Beberapa minggu berlalu. Hari-hari dilalui dengan kebahagiaan dan berusaha melupakan pahitnya pertengkaran di masa lalu. Baik Nawa maupun Brama lebih berhati-hati dalam menjalani hari, berharap terhindar dari masa kelabu. Sampai pada akhirnya, Nawa mengungkapkan apa yang menjadi keinginannya. “Sir, ayo kita pijat perut biar sehat dan aku segera hamil.” “Apa!” Nawa mengulangi dengan takut. “Nggak usah neko-neko! Apalagi sampai pijat perut. No! Aku melarang kamu melakukan itu!” “Tapi, Sir–“ “Sudah berapa kali aku ngomong, anak itu bukan prioritas penting! Jadi jangan menyusahkan diri sendiri atau nyari penyakit! Kamu pikir nggak bahaya? Kalau sakit, siapa yang susah? Aku, kamu juga!” Nawa menunduk, cemberut. Brama mengembuskan napas panjang. “Nawa, sudah ratusan kali aku bilang, jan

