7

1773 Kata
Aidan segera menyenggol keras lengan kawannya. Membuat laki-laki itu tergeragap. “Maaf.” Ucapnya seraya menunduk. Kemudian melanjutkan makan. “Dia ini salah satu penggemarmu, Ra.” Aidan yang bicara. “Eh? Penggemar?” Tanya Nera bingung. “Iya. Dia follower kamu di i********:. Bahkan, barusan aja dia masih ngomongin kamu.” Aidan sesekali melirik kawannya yang sekarang jadi salah tingkah. “Hm? Ngomongin apa?” Mau tak mau Nera penasaran dengan obrolan mereka saat dirinya tak ada. “Barusan kamu upload foto, ‘kan? Nah, itulah yang dia omongin. Katanya, kamu pandai mengambil gambar.” Plak! Karena kalimatnya barusan, ia menerima pukulan telak di lengan atasnya. Membuatnya mengaduh kesakitan. “Oh itu…” Nera menanggapinya dengan datar. Sebenarnya, ia tak tahu bagaimana harus menanggapi hal itu. Senang karena dipuji pandai mengambil gambar, atau marah karena ada orang yang membicarakan dirinya saat tak ada. Ia tak tahu, karena itu ia lebih memilih berekspresi datar. “Oh ya, kenapa tadi nggak mau diajak makan?” Aidan teringat dengan ajakannya yang ditolak oleh Nera tadi. “Padahal sekarang kamu malah ke sini cari makan.” “Ah itu… Tadinya memang mau makan di rumah aja. Tapi Izza ngajakin ke sini. Sepertinya menarik, jadi ikut aja.” Aidan mengangguk-angguk. “Makasih, ya, Za udah ngajak Nera ke sini. ‘Kan jadi bisa ketemu.” Ia bicara sambil tersenyum. “Kak Aidan suka sama Nera, ya?” Tanya Izza tanpa basa-basi. Bahkan ia menembak tepat di sasaran. “Hahaha…” Namun, Aidan justru tergelak. Di sebelah Izza, Nera mendengus pelan. Ia malas sekali dengan pembicaraan seperti ini. Jika benar Aidan menyukai dirinya, maka ujung-ujungnya pasti rasa sukanya hanya karena parasnya yang di atas rata-rata. Bukan karena otaknya yang cukup encer, kepribadiannya yang mungkin saja menarik, atau kelebihannya yang lain. “Jangan aneh-aneh, deh, Za.” Tegurnya. Ia sudah memasang muka tak suka sejak tadi. “Tapi… sepertinya ucapanmu ada benarnya, Za.” Deg! Nera sontak mendongak. Menatap kedua bola mata Aidan yang kini sudah lurus menatap dirinya. Tak ada bayangan apapun di sana, hanya pantulan dirinya yang tercermin di kedua bola mata jernih milik Aidan. “Wah! Jadi ceritanya Kak Aidan nembak Nera, nih, sekarang?” Izza jadi kegirangan sendiri. Senyumnya merekah, memamerkan barisan giginya yang putih dengan satu gigi gingsul yang manis. Matanya melirik Nera dan Aidan bergantian. “Apaan, sih, Za!” Nera mendengus kesal. Ia sibuk sekali, antara mengatur ekspresi wajahnya atau menenangkan jantungnya yang mendadak berdetak kencang. “Hei, hei, hei! Apa-apaan kau, Dan? Ada aku di sini!” Tiba-tiba, Sabil bersuara. Padahal sejak tadi ia hanya makan dan menonton tiga orang itu bicara. “Hahaha…” Aidan lagi-lagi tergelak. “Permisi…” Seorang laki-laki muda menghampiri meja mereka. Membawa sebuah nampan berisi dua piring nasi, dan dua buah cobek berisi lauk, sayur lalapan, dan sambal. “Ini pesanannya, Mbak.” Ucapnya sembari memindahkan isi nampan ke atas meja. “Makasih, Mas.” Ucap Nera dan Izza berbarengan. Dalam hati, Nera bersyukur mas-mas itu datang tepat waktu. Sebelum pembicaraan mereka semakin melebar dan ia semakin sulit mengatur ekspresi dan detak jantungnya. Entah sudah berapa kali ia didekati secara aktif oleh laki-laki. Namun, entah kenapa, pendekatan yang dilakukan Aidan sedikit berbeda. Terasa lebih halus dan tidak memaksa, sehingga mampu menggetarkan pagar pertahanan di depan pintu hatinya. Seperti dikomando, empat orang itu segera tenggelam dalam makan malam mereka masing-masing. Tak ada lagi yang melanjutkan obrolan mereka tadi. Semuanya sibuk mengunyah makanan. Namun, di antara kesibukan itu, Nera merasa tak nyaman. Ia merasa ada sepasang mata yang memperhatikannya. Mau tak mau, ia mendongak. Dan, itu dia! Aidan menatapnya dalam. Sembari tersenyum manis. Glek! Nera menelan ludah. Mulai saat ini, ia harus menjaga jarak dengan Aidan. *** “Kamu sudah pulang, Ra?” Suara Fatih terdengar di ujung telepon. “Belum.” Nera beranjak dari kursi. Makan malamnya sudah selesai. “Di mana?” “Di pasar deket kampus.” Nera masih bicara di telepon saat Izza berpamitan padanya. Ia memberi isyarat dengan lambaian tangan. “Tumben banget?” Suara Fatih terdengar terkejut. “Cari makan.” Nera kembali melambaikan tangan. Giliran Aidan dan Sabil yang berpamitan. Kali ini, ia cepat-cepat menjauh sebelum Aidan melancarkan serangan lain. “Mau pulang bareng nggak?” “Boleh.” “Oke.” Sambungan telepon terputus. Nera keluar dari sela-sela gerobak nasi goreng dan martabak, berjalan lebih jauh ke depan untuk keluar dari area pasar. Dan ternyata mobil Fatih sudah di sana. “Wah, ada apa ini, Ra?” Fatih tersenyum menyambut Nera yang masuk ke mobilnya. “Apanya yang ada apa?” Nera justru balik bertanya. Ia menghempaskan tubuhnya ke kursi mobil. Menghela nafas panjang. “Tumben banget kamu makan di luar? Sama siapa?” Fatih memutar kemudi. Membiarkan mobilnya memasuki jalanan kota yang mulai berkurang kepadatannya. “Lagi pengen aja. Mumpung ada yang ngajak.” Ia sedikit malas dengan topik obrolan yang diangkat Fatih. “Cowok?” “Apanya yang cowok?” Nera melirik sahabatnya yang terlihat fokus menyetir. “Yang ngajak kamu makan di luar itu cowok?” Sebenarnya Fatih tadi sempat melihat Nera keluar dari tempat makan. Itu artinya ia juga melihat Aidan dan Sabil. “Bukan. Temen cewek. Aku sebutin namanya juga kamu nggak bakal kenal.”  “Hm… ya ya ya.” Fatih mengangguk setuju. Ia memang tak terlalu banyak kenal dengan mahasiswa fakultas yang tepat berada di sebelah fakultasnya itu. Terutama angkatan-angkatan di bawahnya. Fatih dan Nera memiliki selisih usia dua tahun, lebih tua Fatih. Tapi, karena sejak kecil mereka sudah saling kenal, perbedaan usia itu tak begitu berarti. Dan mereka lebih nyaman memanggil nama masing-masing daripada menggunakan kata panggilan sejenis ‘Kak’, ‘Mas,', dan lain-lain. “Tapi, ini kemajuan loh, Ra.” Fatih sekilas menoleh. “Coba ingat-ingat! Kapan terakhir kali kamu hangout bareng temen-temen cewekmu? Kapan coba?” “Hm…” Nera terlihat berpikir. “Entahlah.” Pungkasnya kemudian. Sebenarnya ia punya jawaban atas pertanyaan Fatih, tapi ia malas menjawabnya. “Yah, pokoknya ini kemajuan banget buat kamu, Ra.” Nera tak menggubris. Ia memilih memalingkan wajahnya kemudian memejamkan mata. Tidak, ia tidak berniat untuk tidur. Hanya sekedar mengusir lelah setelah sepanjang hari membuka mata. Menatap layar laptop, membaca miliyaran huruf, memaksanya terus fokus. Hanya butuh waktu kurang dari lima belas menit untuk tiba di tumah Nera. Dan dalam waktu singkat itu rupanya Nera berhasil terlelap. “Ra, udah sampai.” Lirih Fatih. Ia menyentuh pundak Nera lembut. “Hah? Ah, aku ketiduran, ya?” Nera tergeragap. Melihat sekitar dengan cepat. “Ternyata udah sampai.” Gumamnya kemudian. “Kalau tahu kamu ketiduran, aku bawa muter-muter dulu.” “Ngapain?” Nera sudah siap membuka pintu mobil. “Biar tidur agak lama.” Fatih tersenyum. Matanya ikut melengkung. “Nggak mampir dulu?” Nera sudah berada di luar mobil. Setengah menunduk bertanya pada Fatih. “Enggak, mau langsung tidur. Besok harus berangkat pagi. Janjian sama pasien.” “Oke. Selamat istirahat!” “Salam buat Om Bambang.” “Iya.” Nera menutup pintu mobil. Melambaikan tangan, membiarkan mobil Fatih berlalu dari hadapannya. Setelah mobil Fatih hilang di kelokan jalan, ia balik badan. Masuk rumah. “Baru pulang, Ra?” Bambang yang selalu sibuk dengan berkas-berkas kasus yang sedang ditangani menyapa putri bungsunya. “Iya.” Jawab Nera singkat. Ia merasa tak perlu menceritakan apa saja yang ia lalui hari ini. Bambang kembali sibuk dengan berkas-berkasnya, Nera memilih melanjutkan perjalanan. Ia menuju kamar kakaknya. Sayangnya, kakak satu-satunya yang ia punya itu sudah terlelap. “Kak Angel sudah tidur, Ma?” Nera berbisik. “Iya.” Wanita teduh yang ia panggil Mama itu balas berbisik. Ia beranjak dari tepi tempat tidur. Menghampiri putri sulungnya, menutup pintu kamar Angel. “Kamu baru datang?” “Iya. Banyak yang harus diurus tadi.” Dua wanita yang terlihat sangat mirip itu berjalan beriringan. “Sudah makan?” “Sudah.” Nera mengangguk. “Hm? Tumben?” Ya, putri bungsunya itu sangat jarang melewatkan makan malam di rumah. Bahkan saat anak-anak seusianya sering keluar bersama teman-temannya, Nera tidak. “Tadi ada yang ngajak makan.” “Oh gitu. Ya sudah, cepat mandi terus istirahat.” Ia mengusap punggung putrinya lembut. Tersenyum hangat. Nera mengangguk. “Ke depannya sepertinya Nera bakal sering pulang malam. Lagi persiapan kegiatan besar.” “Iya. Dari dulu kamu ‘kan suka mencari kesibukan di luar rumah. Nggak apa-apa. Asal positif, Mama selalu dukung. Meski sibuk, jangan lupa makan dan istirahat, Ra.” Nera tersenyum kemudian mengangguk. Berbanding terbalik dengan sang ayah, mamanya itu selalu memberi respons yang baik. Terlepas dari apa yang ia lakukan sependapat dengan mamanya atau tidak. “Ya sudah, Nera naik dulu.” Wanita menjelang separuh abad itu mengangguk pelan. Nera segera menaiki anak tangga menuju kamarnya. Kamar Nera terletak di lantai dua. Bersebelahan dengan kamar orang tuanya. Itu adalah satu-satunya kamar yang memiliki balkon. Ia sengaja memilihnya. Karena gadis itu senang menghabiskan waktu memandangi langit dengan segala keindahannya. Rasanya sangat menenangkan dan… bebas. Menuruti perintah sang ibu, setelah meletakkan tas Nera bergegas mandi. Rasa segar dan aroma lembut sabun mandi segera meluruhkan lelah yang tadinya menumpuk di pundaknya. Lalu, ia mengenakan kaos longgar yang nyaman dan bersiap untuk tidur. Sebelum itu, ada beberapa tugas kuliah yang ingin ia cicil pengerjaannya. Mungkin, salah satu sisi positif dari tidak pernah hangout dengan teman perempuan seusianya adalah ia bisa mengisi waktu luangnya dengan menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang seolah tak berkesudahan itu. Selesai satu tugas, sudah menunggu tugas yang lain. Begitu seterusnya. Sehingga waktu senggang yang tidak ia gunakan untuk ‘bersenang-senang’ itu habis untuk mengerjakan tugas dan belajar berorganisasi di BEM. Begitu juga saat Nera masih duduk di bangku SMA. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan ikut les sana sini daripada bersosialisasi dengan teman. Yah, bisa dibilang masa putih abu-abunya cukup membosankan. Tapi Nera tak menyesali itu. Berkat masa SMA yang membosankan itu ia berhasil mendapat tiket free pass ke fakultas kedokteran di perguruan tinggi pilihannya itu. Tiba-tiba, di antara kepingan kenangan yang mendadak memenuhi kepalanya, Nera teringat dengan pertanyaan Izza tadi. Apa enaknya punya banyak pengikut di i********:? Kenapa ia tidak memanfaatkannya untuk mengumpulkan rupiah? Ia mulai mengingat-ingat kapan pertama kali dirinya tertarik dengan dunia maya. Dan setelah semua hal yang ia capai di dunia maya, kenapa ia tidak mau memanfaatkannya untuk bisnis endorse? Apa alasannya melakukan itu? Apa sebenarnya yang ia cari di dunia maya? Apa yang ia harapkan dari para pengikutnya? Bukankah mereka hanya orang-orang asing yang mampir ke laman instagramnya saat tak tahu hendak melakukan apa? Ia tak pernah benar-benar mengenal mereka. Mereka pun demikian terhadap dirinya. Nera menghela nafas panjang. Matanya menerawang menatap hamparan tembok kamarnya. Suara desing kipas laptop terdengar lebih keras, memenuhi seluruh penjuru kamarnya. Tiba-tiba, rasa sepi mengungkung diri Nera.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN