Alaric berhasil keluar dari kerumunan dan gedung UGD, nafasnya memburu, matanya liar mencari keberadaan Ella. “Elaina!” Suaranya melengking, dibawa pergi oleh angin malam, tapi tak pernah sampai pada si pemilik nama. “Ella!” Alaric berlari mencari ke sana kemari. Ke sudut-sudut rumah sakit, ke parkiran, hingga ke trotoar. “Elaina! Kembali ke sini!” Ia berteriak sekali lagi, membuat orang-orang yang mendengar teriakannya menoleh bingung. Namun Ella tak pernah terlihat. Bahkan kelebat bayangannya saja tak pernah tertangkap oleh sudut mata Alaric. Pria itu berdiri mematung di sana, menutup mulutnya dengan tangan sambil terus menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru. Jantungnya berdebar tak karuan, entah karena berlari atau karena takut akan kehilangan Ella. “Ella, kembalilah …,” lirih