11

1629 Kata
Aidan terlihat gelisah. “Kalau ditolak gimana, Om?” “Kita ajukan lagi.” Ujar laki-laki itu mantap. Aidan menelan ludah. Rupanya, bahkan proses untuk memulainya saja rumit. Tapi ia sudah bertekad bulat. Ia akan berusaha sekuat tenaga mengungkapkan kebenaran. Demi mendiang ayahnya. “Baiklah.” Sahut Aidan kemudian. Selanjutnya mereka masih mengobrol sebentar. Sekitar lima menit. Aidan tak punya banyak waktu. “Salam untuk ibumu, ya, Dan.” Laki-laki itu, Reza melepas Aidan pergi. “Iya. Kapan-kapan ibu pengen ketemu Om.” Aidan tersenyum. Ia sudah berdiri di depan pintu. “Semoga ada waktu.” “Ya sudah, saya pamit, Om.” “Iya, hati-hati di jalan.” Reza melambaikan tangan. Menatap kepergian Aidan hingga menghilang ditelan pintu lift. Tiga tahun lalu, Aidan tak sengaja bertemu dengan Reza saat mengunjungi makam ayahnya. Saat itu Aidan tak langsung menghampiri laki-laki yang berdiri mematung di samping makam yang sudah rata itu. Aidan menatap dari jauh. Reza tetap berdiri mematung sekitar lima menit lamanya. Hingga kemudian tangannya bergerak. Mengusap ujung matanya yang berair. Aidan tersentak di tempatnya berdiri. Jelas sekali bahwa laki-laki itu bersedih akan kematian ayah Aidan. Tapi, sekalipun Aidan tak pernah bertemu laki-laki itu sebelumnya. Maka Aidan mendekat. Menyapanya setelah laki-laki itu terlihat tenang. “Permisi…” “Ya?” Reza menolah. Tapi seketika matanya membulat. Demi melihat ekspresi Reza, Aidan segera menyadari bahwa laki-laki itu mengenali dirinya. “Om kenal ayah?” Reza bergeming. “Om, Om kenal ayah saya?” Aidan mengulangi kalimatnya. Kali ini dengan suara cukup keras. “Ah, iya iya.” Reza mengusap wajahnya. Air mukanya mulai berubah, terlihat lebih tenang. “Kalau begitu, Om juga kenal saya?” Aidan mencoba berspekulasi. Reza diam sesaat. “Iya, kenal.” Jawabnya kemudian. Aidan menatap Reza lekat. Mulai berpikir bahwa hubungan laki-laki itu dan ayahnya pasti cukup dekat. Tapi, entah bagaimana selama ini ia sama sekali tak pernah bertemu dengannya. “Bagaimana Om bisa kenal ayah saya?” Reza tak segera menjawab. Ia justru menatap Aidan dengan tatapan yang sulit diartikan. “Selesaikan tujuanmu di sini, lalu… ayo kita bicara di tempat lain.” Ucapnya kemudian. Aidan tampak menimbang-nimbang sejenak. Meski akhirnya ia tetap mengangguk mengiyakan. “Om tunggu di depan pagar makam.” Reza menunjuk ke arah luar. “Iya, Om.” Tepat setalah Aidan mengiyakan, Reza berlalu. Berjalan pelan keluar gerbang. Menunggu di sana sesuai ucapannya tadi. Sementara Aidan menyelesaikan ‘urusannya’ dengan makam ayahnya. Bercerita tentang harinya yang luar biasa. Bahwa ia lolos seleksi masuk fakultas kedokteran di universitas impiannya. Universitas tempat dahulu ayahnya mengenyam pendidikan dokter dan spesialisnya. “Kalo ayah masih hidup, pasti ayah bangga sama Aidan, ‘kan?” Aidan mengusap batu nisan yang sudah kusam itu pelan. Matanya berkaca-kaca. “Sebenarnya Aidan pengen kuliah hukum, jadi pengacara lalu memperjuangkan keadilan. Menghukum orang-orang yang membunuh ayah.” Rahang Aidan mengetat, tangannya mengepal. Air matanya sudah menetes. “Tapi Aidan salah langkah sejak awal. Maafkan Aidan, Yah.” Suaranya terdengar penuh penyesalan. Hening sesaat. Hanya terdengar suara gemerisik daun yang diterpa angin. “Tapi, Yah… Aidan yakin. Entah bagaimana caranya, kebenaran akan terungkap. Untuk itu, Aidan harus tetap berjuang. Aidan yakin, akan ada pengacara yang jujur dan mau membela kebenaran. Bukan hanya pengacara dan hakim yang haus uang dan jabatan.” Sekali lagi, ekspresi wajah Aidan mengeras. Seolah amarahnya menggelegak, membubung hingga ke ujung kepalanya. Aidan masih bertahan selama beberapa menit duduk mencangkung di tepi pusara ayahnya. Berbicara berbagai macam hal. Menceritakan kejadian-kejadian yang terjadi padanya. Seolah ayahnya sedang mendengarkan. “Ayah, Aidan pulang dulu. Nanti-nanti, Aidan kembali lagi.” Aidan berdiri, menepuk-nepuk celananya. “Oh ya, Aidan bertemu orang yang kenal dengan ayah. Setelah ini kami mau mengobrol sebentar. Semoga pertemuan ini membawa takdir baik, ya, Yah.” Ia tersenyum di akhir kalimatnya. Menatap sendu pusara yang sudah rata itu. Kemudian, mulai beranjak pergi. Langkah Aidan terlihat berat, seakan-akan ia belum puas duduk bermenit-menit sembari bicara panjang lebar. Tapi, seseorang sedang menunggunya. Ia tak bisa berlama-lama. “Sudah selesai?” Reza menyambut Aidan. “Iya.” Aidan menghampiri motornya. “Kamu sudah makan?” “Belum, Om.” Aidan menggeleng. Duduk di atas motor. “Mau ngobrol sambil makan? Om traktir.” Laki-laki itu tersenyum. Ikut duduk di atas motornya. Tadi ia duduk di tepi trotoar. “Boleh, deh.” Aidan mengangguk setelah beberapa detik terlihat mempertimbangkan tawaran Reza. Sejurus kemudian, dua buah motor yang membawa tubuh Reza dan Aidan melaju di jalanan. Aidan memilih mengekor dari belakang. Ia membiarkan Reza yang memilih tempat makan, sebagai pihak yang ditraktir ia merasa perlu melakukan itu. *** “Nama Om siapa?” Aidan lebih dulu membuka obrolan. Mereka sedang duduk berhadapan di warung lesehan. “Reza.” Jawab laki-laki itu singkat. “Bagaimana Om kenal dengan ayah?” Aidan mengulangi pertanyaannya saat mereka pertama bertemu di pusara sang ayah. Reza terlihat menghela nafas pelan. Meneguk air mineral langsung dari botolnya. Mengusap bibirnya. Kemudian menatap Aidan lekat. “Dulu, aku pernah jadi pasien ayahmu.” Ia memulai cerita. “Ah, bukan. Lebih tepatnya, anakku. Ya, anakku pernah dirawat oleh ayahmu. Sebulan penuh.” Aidan memperbaiki posisi duduknya. Ia merasa ini akan menjadi cerita yang cukup panjang. Untung saja hari itu ia tak ada kegiatan lain. Mungkin nanti ibunya akan meneleponnya, bertanya kenapa tidak cepat pulang. “Istriku melahirkan di usia prematur, tujuh bulan. Dia mengalami infeksi, anakku terancam meninggal di dalam kandungan jika tidak segera dikeluarkan. Setelah perawatan yang cukup intensif di rumah sakit, kondisi istriku stabil. Jadwal operasi ditetapkan. Singkat cerita, anakku lahir dengan berat 1,5 kilo saja.” Reza berhenti menatap Aidan. Kali ini ia menerawang. “Kau tahu seberapa besar bayi 1,5 kilo itu?” “Hm? Nggak tahu, Om.” Aidan menggeleng. “Kecil, sangat kecil. Mungkin sedikit lebih besar dari botol air mineral ini.” Katanya sembari mengacungkan botol minumnya. Aidan menelan ludah. “Lalu?” “Aku takut anakku tidak bisa bertahan. Dia anak yang kami tunggu-tunggu selama bertahun-tahun menikah. Aku juga takut istriku pergi meninggalkan kami. Saat itu, ada banyak ketakutan yang mengungkungku.” Seorang laki-laki mengantarkan segelas es jeruk pesanan Aidan ke meja mereka. Memotong cerita Reza sesaat. Setelah Aidan mengucapkan terima kasih dan laki-laki itu pergi, Reza melanjutkan ceritanya. “Saat itu, ayahmu yang merawat anakku. Dengan peralatan dan fasilitas yang ada di rumah sakit. Hari ketiga, anakku mengalami infeksi. Ayahmu menyarankan untuk merujuk anakku ke rumah sakit yang lebih besar dengan peralatan dan fasilitas yang lebih lengkap. Aku setuju saja.” Entah kenapa, Aidan jadi deg-degan mendengarkan cerita Reza. “Sayangnya, sampai tiga hari kemudian anakku tidak bisa dirujuk. Rumah sakit rujukan sedang penuh. Tidak mungkin mereka