6

1696 Kata
Gelap sudah mulai merangkak naik. Tugas matahari hari ini sudah selesai, ia tak lagi terlihat di langit. Namun, sang matahari tidak benar-benar bebas tugas, ia masih harus berbagi sinarnya pada rembulan agar satelit bumi itu dapat memantulkan cahaya. Hingga, rembulan yang sebenarnya sama sekali tidak punya kemampuan untuk bersinar itu terlihat bercahaya terang menghiasi langit yang gelap. Cahayanya bahkan mampu menerangi sudut gelap di depan ruang BEM. Nera dan Izza baru saja keluar ruangan. Rapat baru saja usai. Mereka terlihat sangat lelah. Sejak pagi sudah sibuk mengurus persiapan kegiatan dan kuliah, sore hari masih harus rapat yang menguras otak. Izza terlihat menghela nafas. “Mau makan bareng dulu, Ra?” Bahkan suaranya terdengar lemah. Nera tak langsung menjawab, ia masih menimbang-nimbang. Sebenarnya, ia agak malas bicara basa-basi dengan orang lain. Mencari topik obrolan supaya tidak canggung. Ia malas sekali. “Memangnya mau makan di mana?” Meski begitu, ia ingin mencobanya dengan Izza. “Di pasar seberang jalan. Jam segini, biasanya banyak jajanan juga. Mau nggak?” Sudah lama sejak terakhir kali Nera jalan-jalan menikmati malam dengan seorang teman, kecuali Fatih. Sudah lama juga sejak ia terakhir kali melakukan hal semacam berburu kuliner. Tentu saja, di sudut hatinya, ia merindukan hal-hal semacam itu. “Boleh, deh.” Nera tersenyum samar. “Yuk!” Mood Izza segera berubah. Ia terlihat lebih bersemangat. Izza berjalan cukup cepat. Untung saja, kaki Nera yang panjang mampu mengimbangi langkah-langkah cepat milik Izza. Malam semakin merangkak naik. Bangunan tinggi gedung peninggalan Belanda di kampus Fakultas Kedokteran itu terlihat gagah sekaligus mistis. Jam segini, lalu lalang mahasiswa sudah sangat jarang. Gedung-gedung pun sudah terlihat gulita. Hanya beberapa gedung yang masih menyala terang. Seperti ruang BEM, mushollah, perpustakaan, dan teras gedung-gedung itu. Izza dan Nera menyusuri teras panjang gedung peninggalan Belanda yang menjadi ikon Fakultas Kedokteran itu. Mereka melewatinya dengan setengah berlari. Antara terburu-buru atau justru ketakutan. Mengingat banyak sekali kisah-kisah mistis yang beredar tentang gedung itu. Bruk! Izza meloncat ke jalan setapak yang terhubung ke gerbang depan. Nera mengikuti. Mereka mulai berjalan lebih santai. “Tadi, kamu takut, ya?” Tebak Nera. Mereka sudah berjalan cukup jauh meninggalkan gedung itu. “Hm… iya. Hehehe.” Izza menggaruk pipinya. “Kenapa?” Sejujurnya, Nera juga sedikit merinding. Sepertinya siapapun pasti merasa ngeri jika melewati gedung itu di malam hari. Suasana seram seolah melekat kuat dengan bangunan gedung itu. “Banyak cerita-cerita menyeramkan soal gedung itu. Yang baru-baru ini malah ngeri banget.” Izza mengusap lengannya, sepertinya ia sendiri merinding saat bicara begitu. “Baru-baru ini?” “Iya.” Mereka sudah keluar dari gerbang utama. Selanjutnya mereka harus melewati jembatan penyebrangan untuk sampai di seberang jalan, tempat pasar yang dimaksud Izza berada. “Emang ada apa?” Mau tak mau, Nera jadi penasaran. Tang! Tang! Suara langkah kaki mereka terdengar nyaring saat menaiki tangga besi. “Di ruang auditorium itu ‘kan ada CCTV-nya. Kata penjaga CCTV, kemarin malam, sekitar jam dua pagi ada bangku di ruang auditorium yang tiba-tiba bergerak sendiri. Rekaman CCTV-nya sampai nyebar di beberapa grup mahasiswa loh.” Izza bercerita antusias. Nera menelan ludah. “Memangnya itu video asli?” “Asli. Ada anak BEM yang juga ikut lihat langsung rekaman CCTV itu.” Jelas Izza penuh percaya diri. “Kamu juga lihat videonya?” Nera mendadak bergidik ngeri. Gedung tinggi bercat putih itu terlihat dari jembatan penyebrangan. Saat ini, gedung itu semakin tampak mengerikan di mata Nera. “Iya. Tapi video yang udah dibagikan di grup. Ih, ngeri, Ra. Beneran gerak sendiri!” Nera menelan ludah. Wajahnya mungkin sudah terlihat pucat. Mulai hari itu, sepertinya ia takkan bisa melewati gedung kuno itu dengan tenang. Cerita Izza benar-benar mengubah sudut pandangnya. Izza dan Nera terus melangkah. Bunyi besi ditapaki terdengar jelas. Berbenturan dengan deru kendaraan yang lalu lalang di bawah kaki mereka. Nera sengaja tak merespon Izza, ia ingin menyudahi obrolan soal gedung yang terkenal angker itu. Maka, Nera memilih melihat sekeliling. Wush! Semilir angin malam menerpa wajahnya. Menyibak rambutnya yang hitam dan tebal. Nera dibuat terpukau dengan pemandangan malam itu. Melihat jalanan di depan kampusnya di malam hari rasanya sangat berbeda. Pohon-pohon tinggi yang berkilau terkena lampu jalan, cahaya terang dari kendaraan yang saling menyorot membuat jalanan beraspal terlihat berwarna jingga, rembulan yang bersinar bulat, dan sentuhan terakhir, milyaran bintang yang bertebaran di kanvas langit malam. Sungguh indah sekaligus syahdu. “Tunggu, Za!” Nera memegang lengan Izza. Memintanya berhenti. “Kenapa?” “Pemandangannya bagus.” Nera mengeluarkan ponsel dari tasnya. Menyentuh-nyentuh layarnya, menekan ikon kamera di sana. “Mau ngapain?” Izza mengintip ke arah ponsel Nera. “Diabadikan.” Jawabnya singkat. Cekrek! Cekrek! Cekrek! Tiga jepretan, Nera berhasil mendapatkan hasil foto yang ia inginkan. Gadis itu tersenyum manis. Mulai sibuk dengan ponselnya. Mengedit satu foto yang ia pilih, membuatnya terlihat makin indah. Kakinya memang sudah melangkah lagi, tapi mata dan tangannya sibuk dengan ponsel. Tang! Tang! Mereka menuruni anak tangga. Nera belum selesai dengan ponselnya. “Awas, nanti hp-nya jatuh.” Izza menegur dari samping. “Eh? Hehe.” Nera tersenyum sekilas. Lalu, kembali sibuk dengan ponselnya. Ia belum selesai mengedit. Izza memilih diam, tak mengganggu kesibukan Nera. Mereka terus melangkah turun. Tepat saat kaki kanan Nera menyentuh trotoar, foto yang sudah ia edit berhasil diunggah ke i********:. Nera tak terlalu suka memberi caption panjang, kali ini ia hanya memberi caption pendek saja. Night view. Namun, puluhan like dan beberapa komentar segera mampir di bawah foto itu hanya dalam hitungan menit. Nera tersenyum melihat puluhan pemberitahuan dari i********:. Kemudian menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas. “Tadi ngapain, Ra?” Tanya Izza setelah melihat kawannya selesai dengan urusannya. “Hm… upload foto di instagram.” Nera menjelaskan singkat. “Oh iya, kamu selebgram, ya?” “Bukan.” Nera segera menyangkalnya. Ia tak suka dijuluki begitu. “Terus apa namanya? Follower kamu ‘kan ribuan, eh, puluhan ribu, ya?” Izza melebarkan matanya. Mereka masih menyusuri trotoar menuju pasar. “Tapi tetap saja aku bukan selebgram.” “Enak nggak, sih, Ra punya banyak follower begitu?” Tiba-tiba, Izza menanyakan sesuatu yang selama ini sama sekali tak terlintas di benak Nera. “Hm?” Tentu saja itu membuatnya terkejut. “Kadang aku penasaran, apa enaknya punya banyak followe? Maaf, ya, Ra. Aku bukan menyinggungmu, aku cuma tanya aja. Soalnya aku nggak terlalu suka main i********:. Hehe.” Nera terlihat merenungi pertanyaan itu. Tiba-tiba saja, ia juga menanyakan hal itu pada dirinya sendiri. “Enak aja, sih.” Jawabnya kemudian. “Kenapa?” Nera tak menjawab. Ia tiba-tiba tak menemukan jawaban dari pertanyaan Izza. Tak ada satu alasan pun yang melintas di dalam kepalanya. “Kamu terima endors gitu, Ra?” Izza sudah berpindah ke pertanyaan selanjutnya. “Enggak.” Nera menggeleng tegas. “Kenapa?” “Hm… kenapa, ya?” Sekali lagi, ia tak menemukan jawaban yang pas. Selama ini, setiap kali ada tawaran endorse, ia selalu menolaknya. Alasannya simple, ia malas memulai bisnis itu. Ia tidak punya dorongan kuat untuk menggunakan akun instagramnya sebagai lahan mencari rupiah. “Sepertinya karena aku malas saja.” Hanya itu yang terlintas di kepalanya. “Bukannya uang dari hasil endorse itu lumayan, ya?” “Sepertinya begitu, sih. Tapi, entahlah, aku nggak tertarik.” Nera mengedikkan bahu. Mereka sudah tiba di area pasar. Karena itu, detik berikutnya, Izza sudah tidak iseng bertanya ini itu pada Nera. Ia sudah sibuk berjalan ke sana ke mari, melihat jajanan pasar yang hanya diperdagangkan di malam hari. “Kamu sebenarnya mau beli apa?” Nera menyusul langkah Izza. Ia bingung, sejak tadi temannya itu hanya melihat satu gerobak ke gerobak lainnya. Tanpa membeli apapun. “Aku mau beli makan dulu, habis itu baru beli cemilan. Maaf, ya, jadi lama karena aku lapar mata. Ayo ikut aku!” Mereka melewati gerobak makanan yang berjejer di sepanjang jalan itu, kemudian berbelok di sela-sela gerobak martabak dan nasi goreng, memasuki area pertokoan. Izza masih terus melangkah. “Kamu suka lalapan?” Tanya Izza. Ia menoleh, tapi sambil berjalan. “Hm, suka aja.” “Oke. Kita akan makan di warung lalapan favoritku.” Izza memberi isyarat dengan tangannya. “Let’s go!” Pungkasnya. Itu adalah sebuah ruko yang dijadikan rumah makan dengan sebuah gerobak lalapan di depannya. Seorang wanita akhir tiga puluhan, dengan rambut diikat ketat, sibuk melayani pembeli. Seorang laki-laki bertopi kumal asik menggoreng pesanan. Izza berdiri di antara para pembeli begitu saja. Mengambil sebuah piring plastik dan capitan, memilih lauk yang hendak ia makan. Nera mendekat, mengintip belasan kotak plastik yang berisi aneka lauk pauk. “Kamu mau apa, Ra?” Izza mencomot seekor lele dan dua buah tempe. Meletakkannya di piring. “Kita pilih sendiri lauknya, nanti dikasi ke si ibu, terus tinggal tunggu mateng, deh.” Ia menjelaskan. Nera mengangguk-angguk. “Aku mau ayam sama tempe aja.” “d**a, paha, atau sayap?” Capitan yang dipegang Izza mengambang di atas kotak plastik berisi belasan potong ayam yang sudah diungkep dengan bumbu kuning. “Paha aja.” Izza menurut. Mengambil satu buah paha ayam dan dua buah tempe. Menyerahkannya pada si ibu. “Sambalnya sedang aja, ya, Bu. Kamu juga, Ra?” “Iya.” “Sambalnya sedang semua, ya, Bu.” Ibu penjual itu mengangguk. Menerima piring plastik yang disodorkan Izza. “Yuk, duduk dulu.” Mereka mencari tempat duduk kosong. Jam segini, cukup banyak orang yang mengisi tempat duduk di warung lalapan itu. Tapi, lebih banyak lagi yang membeli untuk dimakan di rumah atau kos mereka. “Nera! Izza!” Dua mahasiswa itu sontak menoleh mendengar nama mereka dipanggil. Rupanya, Aidan sedang makan di sana. Izza gegas menghampiri. “Kalian mau makan?” Tanya Aidan. “Iya, Kak.” “Duduk sini aja.” Ajak Aidan ramah. Ia sedang makan bersama seorang temannya. “Ah…” Izza hampir menolak. Tapi, begitu ia melihat sekitar, tak ada lagi kursi yang kosong selain dua kursi di sebelah Aidan dan kawannya. “Tapi, bisa nggak Kak Aidan duduk bareng di sana? Biar aku sama Nera duduk sebelahan.” “Oh, oke oke. Aku paham.” Aidan tersenyum, lalu beranjak pindah ke sebelah kawannya. Izza dan Nera masing-masing duduk di hadapan Aidan dan kawannya. “Ke-kenapa?” Tanya Nera terbata. Ia tiba-tiba merasa tak nyaman karena laki-laki di hadpannya, kawan Aidan menatapnya tak berkedip.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN