duduknya, tetapi ia tak langsung makan. Ia memandang Juwita yang masih berdiri di dekat meja, dengan wajah yang menunjukkan kelelahan sekaligus kesabaran yang luar biasa. “Asti, jangan bicara seperti itu kepada Juwita,” katanya dengan suara tegas. Asti mendongak, tampak terkejut mendengar teguran itu. “Kenapa? Aku cuma bilang yang sebenarnya. Dia memang pantas jadi pembantu, kan?” “Tidak ada yang pantas diperlakukan seperti itu, apalagi kakakmu sendiri,” jawab Nathan, matanya tajam menatap istrinya. Asti mendengus, lalu melipat tangannya di d**a. “Nathan, kamu selalu saja membelanya. Padahal dia yang seharusnya tahu diri. Kalau bukan karena aku, dia pasti sudah tinggal di jalanan sekarang. Karena dia memang pantas untuk tinggal di jalanan. Karena dia anak yang tidak diinginkan oleh Mama dan Papa. Anak pembawa sial!” Juwita yang mendengar percakapan itu mencoba menenangkan dirinya. Ia menarik napas panjang, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Ia tahu, membalas ucapan Asti hanya akan memperburuk keadaan. “Tidak apa-apa, Nathan,” kata Juwita akhirnya. “Asti benar. Aku seharusnya bersyukur masih punya tempat tinggal dan Mama masih mau menerimaku, walau sekarang jadi pembantu di rumah kalian.” Nathan menggelengkan kepalanya, merasa kesal dengan sikap pasrah Juwita. “Juwita, ini bukan soal tempat tinggal. Kamu kakaknya. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti ini.” Asti tertawa sinis mendengar ucapan itu. “Kakak? Kakak macam apa yang hanya membawa masalah? Kalau dia kakak yang baik, seharusnya dia bisa mandiri dan tidak merepotkan aku.” Ucapan itu membuat Juwita merasa semakin kecil. Namun, ia tetap diam. Baginya, tidak ada gunanya memperdebatkan sesuatu dengan Asti. *** Setelah makan malam selesai, Juwita membersihkan meja dan mencuci piring di dapur. Nathan membantu membereskan gelas-gelas yang masih tersisa di meja, meskipun Asti berkali-kali menyuruhnya untuk tidak usah repot. “Kamu tidak perlu bantu-bantu seperti itu, Nathan,” kata Asti sambil bersandar di kursi. “Kan sudah ada Juwita.” Nathan hanya mengabaikan ucapan itu. Ia berjalan ke dapur dan melihat Juwita yang sedang mencuci piring. Ia berdiri di sampingnya, membawa gelas-gelas kotor yang ia kumpulkan. “Juwita, kamu tidak perlu menahan semuanya sendiri,” katanya pelan. Juwita berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah Nathan. “Aku tidak apa-apa, Nathan. Aku sudah terbiasa.” “Bukan berarti kamu harus terus membiarkan Asti memperlakukanmu seperti itu,” jawab Nathan. “Kamu berhak dihormati, Juwita. Kamu kakaknya.” Juwita tersenyum tipis, meskipun hatinya masih terasa berat. “Nathan, aku hanya ingin menjaga kedamaian di rumah ini. Kalau aku melawan, itu hanya akan membuat semuanya lebih buruk.” Nathan menghela napas. Ia ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi ia tahu Juwita terlalu keras kepala dalam hal ini. Akhirnya, ia hanya berkata, “Kalau kamu butuh apa pun, Juwita, jangan ragu untuk bilang padaku. Dan aku tidak suka dengan Asti yang memperlakukan kamu dengan kasar.” “Terima kasih, Nathan,” jawab Juwita lirih. *** Malam itu, setelah semua pekerjaan selesai, Juwita duduk di kamarnya yang kecil di lantai bawah. Kamar itu dulunya adalah gudang, tetapi sekarang menjadi tempat tinggalnya. Meski sempit dan dingin, Juwita berusaha bersyukur. Ia merenung, mengingat masa-masa ketika orang tua mereka masih hidup. Dulu, mereka sering makan malam bersama, tertawa dan bercerita tentang hari-hari mereka. Tapi sekarang, semua itu hanya tinggal kenangan. Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk. Juwita bangkit dan membuka pintu. Di sana berdiri Nathan, membawa segelas teh hangat. “Untukmu,” katanya sambil tersenyum. Juwita menerima teh itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Nathan. Kamu terlalu baik.” “Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan, dan aku masih mencintaimu Juwita. Kau segalanya untukku.” jawab Nathan. Nathan berdiri sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu. Akhirnya, ia berkata, “Juwita, aku harap kita bisa menjalin hubungan. Aku tidak bisa melepaskan kamu Juwita. Kamu segalanya. Kamu pemilik hatiku.” Kata-kata itu membuat hati Juwita bergetar. Ia hanya bisa tersenyum dan mengangguk, “aku juga masih sangat mencintai kamu Nathan. Aku mau untuk berselingkuh di belakang Asti bersama kamu.” Nathan mendengar ucapan Juwita melebarkan senyumannya dan merasa senang. “Terima kasih sayang”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN