Kantor pengadilan kota, seorang laki-laki tambun berkacamata terlihat sedang memijit pelipis. Di hadapannya, sebuah berkas gugatan perkara sedang terbuka. Ia baru saja membaca isinya.
Tok tok tok…
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Laki-laki tambun itu merapikan duduknya, memperbaiki ekspresi wajahnya yang tadi terlihat gelisah. Ia berdehem beberapa kali.
“Masuk!” Ia berteriak pada orang yang berada di balik pintu.
Pintu terbuka. Wajah Bambang muncul dari baliknya.
“Kamu rupanya.” Laki-laki tambun itu menghela nafas lega. Ekspresi wajahnya kembali.
“Ada apa, Pak?” Bambang berdiri di depan meja.
“Ayo duduk dulu.” Laki-laki itu menunjuk sofa yang ada di ruangan itu.
Bambang mengangguk, duduk di sofa panjang. Sementara laki-laki tambun itu duduk di salah satu sofa tunggal. Tubuhnya yang besar memenuhi seluruh sudut sofa. Kedua tangannya ia letakkan di sandaran tangan sofa.
Bruk!
Berkas yang sedang ia baca tadi dilempar ke atas meja.
“Bagaimana bisa jadi begini, Bambang?!” Akhirnya, amarah dan kegelisahannya meluap.
Bambang menarik nafas dalam. Sejak menerima kabar soal gugatan untuk diselidiki ulang kasus penggelapan uang belasan tahun silam itu, Bambang yakin hari ini akan tiba. Cepat atau lambat, kabar itu akan sampai ke telinga laki-laki ini. Seorang hakim ketua yang menetapkan hukuman atas pelaku kasus penggelapan uang itu belasan tahun silam.
“Kita bisa bekerja sama dengan kepala kejaksaan untuk menolak kasus ini, Pak.” Bambang memberi solusi. Sebelumnya ia juga sudah menghubungi kepala kantor kejaksaan. Mendiskusikan hal serupa.
“Kau yakin bisa ditolak?”
“Tentu saja, Pak. Banyak pihak yang tentunya keberatan jika kasus ini dibuka kembali.” Bambang tersenyum tipis. “Saya juga sudah bertemu kepala kantor kejaksaan.”
“Lalu, apa katanya?” Sang hakim ketua terlihat penasaran.
“Iya. Gugatan itu akan ditolak.” Jawabnya dengan senyum penuh kemenangan.
Laki-laki tambun itu menghela nafas lega. “Bagus bagus!” Pujinya puas.
Bambang juga tersenyum lebar di kursinya. Merasa telah berhasil memadamkan bara api yang siap melahap pohon tempat mereka bernaung.
“Tapi, kamu bilang sudah tidak ada lagi bukti yang bisa memberatkan kita, tapi apa ini? Penggugat bilang dia punya bukti yang bertentangan.” Alis laki-laki itu bertaut. Dahinya berkerut. Wajahnya terlihat tak suka.
Bambang memajukan duduknya. Menarik nafas dalam sebelum mulai berbicara. “Saat itu saya juga sudah memastikan bahwa tidak ada lagi bukti yang bisa memberatkan kita, tapi mungkin saja ada yang terlewat oleh kita. Yah, namanya manusia, pasti ada kurangnya.” Bambang mencoba membela diri. “Karena itu, kasus ini tidak boleh sampai diangkat kembali. Kita belum tahu bukti apa yang dimiliki penggugat. Bisa juga bukti itu hanya akal-akalan dia saja. Karena itu, jangan sampai diberi kesempatan.” Bambang menggeleng tegas.
Laki-laki tambun itu mengangguk setuju. “Benar. Jangan sampai disetujui meski gugatan terus masuk. Kalau bukti yang dia miliki tak terbantahkan, kita bisa berada dalam masalah.”
Bambang mengangguk mantap.
“Ya sudah, maaf membuatmu harus jauh-jauh datang kemari. Kau pasti sibuk. Pengacara kondang yang hampir selalu memenangkan kasus.” Kini, wajah menyebalkan laki-laki tambun itu sudah terlihat sumringah lagi. Kegelisahan yang tadi terlihat sangat pekat mendadak sirna. Hanya karena beberapa kalimat yang diucapkan Bambang.
“Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih sudah mengundang saya ke sini.” Bambang beranjak dari duduknya. Ia mengulurkan tangan.
Laki-laki tambun itu membalas uluran tangan Bambang. Menggenggamnya erat. “Pastikan berkas gugatan kasus ini tidak mampir lagi ke mejaku.” Ujarnya memberi peringatan.
Bambang menelan ludah. “Baik, Pak.”
Laki-laki tambun itu tersenyum, melepas jabatan tangannya. Berjalan ke arah pintu, membukakan pintu untuk Bambang. Sekali lagi, Bambang tersenyum dan mengangguk, berpamitan dengan sopan.
Bambang menghela nafas panjang. Berjalan cepat menyusuri lorong kantor pengadilan. Pikirannya berkecamuk. Ya, untuk saat ini gugatan itu memang berhasil ditolak. Tapi, jika gugatan itu diajukan kembali, sulit bagi kepala kejaksaan menolak untuk yang kedua kalinya. Hal itu pasti akan mengundang banyak pertanyaan dan kecurigaan. Apalagi jika awak media sampai mendengar, habis sudah. Mereka terpaksa harus menerima gugatan itu dan menjadwalkan sidang. Maka, untuk mencegah hal itu terjadi, Bambang harus mengusut lebih dulu bukti apa yang dimiliki penggugat.
Pramana, adalah jaksa yang mengajukan gugatan itu. Seorang jaksa muda yang terkenal bersih dan jujur. Pantang menyerah membela pihak yang benar-benar menjadi korban. Seorang jaksa muda yang berhasil membalikkan tuduhan atas kasus kecelakaan lalu lintas yang melibatkan warga sipil dan seorang anak dari petinggi aparat kepolisian. Ia memenangkan kasus tersebut, menguak fakta busuknya petinggi aparat kepolisian yang berusaha menutupi kesalahan anaknya itu. Bambang menarik nafas dalam, Pramana bukanlah lawan yang mudah. Maka sebelum gugatan itu diajukan kembali, ia harus menemuinya.
Langkah-langkah Bambang berderap. Ia berlari menuju tempat mobilnya diparkir.
***
Pukul tiga sore, kuliah Aidan dan Nera selesai bersamaan. Mereka tak sengaja bertemu di jalan menuju tangga. Nera yang terkejut segera balik badan. Itu reflek saja dari kemauan alam bawah sadarnya untuk menghindari Aidan.
“Ra…” Panggil Aidan.
Nera segera menghentikan gerakannya. Kembali membalikkan badannya.
“Ya, Kak?” Sayangnya, di saat seperti ini Izza justru sedang tak bersama dirinya.
“Ke kantin sebentar, yuk! Ada yang mau aku bicarakan.” Ajak Aidan sembari tersenyum ramah.
Nera tak segera menjawab. Ia hanya diam menekuri lantai. “Aku…”
“Apa kamu mau bicara di sini saja?” Aidan memotong kalimat Nera. Matanya melirik kerumunan mahasiswa yang sedang menuju ke arah mereka. Lebih tepatnya, menuju tangga.
Nera menoleh. Ia mengerti apa maksud Aidan. “Ya sudah. Ayo, Kak.”
Aidan tersenyum. Berjalan mendahului Nera.
Dalam hitungan detik, kerumunan mahasiswa itu sudah bergabung dengan mereka. Menuruni anak tangga sembari mengobrol berbagai macam hal. Beberapa mahasiswa terlihat menyapa Aidan. Mengobrol sebentar kemudian berjalan mendahului. Nera sesekali celingukan, mencari Izza. Gadis itu tadi belum keluar kelas saat Nera memilih meninggalkan kelas lebih cepat. Rupanya, kerumunan itu adalah kerumunan kakak tingkatnya. Mahasiswa angkatan yang sama dengan Aidan.
“Dan!” Di antara kerumunan itu ada Sabil. Ia berseru memanggil Aidan.
“Kenapa?” Aidan menoleh, menjawab panggilan temannya.
Nera beringsut. Bersembunyi di antara kerumunan. Malas bertemu teman Aidan itu.
“Kok buru-buru, sih?” Sabil merangkul Aidan akrab.
“Ada perlu. Kenapa?”
“Mau ke mana?”
“Hm…” Aidan melirik ke arah Nera. Mendapati gadis itu sedang sibuk menyingkir. “Ada, deh!” Jawabnya setelah memahami situasi.
“Duh, main rahasia-rahasiaan nih sekarang?” Sabil memicingkan matanya yang memang sudah sipit.
“Hahaha!”
“Ya sudahlah, aku pulang duluan, ya?”
“Oke.”
Sabil berlalu, bersama dengan rombongan mahasiswa yang mulai berpencar. Begitu juga dengan Aidan dan Nera. Mereka berjalan menuju kantin. Tidak beriringan, tidak berdekatan. Mereka berjalan dalam jarak yang cukup jauh. Nera benar-benar malas ditatap sedemikian rupa oleh mahasiswa lainnya.
Sore hari, tidak banyak mahasiswa yang mendatangi kantin. Lebih banyak yang sudah pulang, menyelesaikan tugas di perpustakaan, mengikuti kuliah, atau sekedar nongkrong di ruang BEM dan gazebo kampus. Pilihan tepat Aidan mengajak untuk bicara di kantin. Tidak banyak orang dan bukan tempat terbuka.
“Mau pesen apa, Ra?”
“Eh?” Nera kaget mendapati Aidan sudah berdiri di sebelahnya. “Pengen makan siomay.”
Aidan mengangguk-angguk. Ia memilih memesan gado-gado.
Usai memesan menu makanan pilihan mereka sendiri-sendiri, Aidan memilih duduk di kursi yang jauh dari tatapan mata orang yang lewat di depan kantin. Nera setuju. Mereka berdua duduk berhadapan.
“Mau bicara apa, Kak?” Nera langsung ke inti pembicaraan.
“Wah, aku nggak dikasi waktu buat basa-basi nih, ya?” Seloroh Aidan. Ia baru saja selesai meletakkan tasnya yang berat di kursi sebelahnya.
“Supaya cepet aja.” Nera berkilah.
Aidan mengangguk-angguk. “Apa kalau obrolan kita sudah selesai kamu bakal pindah tempat duduk?”
Deg! Nera tersentak dengan pertanyaan yang dilontarkan Aidan. “Hm… entahlah.” Ia mengedikkan bahu. Meski ingin menjaga jarak dengan Aidan, sepertinya ia takkan sampai melakukan hal itu.
Aidan terkekeh. “Aku bercanda, Ra.”
Nera mendengus pelan. Merasa dipermainkan. “Jadi mau bicara apa, Kak? Soal persiapan Neomicin? Atau apa?” Tanyanya ketus.
Aidan berdehem. Ia mengerti Nera tidak sedang ingin bercanda. Intonasi suara gadis di hadapannya itu bahkan terdengar sangat tidak bersahabat. Maka, tak ada gunanya ia mengulur waktu dengan basa-basi yang justru mungkin membuat Nera jengkel.
“Ra…” Panggilanya lembut. Aidan menatap gadis di hadapannya lekat. “Kamu menghindariku, ya?”
Nera menelan ludah. Tapi, ia sudah mengantisipasi hal ini. Aidan memang orang yang cukup peka.
“Iya.” Ia mengangguk. Tak ada alasan untuknya mengelak.
Aidan menghela nafas panjang. Tatapannya belum beralih, masih telak menatap kedua bola mata Nera yang jernih. “Kenapa?” Suaranya terdengar pelan.
“Aku... nggak nyaman.” Hanya itu kalimat yang keluar dari bibir Nera. Ia merasa tidak perlu meminta maaf karena telah menghindari Aidan.
“Karena sikapku semalam di warung lalapan?”
“Iya.” Jawab Nera mantap. Ia memang tidak berencana mengelak. Bagi Nera, tidak ada gunanya sibuk memikirkan reaksi orang lain. Ia hanya perlu menyampaikan apa yang perlu disampaikan. Karena tidak ada orang yang bisa membaca isi hati dan pikiran orang lain.
“Aku… minta maaf, Ra.” Suara Aidan terdengar tulus, pun sorot matanya. Tapi, entah kenapa, Nera justru melihat satu kemantapan hati di sana. “Tapi, kalau kamu memintaku untuk menghindarimu juga, menjaga jarak darimu juga, aku nggak bisa, Ra.” Aidan menggeleng tegas.
Nera menahan nafas. Ia pikir Aidan akan langsung mundur ketika ia jujur mengatakan isi hatinya.
“Apa yang salah dari menyukai orang lain? Apa hanya karena kamu nggak punya perasaan yang sama denganku lalu aku harus menyerah?” Aidan mengangkat alis. Meminta jawaban atas pertanyaannya.
Nera bergeming. Rupanya, Aidan bukan lawan yang mudah. Laki-laki ini tidak akan berhenti sebelum ia mencapai tujuannya.
“Silakan kalau kamu mau terus menghindariku, Ra. Tapi itu percuma. Kita berada dalam satu organisasi yang sama, kita sedang mengerjakan persiapan kegiatan yang sama, kita akan tetap sering bertemu dan berkomunikasi sekalipun kamu nggak suka.” Kini, intonasi suara Aidan terdengar optimis.
Nera masih belum menjawab. Ia tak memberi respon apapun selain balas menatap Aidan.
“Ra…” Suaranya sudah kembali lembut.
Entah bagaimana, panggilan yang sudah ribuan kali Nera dengar itu mendadak terdengar spesial saat Aidan mengucapkannya.
“Aku bukan orang yang gampang menyerah hanya karena kamu menghindariku. Mereka yang cepat menyerah ketika kamu bersikap seperti ini, itu karena mereka nggak serius dengan perasaan mereka padamu.”