Bab 9. Bermain Api

1163 Kata
“Dari mana kok baru pulang, Neng?” Bi Lastri menyambut Elaina yang baru tiba di rumah setelah makan malam. “Dari rumah temen, Bi.” Ella tersenyum tipis. “Alaric ada di rumah?” “Mas Al baru aja keluar. Katanya ada urusan penting di kantor.” Ella menghela nafas lega. Setidaknya ia tak harus bertemu Alaric sekarang. “Neng Ella udah makan? Kalau belum Bibi bisa panasin makanannya.” Ella menggeleng. Ia sudah makan dengan Alya tadi. “Nggak usah, Bi. Saya mau langsung tidur aja. Mama sama Papa masih di rumah kan?” “Masih. Tuan sama Nyonya mau ke Singapura besok, Rachel mau pengobatan lagi.” “Oh, gitu? Besok berangkat jam berapa?” “Pagi banget, jam enam udah berangkat ke bandara.” Ella mengangguk-angguk paham, ia harus bangun lebih pagi dari itu untuk melepas kepergian mertua dan adik iparnya. Karena orang tua Alaric masih ada di rumah, mau tak mau Ella harus tidur di kamar Alaric. Ia juga mandi dan berganti pakaian di kamar Alaric yang kosong. Ternyata, tanpa kehadiran si pemilik kamar, kamar besar ini terasa dingin dan sepi. “Ah, bodo amat,” gumam Ella menyingkirkan perasaan sepi yang merayapi dadanya. Ia masuk ke bawah selimut dan memejamkan mata. Namun ia tak bisa tidur karena terus membayangkan reaksi Alaric saat mendapati dirinya tiba-tiba sudah ada di rumah. Ella bangkit dan duduk di atas kasur. “Gimana kalau dia marah lalu benar-benar menyiksaku?” gumamnya gelisah. “Duh, bakal diapain kira-kira?” Ella masih terus memikirkan kemungkinan terburuk apa yang akan dilakukan Alaric, sampai tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Alaric masuk dengan langkah lebar. Tatapan mereka sempat bertemu, dan Ella terkejut bukan main melihat darah segar di sudut bibir Alaric serta memar kebiruan di tulang pipinya. Tapi selain dari itu, semuanya baik-baik saja. Jantung Ella berdebar kencang, kekhawatiran memenuhi dadanya. Namun ternyata percuma saja ia gelisah sejak tadi, Alaric mengabaikannya dan masuk ke kamar mandi dengan membanting pintu. Meninggalkan Ella tertegun di atas kasur seorang diri. “Tungguin dulu deh,” putus Ella setelah menimbang beberapa saat. “Daripada tiba-tiba dipukulin waktu tidur.” Ia bergidik ngeri membayangkan hal dramatis itu. Ella duduk bersandar ke headboard kasur. Ia terkantuk-kantuk saat pintu kamar mandi akhirnya terbuka. Alaric keluar hanya mengenakan handuk yang melilit pinggangnya. Dan Ella harus memalingkan wajah agar tidak tergoda mengagumi tubuh atas Alaric yang indah. Alaric tidak punya perut six pack ala binaragawan. Tapi otot perut, d**a, dan bisepnya benar-benar menawan. Pria itu jelas melakukan sesuatu dengan otot di tubuhnya. Canggung, tegang, dan kegelisahan menggantung di langit-langit karena tak ada satu pun dari mereka yang bicara. Ella tak tahan, maka ia membuka mulut lebih dulu. “Kamu dari mana?” Seolah tak mendengar pertanyaan Ella, Alaric terus berjalan menuju walk in closet dan menghilang di balik pintu geser yang memisahkan area itu dengan kamar tidur. Namun beberapa menit kemudian, ia sudah kembali ke kamar tidur mengenakan satu set piyama berwarna biru tua. Tanpa memedulikan keberadaan Ella, Alaric berbaring memunggungi Ella dan memejamkan mata. “Kamu belum jawab pertanyaanku,” ucap Ella menahan kesal. Bagaimana bisa Alaric mengabaikannya begitu saja? “Tidur,” tukas Alaric dingin. Ella menggeram kesal mendapati sikap dingin sang suami. Tapi bukankah itu lebih baik daripada Alaric mengamuk karena ia kabur dan mengunci Alaric di ruang tunggu kantor penerbit tadi? Maka Ella menghela nafas pelan dan ikut berbaring memunggungi Alaric. Ia memejamkan mata, tapi tak bisa tidur sama sekali. Punggungnya terasa panas seolah radiasi dari panas tubuh Alaric membakar punggungnya. Setelah entah berapa lama, Ella akhirnya berhasil tertidur. *** Ella pikir, Alaric tidak akan menghukumnya atas apa yang ia lakukan pada Alaric di kantor penerbit kemarin. Karena pagi ini pun, ia bangun saat Alaric sudah berpakain rapi. “Minum tehmu,” ucap Alaric tanpa menoleh. Ia sedang menyisir rambutnya di depan cermin. Ella melirik nakas dan mendapati segelas teh di atas sana. “Teh apa itu?” “Thyme.” Alaric menjawab pendek. “Kenapa kamu selalu bikinin aku teh thyme?” Ella duduk di tepi ranjang dan mengambil gelas. Hangat. “Bukan aku, Bi Lastri yang bikin.” Alaric meletakkan sisir dan berjalan menuju pintu. “Cepat siap-siap, papa mamaku berangkat ke Singapura pagi ini.” “Oh iya!” Ella menepuk jidatnya pelan, kemudian ia segera meneguk teh thyme itu. Kerongkongannya langsung terasa hangat, begitu juga lambungnya. Setelah meneguk tehnya sampai habis, Ella segera mencuci muka dan berganti pakaian, menyusul Alaric yang sudah lebih dulu keluar. “Rachel cepet sembuh ya, biar bisa lebih lama di rumah,” ucap Ella tulus sambil memeluk Rachel. “Makasih, Kak. Iya, aku semangat sembuh kok.” Rachel tersenyum manis, tapi wajahnya terlihat pucat. “Maaf ya Mama tinggal lagi.” Mia memeluk Ella hangat. “Nggak apa-apa, Ma. Kesehatan Rachel lebih penting.” Mereka berbasa-basi sejenak sebelum akhirnya kedua orang tua Alaric dan Rachel masuk ke mobil dan berangkat menuju bandara. Mereka bahkan tidak sarapan di rumah karena mengejar jadwal pesawat paling pagi. Apakah pagi ini berakhir dengan damai? Tentu tidak. Ella masuk ke kamarnya dengan niat melanjutkan draft ilustrasi yang sedang ia buat. Namun apa yang ia lihat di dalam sana, membuat jantungnya nyaris jatuh. Meja kerja Ella berantakan. Laptop dan tablet grafis yang biasa ia gunakan untuk menggambar hancur berantakan di lantai. Seperti ada orang yang sengaja menghancurkannya. Tubuh Ella bergetar hebat. Air matanya nyaris tumpah, tapi ia tahan sekuat tenaga. Ia tahu siapa pelakunya. Ella berbalik dan bergegas keluar kamar. Dan seolah menunggu Ella keluar, Alaric sudah berdiri menjulang di depan pintu kamar Ella dengan wajah menggelap. “Itu yang terjadi kalau kamu tidak menurut padaku, Ella,” desisnya tajam. Ella mengetatkan rahangnya. Persetan soal bersikap tenang dan anggun, ia sangat marah sekarang. Maka tanpa banyak bicara, Ella mengangkat tangannya, mendaratkannya ke pipi Alaric sekeras yang ia bisa. Kepala Alaric terbanting ke samping, pria itu memegangi pipinya yang memanas, tapi tak bicara sepatah kata pun. “b******k!” Ella berseru marah. Dadanya bergemuruh, darahnya mendidih. “Kamu tahu apa yang kamu lakukan, Al? Di dalam sana ada karya yang sudah aku kerjakan berbulan-bulan!” “Aku tidak peduli.” Alaric memangkas jarak, membuat Ella mundur dan kembali masuk ke dalam kamar. “Kamu mengunciku, kabur dariku, dan barusan kamu menamparku. Harusnya kamu bersyukur aku hanya menghancurkan barangmu, bukan tubuhmu.” Ella sudah membuka mulutnya untuk melawan ucapan Alaric. Namun jari telunjuk Alaric yang menempel di bibirnya, segera membungkam semua kalimat yang hendak Ella ucapkan. “Aku akan pergi ke Bali hari ini sampai seminggu ke depan. Bersikaplah layaknya istri penurut, karena kalau tidak, aku tidak bisa menjamin ke depannya hanya barangmu yang hancur.” Tanpa menunggu reaksi Elaina, Alaric berlalu dari sana sambil mengusap pipinya yang masih terasa panas. Kini bukan hanya darah Ella yang mendidih, tapi ubun-ubunnya sudah terasa berasap saking besarnya kobaran amarah di dadanya. “Kamu pikir aku bakal nurut?” desisnya pada pintu yang tertutup. “Jangan mimpi!” Sebuah ide nekat dan berbahaya sudah berputar-putar di kepalanya. Ella benar-benar sedang bermain api dengan Alaric.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN