Dua tahun sebelum pertemuannya dengan Reza, Aidan tak sengaja menemukan sebuah flashdrive yang sebagiannya sudah hangus. Tersembunyi di bawah lemari, di pojokannya. Berdebu, menandakan bahwa itu sudah ada di sana selama bertahun-tahun. Aidan menemukannya saat ia dan ibunya membereskan rumah, persiapan untuk pindah. Rumah yang ia tempati selama bertahun-tahun, rumah tempatnya dilahirkan, rumah yang berisi semua kenangan tentang ayahnya itu terpaksa harus dijual. Demi menyambung hidup. Demi menyambung hidup. Selain itu juga karena kakek nenek Aidan meminta mereka pindah sejak lama. Hidup seatap dengan pasangan sepuh itu, agar hari tua mereka tak lagi diisi dengan kekhawatiran tentang putrinya yang menjanda dan cucunya yang menjadi yatim.
Aidan tak menceritakan pada ibunya tentang temuannya itu. Melihat dari kondisi flashdrive itu, sepertinya flashdrive itu pernah terbakar. Tapi, rumah mereka tak pernah mengalami kebakaran sekecil apapun. Jadi, pasti ada alasan kenapa flashdrive itu terbakar. Entah disengaja atau tidak. Aidan akhirnya mencoba mencari seseorang yang bisa mengembalikan isi flashdrive itu. Sayangnya, dua tahun mencari, hanya beberapa file saja yang berhasil dibaca. Dan dari file-file itu Aidan mengetahui bahwa isi dari flashdrive itu adalah bukti-bukti penting terkait kasus yang melibatkan ayahnya. Maka jelaslah sudah alasan flashdrive itu ditemukan dalam keadaan terbakar sebagian. Aidan berasumsi bahwa ada seseorang yang hendak memusnahkan flashdrive itu demi menutupi kebenaran.
Betapa geramnya Aidan saat mengetahui kemungkinan yang terjadi di masa lalu, bahwa ayahnya benar-benar dijebak dan dijadikan kambing hitam padahal sebenarnya tak bersalah. Ia marah, marah sekali. Dadanya bergemuruh, ia hampir melempar barang-barang di kamarnya namun tak jadi, ia hampir berteriak sekeras yang ia bisa namun tak ia lakukan, ia marah tapi ia harus tetap diam. Hingga akhirnya ia harus meredam semua kemarahannya demi mengikuti tes masuk perguruan tinggi. Mengabulkan keinginan ayahnya dulu yang menginginkan dirinya mengikuti jejak sang mendiang.
Setelah bersabar beberapa bulan, ia sama sekali tak menyangka bahwa takdir justru akan mengantarkannya pada Reza. Orang yang memiliki kemarahan yang sama pada hukum yang tak adil. Orang yang kelak akan sangat membantu dalam perjalanannya mengungkapkan kebenaran.
“Maksudmu?” Alis Reza bertaut.
“Om tinggal di sekitar sini?” Aidan tak menjawab pertanyaan Reza, ia justru bertanya hal lain.
“Nggak. Aku tinggal di tengah kota. Kenapa?” Reza kembali meraih sendoknya, melanjutkan makan.
Aidan yang sudah mulai berhasil menguasai diri pun melakukan hal yang sama.
“Bisa nggak setelah ini kita ketemu lagi, Om?” Kali ini, dadanya diliputi semangat. Api amarah itu telah berubah, menjelma menjadi keinginan kuat yang membara.
“Bisa bisa. Mau ketemu di mana? Di sini atau di kota?”
“Hm… di kota saja. Dalam waktu dekat, saya akan pindah ke kota. Lanjut kuliah.” Kecepatan makan Aidan sudah kembali normal. Ia mengunyah dengan cepat, tangannya juga sibuk menyendok. Tak membiarkan mulutnya berhenti bergerak.
“Oh ya? Kuliah di mana?”
Aidan menyebutkan nama universitas tempatnya akan menempuh pendidikan dokter.
“Jurusan?”
“Kedokteran.”
“Wow!” Alis Reza terangkat. Takjub sekaligus tertarik. “Mengikuti jejak ayahmu?”
Aidan menggeleng. “Mengabulkan keinginannya.”
Reza mengangguk-angguk. “Ayahmu akan benar-benar bangga padamu, Dan.” Ia tersenyum.
Aidan menatap Reza lamat-lamat. Merasa seperti seorang anak yang mendapat pujian dari orang tuanya. Sekejap, rasa rindu akan kehadiran ayahnya hadir di hatinya.
Selanjutnya dua orang itu jadi sering bertemu. Entah bertemu di luar atau bertemu di tempat kerja Reza. Ya, satu unit apartemen yang isinya selalu berantakan itu adalah ruang kerja Reza. Sebuah unit apartemen di sebelahnya adalah kediaman Reza dan keluarga kecilnya. Aidan sudah bertemu dengan keluarga kecil Reza, hubungan mereka cepat dekat. Aidan juga jadi mengetahui bahwa Reza adalah seorang teknisi recovery data. Ia sudah menyerahkan flashdrive yang ia temukan padanya. Meski butuh waktu untuk benar-benar mengembalikan seluruh data di dalamnya, tapi Reza akan berusaha keras. Maka, benarlah jika pertemuan keduanya adalah sebuah takdir untuk mengungkapkan kebenaran.
Ada satu hal yang berbeda dari rencana Aidan, ia tidak jadi pindah ke kota. Ibunya melarangnya. Wanita separuh abad itu meminta putranya untuk pulang pergi saja dari rumah mereka di perbatasan kota. Maka Aidan menurut. Meski lelah, ia yakin akan tetap lebih baik menuruti kehendak orang tua satu-satunya itu daripada ngotot menolaknya.
***
“Kok baru pulang?” Seorang wanita paruh baya menyambut Aidan yang baru saja tiba. Wanita itu merapatkan jaketnya. Malam ini memang terasa cukup dingin.
“Maaf, Bu. Tadi habis dari tempat Om Reza.” Aidan mencium punggung tangan ibunya.
“Oh… apa kabar dia? Sehat?” Mereka berjalan beriringan, masuk ke dalam rumah.
“Sehat.” Aidan mengangguk. Ibunya memang belum tahu soal rencananya dan Reza untuk mengungkapkan kebenaran dari kasus yang melibatkan ayahnya.
“Sudah makan, Dan? Kalau belum Ibu bikinkan telur dadar.”
“Sudah, Bu. Tadi makan dulu.” Aidan meletakkan tasnya di kursi. “Kakek nenek sudah tidur?”
“Sudah.”
Aidan menatap ibunya lekat. Gurat letih itu terlihat nyata di wajah tuanya. “Ibu tidur aja, Aidan masih mau ngerjakan tugas.”
“Ya sudah, jangan tidur terlalu larut. Besok kuliah jam berapa?”
“Siang, kok, Bu.”
Wanita itu mengangguk. Masuk ke dalam kamar.
Aidan merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah, membiarkan tubuhnya istirahat sejenak. Ia menatap langit-langit rumah, pikirannya berkecamuk.
Beberapa menit termenung, Aidan menghela nafas panjang. Ia mengeluarkan ponsel dari tasnya. Membuka aplikasi i********:. Mengetik sebuah nama pengguna. Vasilissa Neraida. Sepersekian detik, akun i********: Nera tampil di layar ponselnya.
Aidan menggerakkan jempolnya ke atas dan ke bawah. Melihat sekilas foto-foto yang diunggah Nera. Tiba-tiba jempolnya berhenti. Matanya tertuju pada sebuah foto yang Nera unggah beberapa bulan lalu. Sebuah potret keluarga Nera yang bahagia. Ayah, Mama, Angel dan Nera terlihat di sana. Sedang makan di sebuah restoran ternama. Keterangan foto itu singkat, khas Nera sekali. Family dinner.
Cukup lama Aidan memandangi foto itu, hingga akhirnya ia melemparkan ponselnya ke sofa. Mulai mengambil laptop dari dalam tasnya. Menyalakannya, membuka file tugas kuliah yang harus ia selesaikan pekan ini. Mulai mengerjakan tugas sesuai yang ia ucapkan pada ibunya tadi. Sejenak, pikirannya yang berkecamuk itu tenggelam. Aidan sudah fokus mengerjakan tugas mata kuliah kedokteran tropis yang harus dikumpulkan senin pekan depan. Ia bertahan mengerjakan tugas hingga menjelang dini hari, lalu tertidur di sofa tanpa sempat pindah ke dalam kamarnya.
***
Aidan tiba di kampus satu jam lebih awal dari jadwal kuliahnya. Ia selalu melakukan itu, kecuali untuk kuliah pagi. Sebelum masuk kelas, Aidan selalu menyempatkan mampir ke ruang BEM. Menyapa teman-temannya, mengobrol dengan anggota BEM yang ada di sana, mungkin ada sesuatu yang bisa ia dapatkan dan lakukan. Seperti hari ini, ternyata panitia Neomicin baru selesai rapat untuk menyusun proposal kegiatan.
“Hai, Ra.” Aidan tersenyum menyapa Nera. Mereka bertemu tepat di pintu ruang BEM. Hampir saja saling bertabrakan.
“Eh? Hai, Kak…” Nera tersenyum tipis. Di sebelahnya, Izza juga menyapa singkat.
“Habis ngapain?” Aidan celingukan ke dalam ruangan. Ada beberapa orang yang masih bertahan di dalam sana.
“Rapat buat nyusun proposal. Oh ya, ada yang mau didiskusikan dengan Kak Aidan. Tapi… biar divisi acara saja yang menghubungi Kak Aidan dan Kak Wina.”
“Hm? Oke.”
“Kita duluan, ya, Kak.” Nera melambaikan tangan.
“Ra, kenapa nggak kamu aja yang bicara langsung sama Kak Aidan?” Tanya Izza begitu mereka berlalu. Aidan mendengarnya.
“Enggak. Biar divisi acara aja.” Jawab Nera dingin.
“Kenapa?”
“Hm, aku… nggak nyaman berdekatan dengan Kak Aidan.”
Deg! Aidan mendengar jawaban Nera samar-samar. Tapi, urusan perasaan tak perlu ia pusingkan saat ini. Maka Aidan berlalu, masuk ke dalam ruang BEM. Lagipula dua gadis itu juga sudah berjalan lebih jauh. Ia takkan lagi bisa mendengar percakapan mereka.
“Kenapa? Gara-gara semalam, ya?” Izza menatap Nera penuh selidik.
“Hm… sepertinya. Pokoknya aku nggak nyaman.” Mereka terus berjalan, menyusuri jalan setapak di pinggiran taman kampus menuju ruang kelas.
Izza mengangguk-angguk. Ia mengerti. Pasti ada orang-orang yang tidak nyaman berada di dekat orang yang menaruh perasaan spesial padanya.
“Tapi tetap saja, jangan sampai mempengaruhi kinerja kalian dalam mempersiapkan kegiatan tahunan kampus.” Izza mengingatkan. Posisi Nera dan Aidan sangat penting dan saling berhubungan. Mau tak mau, keduanya tetap akan sering bertemu dan terlibat satu sama lain.
“Iya. Aku tahu. Karena itu aku butuh waktu. Untuk sementara, aku nggak mau terlibat langsung dengan Kak Aidan.” Ucap Nera serius. Ia sudah membulatkan tekad.
“Oke.”
Sementara itu di ruang BEM, Aidan sudah diserbu oleh dua orang panitia Neomicin dari divisi acara. Sesuai kata Nera, ada yang perlu mereka diskusikan. Itu terkait teknis pelaksanaan lomba.
“Untung aku datang satu jam lebih cepat dari jadwal kuliahku.” Ujar Aidan.
“Hehe, iya, Kak.” Salah satu di antara mereka nyengir kuda. Gigi-giginya yang putih terpampang jelas.
“Lain kali, kirim pesan aja dulu kalau ada perlu yang cukup menyita waktu. Biar obrolan kita nggak terputus.” Aidan memberi saran.
“Iya, Kak.” Mahasiswa itu masih nyengir saja.
“Oh ya, kenapa ketua kalian nggak ikut diskusi juga?” Aidan sengaja memancing. Ia ingin tahu apa alasan yang disampaikan Nera pada anggota panitia yang lain.
“Dia ada kelas. Lagipula ini memang tugas kami untuk menyusun dengan detail teknis pelaksanaan kegiatan nanti.”
“Hm?” Sebelah alis Aidan terangkat. Kemudian ia mengangguk-angguk. “Benar juga.”
Selanjutnya, mereka bertiga mulai tenggelam dalam pembicaraan yang cukup serius. Aidan banyak memberi pandangan tentang teknis pelaksanaan kegiatan Neomicin tahun lalu. Sedangkan dua orang itu banyak memberi masukan kreatif dan inovatif.
“Sepertinya, nggak salah kalian berdua dipilih jadi divisi acara.” Aidan memberi pujian. Dua mahasiswa tingkat dua itu tersenyum simpul.
“Oh ya, Kak. Soal babak kualifikasi yang rencananya dilaksanakan online, teknisnya bagaimana?” Salah seorang dari mereka bertanya.
“Belum tahu. Kita tunggu keterangan lebih lanjut dari dokter Anita.”
Dua mahasiswa itu mengangguk-angguk bersamaan. Aidan melirik jam dinding di ruang BEM. Lima menit lagi jadwal kuliahnya akan dimulai.
“Kalau sudah nggak ada yang dibicarakan, aku pergi dulu, ya? Ada kelas.”
“Oh iya, Kak. Makasih banyak.” Sahut mereka sumringah.
“Lain kali, meski aku dan Wina tidak harus hadir saat rapat, tolong kabari saja kalau mau ngadain rapat. Kalau bisa aku juga mau hadir.” Aidan memberi pesan sebelum benar-benar pergi.
“Siap, Kak.”
Aidan melambaikan tangan, berpamitan. Ia bergegas ke ruang kelas. Setengah berlari menyusuri jalan setapak.