mengorbankan pasien lain demi anakku. Akhirnya, ayahmu meminta arahan dokter di sana untuk perawatan anakku di rumah sakit tempat ayahmu bekerja.” Kali ini, cerita Reza dipotong oleh seorang wanita yang membawa pesanan makanan mereka. “Lalu, Om?” Aidan tak sabar. “Seminggu berlalu, infeksi anakku membaik. Tapi dia belum bisa lepas dari alat bantu nafas, berat badannya juga belum naik optimal. Dia butuh waktu lebih lama di rumah sakit. Beruntung, istriku cepat pulih. ASI-nya juga melimpah, cukup untuk minum anakku.” Reza memberi jeda. Membiarkan dirinya mencerna makanan. Aidan melakukan hal yang sama. Meski sejak tadi ia sudah mulai makan lebih dulu. “Sekarang, bagaimana kabar anak Om?” Tanya Aidan di sela-sela kunyahannya. “Baik, baik. Dia tumbuh tak kalah baik dengan anak lain yang lahir cukup bulan. Setiap kali melihat anakku bertumbuh, aku selalu teringat ayahmu. Di antara sebab anakku yang bertumbuh dengan baik, ada usaha ayahmu yang tak pernah menyerah.” Reza tersenyum, namun matanya bersedih. Aidan menelan ludah. Rupanya, ini bukan hanya cerita yang panjang, tapi juga cerita yang emosional. “Berkat anakku juga, aku jadi mengenal ayahmu lebih dalam. Ayahmu bukan lagi hanya seorang dokter yang bertanggung jawab merawat anakku. Tapi juga teman bicara yang baik.” Tiba-tiba Reza tersenyum. “Dulu, ayahmu sering membicarakanmu. Anaknya yang sangat aktif dan kritis. Ayahmu yakin suatu saat kau akan jadi orang yang berguna.” Reza menatap Aidan haru. Seperti menatap anaknya sendiri yang sudah tumbuh besar. “Aku juga tahu betul seberapa besar keinginan ayahmu untuk membangun ruang bayi dengan fasilitas memadai. Demi menolong bayi-bayi lain yang memiliki nasib yang sama seperti anakku, atau bahkan lebih buruk.” Aidan tersentak. Ia sampai berhenti mengunyah makanan. Bagaimana bisa jawaban akan kebingungannya datang begitu cepat? Baru saja beberapa menit lalu ia bingung bagaimana mengungkapkan kebenaran yang ia ketahui, tapi saat ini sepertinya ia sudah menemukan partner yang tepat untuk memperjuangkan keadilan. “Om tahu soal kasus itu? Kasus pembangunan ruang NICU itu?” Suara Aidan terdengar bergetar. Jelas ia menahan gejolak di dalam dadanya. Reza mengangguk. “Iya, aku tahu. Aku mengikuti kasus itu. Dan aku yakin ayahmu tidak seperti yang dituduhkan. Tapi entah bagaimana semua bukti sangat memberatkan ayahmu. Hingga akhirnya, ah…” Reza mengusap wajahnya. Mendung mendadak menggelayut di sana. “Maafkan aku tidak datang saat pemakaman ayahmu. Aku terlalu sedih. Sekaligus marah.” Aidan terdiam. Sudah sejak tadi ia berhenti makan. Padahal nasi di piringnya masih tersisa cukup banyak. “Berarti, Om juga tahu kejadian yang sebenarnya?” Suara Aidan semakin bergetar, bibirnya pun demikian. “Tidak.” Reza menggeleng lemah. “Aku bukan pihak yang terlibat langsung dengan kasus itu. Tapi ayahmu pernah bilang, bahwa dia sama sekali tidak seperti yang dituduhkan. Itu kalimat terakhirnya yang kudengar langsung sebelum ayahmu masuk bui.” Aidan meletakkan sendoknya. Menarik nafas dalam, menghembuskannya perlahan. Ia sedang berusaha keras mengatur emosinya. Ia tak mungkin menangis di depan orang yang baru dikenalnya. “Ka-kalau saya punya sesuatu yang bisa membuktikan kalau ayah nggak bersalah, Om mau bantu saya untuk memperjuangkan kebenarannya?” Akhirnya, plong sudah d**a Aidan. Amarah yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah. Menguap dalam bentuk kalimat dan air mata. Reza tersentak. Kunyahannya berhenti. Sendoknya juga ia letakkan. Ia menatap Aidan lekat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN