Nera menghela nafas panjang. Menutup laptopnya. Mood untuk mengerjakan tugas hilang seketika. Pikirannya yang kembali ke masa lalu tiba-tiba menyadarkannya dirinya bahwa selama ini ternyata ia mencari kebahagiaan di tempat yang salah. Tempat yang bisa saja suatu hari justru balik menyerangnya. Media sosial.
Kini, ia tahu jawaban dari pertanyaan Izza tadi. Ia juga tahu alasan mengapa dirinya enggan mengais rupiah dari bisnis endorse. Itu bukan passion-nya. Nera tak pernah mengerjakan sesuatu yang bukan passion-nya. Ia akan bicara dengan tegas, menentang jika dipaksa melakukan sesuatu yang tak disukainya. Hidup yang tak pernah berpihak padanyalah yang membuatnya begitu keras dalam membela dirinya sendiri. Karena ia tahu, takkan ada yang mau melindunginya selain dirinya sendiri. Tak ada yang tahu betul tentang keinginannya, selain dirinya sendiri.
Nera memutuskan untuk tak mengerjakan tugas malam itu. Masih ada waktu. Tugas yang hendak ia kerjakan adalah tugas untuk pekan depan. Maka ia memilih turun. Mencari teman mengobrol. Siapapun itu.
“Belum tidur, Yah?” Nera mengintip ruang kerja ayahnya yang terbuka.
“Nera? Ada apa?” Bambang melepas kacamatanya, terkejut. Bukan karena putrinya belum tidur, tapi karena putri bungsunya tiba-tiba mendatangi ruang kerjanya.
“Boleh Nera masuk?” Nera berdiri tepat di ambang pintu. Tadi, ia sudah berkeliling mencari mamanya. Namun, tak ada tanda-tanda wanita itu masih terjaga. Melihat ruang kerja ayahnya masih menyala dan terbuka, Nera menghampiri tanpa pikir panjang.
“Boleh boleh. Masuklah, Nak.” Bambang mengangguk berkali-kali.
Nera mengambil sebuah kursi kosong, meletakkannya di depan meja Bambang. Berhadapan dengan sang ayah.
“Ada apa?” Tanya Bambang begitu putrinya duduk.
“Ayah lagi apa? Kok belum istirahat?” Nera basa basi.
Bambang jelas tertegun. Biasanya, putri bungsunya itu tak pernah mengajak bicara lebih dulu. Mereka satu rumah, sering sekali bertemu, tapi hampir tak ada obrolan di antara keduanya. Maka, jika tiba-tiba putrinya mengajak bicara basa-basi begini, tentu saja Bambang terkejut. Tapi, ia tak bisa menebak-nebak apa maksud dan tujuan putrinya.
“Ada gugatan untuk kasus lama. Rencana akan ditolak, tapi ayah tetap harus siap-siap kalau nantinya diterima.”
“Oh? Kasus apa?” Nera terlihat tertarik. Sejak kecil, tak pernah sekalipun ia ingin tahu tentang pekerjaan ayahnya. Ia hanya tahu ayahnya seorang pengacara. Ia tak pernah ingin tahu bagaimana ayahnya bekerja.
“Hm…” Bambang mencari berkas kasus lama itu. “Ini. Kasus penggelapan dana rumah sakit.” Ia menyodorkan berkas usang itu.
“Wah…” Nera mengambilnya. Melihat judulnya, membuka isinya sekilas. “Kenapa digugat lagi, Yah?”
Bambang tampak menghela nafas panjang. Wajahnya terlihat khawatir. “Katanya, penggugat punya bukti yang bertentangan dengan keputusan hakim saat itu.”
“Kok bisa?” Nera mengernyit. Saat ini, ia benar-benar tertarik dengan kasus yang ditangani ayahnya. Padahal, biasanya ia hanya mengetahui kasus yang ditangan ayahnya dari koran atau berita di televisi saja.
Bambang mengusap wajah. “Nggak tahu. Ayah juga nggak tahu.”
Nera tertegun melihat ekspresi ayahnya. Ayahnya itu hampir tak pernah terlihat lemah. Bahkan, memperlihatkan kesulitannya saja tak pernah. Bambang selalu terlihat prima dan di atas angin. Ia seolah selalu mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Tapi malam ini, Nera menyaksikan dengan jelas raut putus asa di wajah ayahnya. Wajah yang lebih sering terlihat keras dan tegas itu kini tampak lelah dan lesu.
“Tapi, karena ada banyak pihak yang tidak ingin kasus ini dibuka kembali, sepertinya keputusan untuk menolak gugatan ini akan dikabulkan.” Bambang terlihat menghibur dirinya sendiri.
Nera mengangguk-angguk. Ia kembali membuka-buka berkas di tangannya. “Nera nggak pernah tahu ada kasus ini di televisi.”
“Oh, itu memang kasus lama sekali. Sekitar sepuluh tahun lalu.”
“Oh…” Mulut Nera membentuk huruf O besar. Matanya pun ikut membulat.
“Ada apa mencari ayah, Ra?” Bambang mengakhiri obrolan tentang gugatan kasus lama itu.
“Ah, enggak. Nera belum bisa tidur. Terus lihat ruang kerja ayah masih nyala, jadi Nera samperin.”
“Oh, ayah kira ada apa.” Bambang tersenyum samar.
“Ya sudah, Nera balik ke kamar aja. Ada tugas yang harus diselesaikan.” Nera beranjak, mengembalikan kursi yang ia ambil ke tempatnya.
“Ra…” Panggil Bambang ketika putrinya hampir mencapai pintu.
“Ya?” Nera balik badan.
“Kamu… suka dengan kuliahmu?” Bambang menatap putrinya lekat. Ada gurat kesedihan yang samar-samar terlihat di wajahnya.
“Maksudnya, Yah?”
“Kamu menikmati kesibukanmu di kampus? Kuliah, organisasi, dan lain-lain?”
Nera tersenyum. Ini pertama kalinya sang ayah menanyakan perasaannya. “Iya, Nera suka. Karena ini pilihan Nera sendiri.”
Bambang tersenyum. “Karena kamu sudah menolak jurusan kuliah pilihan ayah, kamu harus menunjukkan kesungguhanmu di jurusan kuliah pilihanmu.” Suaranya terdengar mantap namun sedikit bergetar.
“Iya. Sama seperti ayah, Nera nggak pernah setengah-setengah dalam melakukan sesuatu.” Nera tersenyum cerah.
Tak ada jawaban dari Bambang. Tapi, ia terlihat terkejut.
“Nera naik dulu, ya, Yah. Selamat bekerja.” Nera melambaikan tangan, balik badan kemudian berlalu.
Tanpa sepengetahuan Nera, kalimatnya barusan justru menohok Bambang. Menusuk tepat di dadanya.
Bambang menatap kosong kertas-kertas di atas meja. Ia mengusap wajahnya yang terlihat rumit. Sebelah tangannya menutup kedua matanya. Dan dari sudut matanya sebelah kanan, sebutir air mata menetes pelan.
“Jangan, jangan jadi seperti ayah, Nak.” Gumamnya putus asa.
***
“Wah, gila! Aku ketemu Nera langsung, Dan!” Pekik Sabil girang, ia menggoyang-goyangkan lengan Aidan.
“Aduh! Sabiiiil!” Aidan melepas cengkraman tangan temannya. Ia sedang sibuk mengemas barang-barang.
Sudah sekitar satu jam yang lalu Sabil nongkrong di kamarnya. Mengoceh tentang bertemu Nera, tentang paras gadis itu yang ternyata jauh lebih cantik jika dilihat langsung, tentang rumor bahwa Nera dingin dan ketus itu tidak benar, dan lain-lain.
“Aku dukung, deh, Dan! Aku dukung kamu jadian sama Nera. Kalian cocok banget! Serius!” Ucap Sabil penuh semangat.
“Kemarin bilangnya jangan.” Aidan mencibir.
“Ya, itu ‘kan karena aku termakan rumor. Sekarang, setelah lihat langsung, aku tahu rumor itu nggak bener.”
Aidan terkekeh pelan. Ia masih sibuk mengisi tasnya.
“Kayaknya, nih, Dan. Kayaknya Nera juga suka sama kamu. Kelihatan tadi dia tersipu-sipu gitu waktu kamu godain.” Sabil berbisik, seolah takut orang lain akan mendengarkan obrolan mereka.
“Hahaha, semoga aja.” Aidan tak terlalu menanggapi omongan Sabil. Kedua tangannya sibuk bergerak ke sana ke mari.
“Wah, lagian kamu berani banget godain anak orang.” Sabil meninju lengan Aidan pelan.
“Aduh!” Aidan pura-pura kesakitan. “Eh, Bil. Perempuan itu ada yang suka didekati diam-diam, ada yang suka didekati terang-terangan. Menurutku, Nera ini tipa perempuan yang suka didekati terang-terangan tapi dengan cara yang nggak norak. Yang nggak bikin dia nggak nyaman.”
“Berarti kamu udah cari tahu sejak lama dong?” Sabil menuding Aidan tepat di depan hidungnya.
“Eh? Ah, kalau itu…”
“Wah wah wah, sejak kapan, Dan? Aidan yang nggak pernah ngedeketin cewek tiba-tiba ngedeketin Nera, sejak kapan kamu suka sama dia?” Sabil terlihat antusias. Aidan justru salah tingkah.
Tadinya, Aidan enggan menjawab pertanyaan Sabil. Tapi, demi melihat wajah temannya yang sangat antusias itu, akhirnya Aidan menjawab pelan. “Sejak dia mahasiswa baru.”
“Hah?!” Mata Sabil melotot, meski tidak betul-betul terlihat melotot. “Wah, romantis juga nih anak!”
Bug! Sabil meninju lengan Aidan lagi. Kali ini lebih keras.
“Aduh! Kurang-kurangi kebiasaanmu mukul orang, Bil!” Aidan memperingatkan.
“Sorry sorry, Bro. Seriusan kamu suka sama dia sejak maba, Dan? Selama ini cinta dalam hati dong?”
Aidan tak menggubris. Ia sudah selesai siap-siap. Menggendong tasnya yang penuh. Mengambil helm dan kunci motor.
“Mau ke mana?” Sabil menarik tas Aidan.
“Pulang.” Jawabnya pendek. “Ayo keluar! Atau aku kunci di sini?” Aidan pura-pura mengancam.
“Kenapa kamu harus ngekos, sih? Kenapa nggak pulang pergi aja dari rumahmu?” Sabil ikut melangkah keluar kamar.
“Sejak jadi ketua BEM FK, kesibukan di kampus makin padat. Ngekos itu menghemat waktu dan tenagaku yang dihabiskan di jalan kalau aku tetap tinggal di rumah.” Aidan menancapkan anak kunci, memutarnya. Klek, pintu terkunci.
“Hm, iya, sih. Memangnya besok nggak ada kuliah?” Sabil terus mengekor Aidan. Sekalian ia kembali ke kamarnya.
“Ada kuliah siang. Makanya sekarang aku pulang dulu. Sekalian ada urusan juga.”
Sabil mengangguk-angguk. Mereka sudah tiba di depan kamar Sabil.
“Dah, ya? Aku pergi dulu.” Aidan melambaikan tangan.
“Iya, hati-hati!”
Aidan berlalu, menghilang di balik pintu. Laki-laki bergegas menuju motornya yang diparkir di depan gerbang kos. Secepat kilat menyalakan mesin dan memutar gas. Membiarkan motornya melaju di jalan sempit gang kosnya, lalu bergabung dengan kendaraan lain di jalanan beraspal. Aidan punya dua tujuan hari ini. Salah satunya adalah rumah ibunya di perbatasan kota. Berjarak belasan kilometer dari tempatnya kuliah.
Sebelum keluar dari kota, Aidan membelokkan motornya. Menuju sebuah apartemen yang belakangan ini sering ia datangi. Saking seringnya ia mendatangi apartemen itu, satpam yang bertugas di sana sampai hafal dengannya. Mereka selalu bertegur sapa setiap kali bertemu. Hari ini pun begitu.
“Baru beberapa hari lalu ke sini sudah ke sini lagi?” Satpam yang bertugas malam itu menyapa.
“Haha, iya, Pak. Ada yang perlu diurus.” Aidan menjawab sambil lalu. Ia buru-buru.
Beruntung, satpam itu tidak berpanjang lebar. Membiarkan Aidan bergegas masuk ke lift. Kotak bergerak itu membawa tubuh Aidan naik ke lantai tujuh.
Ting. Pintu lift terbuka. Seorang penghuni apartemen terlihat menunggu di depan pintu. Aidan tersenyum basa-basi, keluar dari lift. Menghampiri salah satu pintu yang ada di lorong lantai tujuh. Mengetuknya.
“Masuk, Dan!” Laki-laki tiga puluhan tahun itu menyambut sumringah.
Aidan masuk, melewati bingkai pintu yang terbuka lebar. Duduk di salah satu kursi kosong. Ia sudah sangat familiar dengan tempat itu.
“Jadi gimana, Om?” Aidan langsung ke inti pembicaraan. Ia tak bisa berlama-lama. Kasihan ibunya sedang menunggu di rumah.
“Pramana sudah mengajukan gugatan. Sekarang kita hanya perlu menunggu jawaban dari pengadilan.” Laki-laki itu ikut duduk di hadapan Aidan.
“Syukurlah.” Aidan tersenyum lega. “Berapa lama sampai sidang dilakukan, Om?”
Laki-laki itu menggeleng pelan. “Belum pasti. Karena gugatan yang kita ajukan juga belum tentu diterima.”
“Maksud Om?”
“Jika kenyataan benar-benar berbeda, akan ada orang-orang yang menghalangi kasus ini untuk dibuka kembali. Artinya, kemungkinan gugatan kita untuk ditolak itu cukup besar.”