9

1663 Kata
Dalam waktu singkat, follower akun i********: Nera meroket cepat. Selain karena banyak teman-teman SMA-nya yang ingin dekat dengannya lewat media sosial, juga karena parasnya yang rupawan digemari oleh para pengguna i********:. Dalam sekali unggahan foto dirinya, ratusan ‘like’ dan belasan komentar mampir di fotonya. Memuji kecantikannya, mengatakan ingin bertemu di dunia nyata. Dalam waktu satu tahun, follower Nera sudah mencapai ribuan jumlahnya. “Wah, jadi selebgram nih sekarang?” Fatih menggoda Nera. “Hahaha, apaan, sih?!” Nera menyenggol lengan Fatih keras. Mereka sedang berjalan-jalan di sekitar kampus Fatih. Hari itu akhir pekan, sekitar pukul sembilan pagi. Usai berolahraga ringan di car free day, menyantap beberapa kudapan pagi, melihat-lihat penjual aksesoris, mereka bertolak ke kampus Fatih. Menunaikan janjinya untuk mengajak Nera berkeliling kampus. “Kamu nggak terima endorse, Ra?” “Enggak.” Nera menggeleng. Kampus Fatih di akhir pekan terlihat cukup sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang terlihat mondar mandir menyelesaikan urusan. Suara gemerisik dedaunan diterpa angin terdengar lebih keras. Suara langkah dua anak manusia itu juga terdengar lantang. Mereka baru tiba di gedung utama fakultas kedokteran gigi. “Kenapa? Followers segitu udah bisa loh buat terima endorse. Apalagi jumlah ‘like’ di tiap postinganmu udah ratusan.” Nera menerawang, tak segera menjawab pertanyaan Fatih. “Kayaknya aku nggak tertarik dengan hal begitu. Aku ‘kan main i********: cuma buat seneng-seneng, bukan buat cari uang.” “Mau masuk?” Tanya Fatih sembari menunjuk pintu kaca gedung utama fakultas kedokteran gigi. “Mau kalau bisa.” Nera mengangguk antusias. Fatih membuka pintu kaca itu. Meski tak ada perkuliahan, gedung-gedung kampus tetap bisa dijelajahi. Hanya saja tidak bisa memasuki ruangan-ruangannya.  “Nggak apa-apa dong sekalian cari duit?” Fatih melanjutkan topik obrolan mereka. Nera menggeleng. “Aku sudah cukup senang ada banyak orang yang suka dengan foto-foto yang kuunggah. Lagipula, aku masih kecil, belum tahu manajemen endorse atau apapun itu.” “Apanya, sih, yang masih kecil? Tahun depan kamu sudah bisa jadi mahasiswa.” Fatih bicara sambil menahan tawa. Mereka terus berjalan, menyusuri koridor gedung yang sepi. Hanya berpapasan dengan satu-dua orang. “Wah, itu jual souvenir?” Nera melihat sebuah ruangan kaca yang berisi berbagai macam souvenir. “Iya.” “Kenapa jualnya di sini? Kenapa nggak di gedung depan sana?” Nera mempertanyakan letak toko yang kurang strategis. Berada di dalam gedung fakultas, maka hanya orang-orang yang sengaja masuk gedung ini yang tahu bahwa ada toko yang menjual berbagai souvenir dokter gigi, FKG, dan universitas itu. Fatih mengedikkan bahu. “Nggak tahu. Kayaknya ini yang ngelola BEM. Target pasarnya mungkin mahasiswa FKG aja.” “Wah, sayang ya. Padahal kalau tempatnya lebih strategis mungkin pemasukannya bakal lebih banyak.” Fatih tak menanggapi. Mereka beranjak dan melanjutkan perjalanan. Kali ini menyusuri teras gedung. Di depan teras itu, sebuah halaman berukuran sepuluh kali dua puluh meter terhampar luas. Dipenuhi rumput hijau yang segar, pohon-pohon cemara menjualng tinggi, gemericik air dari kolam ikan kecil di pojok halaman menambah sejuk suasana. Nera menikmati ‘tour kampus' itu. Melihat ruangan-ruangan yang bisu, menyegarkan mata dengan tanaman-tanaman hijau, memanjakan telinga dengan suara gemericik air. “Ayo ke fakultas sebelah, Ra. Sebelum matahari makin tinggi. Di sana ada museumnya, lho!” Ajak Fatih ketika mereka telah selesai menjelajahi gedung tiga lantai itu. “Wah, serius?” Mata Nera membulat. Fatih mengangguk mantap. Mereka bergegas keluar gedung. Melewati pintu kaca tadi. Berjalan cepat menuju gerbang utama. Belok kiri, dan sampailah mereka di jalan setapak di area fakultas kedokteran. “Di sini juga sejuk, ya?” Nera mengedarkan pandangan. Bayangan pohon-pohon tinggi menutupi terik sinar matahari. “Iya. Di dalam juga ada taman kayaknya.” Fatih terus melangkah. “Belok sini, Ra.” Nera menurut. Mereka memasuki sebuah gedung tua peninggalan belanda yang legendaris itu. Ikon fakultas kedokteran yang ditetapkan sebagai cagar budaya. Sekali lagi, Nera mengedarkan pandangan. Menatap langit-langit yang begitu tinggi. Lebih tinggi dari langit-langit gedung fakultas kedokteran gigi yang ia datangi sebelumnya. Memanjakan mata dengan pesona arsitektur belanda yang masih terawat dengan baik. Menikmati atmosfer yang sangat berbeda dari gedung sekolahnya. Mereka mendatangi sebuah pintu kaca yang bertuliskan Museum Kedokteran di atasnya. Fatih memutar pegangannya. “Yah, tutup.” Sesalnya. “Kenapa?” Nera mendekat. Tadi ia sedang melihat-lihat foto yang ditempel di tembok. “Kayaknya kalau akhir pekan tutup, deh.” Raut wajah Fatih berubah sedih. “Oh…” Nera mengintip lewat pintu kaca. Ada banyak sekali foto, alat-alat kedokteran, dan kerangka manusia yang dipajang di dalam sana. “Ya sudah nggak apa-apa.” Ia mundur beberapa langkah. “Aku kira tetap buka meski akhir pekan.” Fatih terlihat lesu. “Nggak apa-apa, Tih. Kita keliling aja.” Nera tersenyum. Menenangkan sahabatnya yang kecewa. “Duduk di sini dulu, deh, Ra.” Fatih berjalan menuju kursi yang tersedia di depan pintu museum. Nera baru sadar, ada beberapa kursi dan meja yang diletakkan berjajar di sepanjang teras depan gedung. Ia mengikuti Fatih. Duduk di salah satu kursinya. Berhadapan-hadapan. Fatih mengeluarkan botol minum dari dalam tasnya. Menenggaknya hingga tandas. Kemudian mengusap sisa-sisa air di bibirnya. “Nih…” Nera mengeluarkan sebungkus pentol bakar yang tadi ia beli di car free day. Belum sempat dimakan. “Makan aja, Ra.” “Makan bareng aja.” Nera mengeluarkan dua buah garpu kecil, sepaket dengan pentol bakar itu. Fatih menurut. Mengambil salah satu garpu, mencomot sebuah pentol. Nera melakukan hal yang sama, kemudian memalingkan wajah. Menikmati pemandangan sejuk di hadapannya, membiarkan semilir angin membelai wajahnya. “Ra…” Panggil Fatih pelan. “Ya?” Nera menoleh. Sekali lagi mencomot sebuah pentol. “Kamu suka berkegiatan di i********:?” “Hm? Suka.” Jawabnya sembari menutup mulut. Mulutnya sedang penuh oleh pentol bakar. “Seneng, ya, bisa ketemu banyak pengguna i********:?” Fatih tersenyum lembut. Nera ikut tersenyum. Ia mengerti apa yang ingin didengar Fatih. “Seneng.” Jawabnya sembari tersenyum manis. “Aku jadi nggak kesepian. Setiap hari ada aja orang yang kirim pesan, bicara hal-hal baik dan menyenangkan. Aku juga senang hasil foto-fotoku diapresiasi dalam bentuk ‘like’ dan komentar.” Fatih ikut tersenyum. Memang itu niat awal dirinya memperkenalkan media sosial ke Nera. Gadis itu tidak tahu bagaimana harus menyibukkan dirinya. Melupakan kesepiannya yang makin hari makin mengungkung. Nera akhirnya menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar dan mengikuti berbagai macam les. Karena itu Fatih mencoba membuat Nera bertemu dengan orang lain secara tidak langsung. Gadis itu terlalu dingin pada orang-orang di sekitarnya, karena itu mereka yang ingin dekat dengannya jadi enggan. Padahal, sejak ia masih duduk di bangku SMA, banyak teman-teman Nera yang ingin dekat dengannya. Bertanya pada Fatih bagaimana cara dekat dengan Nera. Namun, meski Fatih menyebutkan berbagai macam cara untuk mendekati gadis itu, Nera tetap memberi batas jelas antara dirinya dan orang lain. “Teman-temanmu juga banyak yang follow kamu di i********:?” “Iya. Awalnya ya mereka-mereka aja yang follow dan ngasih komentar. Lama-lama jadi makin banyak orang yang mampir.” Nera tersenyum. Tanpa sadar, gadis itu menemukan kebahagiaannya di media sosial. Dari dukungan-dukungan semu para penggunanya. Dan tanpa ia sadari pula, suatu saat, bisa saja hal itu menjadi boomerang untuk dirinya. Karena di media sosial, setiap orang bebas memberi komentar apapun. Bebas mengekspresikan apapun. Terlahir sebagai bungsu dari seorang kakak yang berkebutuhan khusus, membuat Nera selalu dipaksa untuk mengerti keadaan sang kakak, mengesampingkan keadaan dan perasaannya sendiri. Memaksa Nera untuk menerima bahwa ia akan selalu dinomorduakan. Sejak kecil, Nera harus selalu menerima ketika sang mama lebih memilih menemani Angel tidur daripada menenangkan dirinya yang ketakutan karena tidur sendiri untuk pertama kalinya. Ia juga harus menerima ketika tak satupun pencapaiannya dihargai karena sang mama selalu sibuk dengan ulah Angel. Ah, apalagi soal ayahnya, Bambang. Laki-laki itu penuh ambisi. Melihat anak pertamanya tak ada harapan, ia kemudian meletakkan seluruh harapannya pada bungsunya, Nera. Memaksa gadis itu untuk menjadi sempurna. Cantik dan pintar di berbagai bidang. Beruntung Nera dikaruniai otak yang cukup encer, mudah menyerap pelajaran dan informasi. Namun, Nera tetaplah individu yang berbeda dari harapan Bambang. Gadis itu memiliki impian yang berbeda dari sang ayah. Ia ingin menjadi dokter. Sementara Bambang ingin putri bungsunya berkarir seperti dirinya. Mewarisi firma hukum miliknya. Kehidupan yang seolah tak pernah berpihak padanya itu akhirnya membuat Nera menarik diri dari hubungan pertemanan. Ia tumbuh menjadi pribadi yang dingin dan tidak tertarik menjalin hubungan dengan orang lain. Baginya, semua orang akan selalu mementingkan diri mereka sendiri. Maka, apa dekat dan menjalin pertemanan? Fatih adalah pengecualian. Laki-laki itu sudah dekat dengan Nera sejak mereka masih sama-sama balita. Kedekatan orang tua mereka yang membuat keduanya juga dekat. Usai menghabiskan sebungkus pentol bakar, Nera dan Fatih melanjutkan perjalanan. Tour kampus dilanjutkan dengan menjelajari gedung-gedung fakultas kedokteran. Fakultas impian Nera. Diawali dengan menelusuri lorong-lorong gedung peninggalan belanda itu, dilanjutkan dengan gedung tua di sebelah gedung utama. “Wah, ini kantin?” Nera melihat bagian dalam sebuah ruangan yang dikelilingi kaca jendela besar. Ada puluhan kursi yang ditata melingkar di dalamnya. “Iya. Tapi kantin di sini mahal-mahal. Variasinya juga sedikit. Aku pernah coba makan di sini, mahal banget. Nanti aku tunjukkan kantin yang harga makanannya lebih terjangkau.” Nera mengangguk. Mereka bergegas melihat ruangan lainnya. “Tih, kayak gini maksudku.” Nera menunjuk sebuah ruangan yang terlihat seperti toko souvenir. “Kalau jual souvenir tuh tempatnya strategis gini. Di depan, kelihatan dari jalan.” “Iya nanti aku bilang ke BEM-nya.” Fatih tak ambil pusing. Ia terus berjalan lurus. Nera dan Fatih berjalan beriringan. Menyusuri jalan setapak yang mengelilingi area fakultas kedokteran. Sesekali Nera melongok di antara lorong-lorong kecil, melihat bagian dalam area fakultas. “Ayo kalau mau masuk!” Ajak Fatih. Gemas melihat Nera hanya mengintip. “Enggak. Ayo jalan sampai belakang terus balik ke depannya lewat dalam.” Jelasnya. Fatih mengiyakan. Mereka menyusuri jalan setapak itu sembari mengobrol ringan. Melewati gedung-gedung fakultas yang sepi. Melewati ruang BEM. Di sana, di dalam ruang BEM. Seorang laki-laki menatap Nera tak berkedip. Matanya menyorot tajam. Alisnya bertaut. Begitu menyadari siapa gadis yang lewat tadi, seketika wajahnya berubah gelap. Rahangnya mengeras, bibirnya mengatup rapat. Tangannya mengepal kuat. Amarah di dalam dadanya yang sudah lama tersimpan, mendadak menggelegak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN