Malam beranjak naik. Semburat merah di kaki langit sudah hampir menghilang. Menyisakan gelap yang kian menggulita. Membuat cahaya dari milyaran bintang yang bertebaran tampak semakin berkilau. Bersanding dengan cahaya rembulan yang menguasai langit malam. Pemandangan itu, harusnya memesonakan sesiapa yang melihatnya. Namun, keindahan langit itu sama sekali tak mampu menarik perhatian Bambang. Laki-laki itu sedang duduk gelisah di sebuah restoran. Ia hanya ditemani segelas air putih.
Tak lama berselang, seorang laki-laki mengenakan setelan kemeja rapih menghampiri meja Bambang. Laki-laki itu tersenyum.
“Sudah dari tadi, Pak?” Sapanya. Ia duduk di hadapan Bambang.
“Tidak, baru saja.” Jawab Bambang datar. “Kau ingin memesan sesuatu? Sekalian makan malam.”
“Ah, tidak. Penghasilan saya dari menjadi pengacara tidak sebanyak itu sampai bisa membayar makan malam di restoran ini. Saya biasa membeli makan di warung dekat tempat tinggal saya.”
Intonasi bicara laki-laki itu terdengar tenang, pun tak ada yang salah dengan kalimatnya. Tapi entah kenapa Bambang merasa tersinggung.
Bambang menelan ludah kemudian berdehem pelan. “Tidak apa-apa, pesan saja. Aku yang bayar.” Ia tersenyum. Basa-basi saja, sih.
“Wah, saya nggak enak. Merasa merepotkan.” Laki-laki berkemeja biru itu, Pramana tersenyum. Senyum basa-basi.
“Tidak apa-apa, pesan saja.”
Sebenarnya Bambang tidak terlalu ingin mentraktir Pramana. Tapi, urusannya kali ini harus berjalan mulus. Setidaknya, kalau laki-laki itu sampai memesan makanan, mereka ada cukup banyak waktu untuk bicara. Dan jika Bambang yang membayar makanannya, itu artinya Pramana akan merasa berhutang budi pada Bambang. Logika Bambang begitu. Tapi, tidak ada yang tahu bagaimana Pramana akan bersikap. Bambang belum mempelajari track record lawannya itu.
“Wah, kalau Anda sampai memaksa begini, saya makin nggak nyaman. Tapi, berhubungan perut saya juga sedang meminta diisi, baiklah… hari ini saya akan membiarkan Anda membayarkan makanan saya.” Pramana pandai sekali bicara. Sikapnya juga terlihat tenang dan percaya diri.
“Silakan dipilih. Tidak perlu sungkan, pesan saja apa yang ingin kamu makan.” Sekali lagi, ini hanya basa-basi saja.
Lalu, keduanya sama-sama tenggelam dalam buku menu itu. Memilih menu yang cocok untuk disantap di malam hari.
“Untung saja Anda mengajak bertemu di restoran jawa. Lidah saya nggak cocok sama masakan luar negri.” Pramana menutup buku menunya.
“Jadi pesan apa?”
“Yang simpel saja, gulai kepala ikan dan jeruk hangat.”
Bambang mengangguk. Dari kursinya, ia memanggil seorang pramusaji. Menyebutkan pesanan mereka. Pramusaji itu mengangguk, mengulangi daftar menu pesanan. Lalu setelah mendapat persetujuan dari Bambang, ia pamit dan berlalu.
“Jadi, apa tujuan Anda mengajak bertemu?” Pramana melipat tangan di atas meja. “Ah, biar saya tebak!” Ucapnya kemudian. Bahkan Bambang belum sempat buka suara. “Apakah ini soal gugatan kasus penggelapan uang delapan tahun lalu?”
Bambang berdehem pelan. Meneguk air minumnya.
“Ternyata benar.” Pramana tersenyum. “Apa yang ingin Anda tanyakan?”
“Kenapa kau mengajukan gugatan itu?” Tanya Bambang tajam. Ia tak lagi berusaha basa-basi atau membangun suasana hangat untuk pembicaraan ini. Sepertinya, untuk menghadapi Pramana lebih baik jika bersikap blak-blakan saja.
“Kenapa? Bukannya sudah saya tuliskan di sana? Anda tidak membacanya?” Tentu saja pertanyaan itu hanya untuk menyindir Bambang. Tidak mungkin pengacara sekelas Bambang tidak membaca dokumen gugatan yang masuk.
Bambang mendengus. “Bukan itu maksudku. Aku bertanya alasan yang paling mendasar.” Bambang memberikan penekanan pada intonasi suaranya. Anak muda di hadapannya itu sepertinya punya bakat bersikap kurang ajar.
“Alasan paling mendasar, ya? Hm…” Pramana terlihat berpikir keras. “Bagaimana kalau saya jawab, untuk mengungkapkan kebenaran?” Laki-laki itu menyeringai. Menatap lurus ke arah Bambang.
Yang ditatap justru menelan ludah. Bukan karena kalimat Pramana, tapi karena sorot mata laki-laki itu. Itu adalah sorot mata penuh percaya diri dan tak kenal takut.
“Terlalu berlebihan, ya?” Pramana masih melanjutkan bicara. “Yah, untuk orang seperti Anda, dengan track record seperti Anda, alasan saya memang terdengar seperti sebuah omong kosong.” Ia mengangkat bahu tak peduli. Pramana menyandarkan punggungnya, bibirnya menyeringai.
Seorang pramusaji datang, membawa pesanan minuman mereka. Sedikit selingan itu memberikan jeda waktu yang cukup untuk Bambang menguasai diri. Karena beberapa saat lalu, sumbu emosinya hampir saja tersulut.
“Aku tak peduli apa maksud ucapanmu barusan…” Ucap Bambang begitu pramusaji tadi berlalu dari meja mereka. “Tapi, aku tertarik dengan alasan yang kau tulis di dokumen pengajuan gugatan.”
“Oh ya? Memangnya kenapa?” Pramana benar-benar mahir bersikap menyebalkan.
Bambang mencondongkan tubuhnya ke arah Pramana. “Kau bilang, kau punya bukti yang bertentangan dengan hasil sidang delapan tahun lalu?”
“Ah… iya benar. Lalu?”
Bambang mengembalikan punggungnya ke sandaran kursi. “Yang benar saja! Kau tahu apa yang terjadi saat itu? Bukti-bukti yang ada sudah telak menunjukkan siapa pelakunya.”
“Hm? Begitukah?” Pramana mengangkat alis. Wajahnya masih terlihat menyebalkan. “Bukti yang ada, atau bukti yang sengaja diadakan demi kepentingan orang-orang yang menyuap Anda?”
“Kau!” Bambang hampir saja beranjak dari duduknya. Wajahnya sudah mulai memerah. Sejak tadi, ia berusaha mati-matian menahan emosi di depan anak muda itu.
Pramana terkekeh. “Tenanglah! Kenapa Anda begitu marah?”
“Jaga ucapanmu!” Hardik Bambang. Ia sedang berusaha menahan diri agar tetap tenang. Bagaimanapun, ini ruang terbuka. Banyak mata yang menyaksikan mereka.
“Pak…” Pramana kembali melipat tangan di atas maja. Matanya memicing menatap Bambang yang hidungnya kembang kempis menahan amarah. “Kenapa Anda susah-susah menemui saya? Padahal gugatan saya pasti sudah ditolak, ‘kan?”
“Apa?!” Bambang meradang. Anak muda itu benar-benar memancing emosi.
“Kenapa? Ucapan saya salah? Yah, meski penolakan itu belum sampai ke telinga saya, tapi saya sudah bisa memastikan itu akan terjadi. Kenapa? Karena ada banyak orang yang merasa terancam jika kebenaran terungkap. Termasuk Anda dan hakim mata duitan itu!” Pungkas Pramana tajam.
Bambang geram bukan main. Wajahnya merah padam, giginya bergemeletuk, tangannya mengepal kuat. Tapi ia tak bisa melakukan apapun. Berteriak marah, menampar Pramana, menyiram air, menggebrak meja, semuanya akan menarik perhatian. Bagaimana jika di antara pengunjung restoran itu ada yang mengabadikan kejadian itu dan mengunggahnya ke media sosial? Habis sudah! Mereka akan terkenal dalam waktu singkat. Reputasinya akan hancur berkeping-keping.
Maka, yang bisa ia lakukan saat ini adalah bersabar. Yang penting sekarang gugatan itu sudah ditolak. Soal Pramana mengajukan gugatan lagi, itu urusan nanti.
***
Sudah satu minggu berlalu sejak Aidan dan Nera makan bersama di kantin sore itu. Aidan benar-benar menepati janjinya, ia sama sekali tak memperpendek jarak antara dirinya dan Nera. Ia justru terang-terangan memberi perhatian. Tidak, tidak dengan sikap yang norak dan mengundang tawa. Tapi justru dengan sikap yang lembut dan membuat hati hangat. Ini mengerikan, sangat mengerikan bagi Nera. Karena ia justru terkesan mengabaikan kebaikan hati Aidan. Ah, bukan itu yang terpenting. Ini justru mengerikan bagi hati Nera, yang semakin hari bukannya sebal pada Aidan, tapi justru semakin galau dan kacau tak karuan.
Untungnya, kemarin Dokter Anita memanggil mereka, mengatakan bahwa bagian IT kampus sudah berhasil mengembangkan aplikasi yang rencana akan digunakan untuk babak penyisihan. Namun, mereka masih membutuhkan uji coba dalam skala besar untuk mengukur performa aplikasi itu. Karena itu, sejak kemarin Aidan dan panitia Neomicin sedang sibuk sekali. Mereka mencari sukarelawan yang mau mengikuti kegiatan uji coba itu. Tak hanya itu, mereka juga harus menyewa ruang laboratorium komputer selama minimal dua jam. Aidan dan Nera benar-benar sibuk. Tapi, ini justru kabar baik untuk Nera. Karena Aidan tak punya kesempatan untuk mendekatinya.
Bayangan pohon di depan kampus sudah berada di sebelah timur, ia juga sudah terlihat lebih besar dan panjang. Itu artinya, matahari sudah menduduki wilayah barat langit yang terlihat dari bumi. Nera sedang berdiri bersandar ke pagar di atap gedung laboratorium komputer. Menikmati pemandangan sore yang indah. Menatap matahari di ufuk barat yang bersinar jingga. Membiarkan wajah dan rambutnya dipermainkan oleh angin. Memanjakan telinganya dengan suara kicauan burung yang terdengar merdu.
Nera menghela nafas ringan. Meski hari ini dan kemarin terasa sangat panjang dan melelahkan, tapi ia bahagia. Seluruh energinya dihabiskan untuk hal-hal yang bermanfaat. Itu jauh lebih baik daripada ia menghabiskan waktu dengan duduk termenung di balkon kamarnya.
“Di sini rupanya.”
Sontak Nera menoleh. Aidan sedang berjalan menghampirinya. Membawa dua buah botol air mineral dingin.
“Nih!” Ia menyodorkan salah satu botol itu.
Nera membiarkan tangan itu mengambang di udara selama beberapa saat. Aidan menggoyangkan botol di tangannya. Akhirnya, mau tak mau Nera menerima botol air mineral itu.
Nera balik badan. Kembali menatap langit yang bersemburat jingga. Mencoba tak menghiraukan kehadiran Aidan di sampingnya.
“Kamu sudah bekerja keras, Ra.” Suara Aidan terbawa angin masuk ke telinga Nera. Membuat gadis itu menoleh.
“Ya?” Tanyanya. Entahlah, ia sering sekali lambat merespons Aidan.
“Kamu sudah bekerja keras, Ra. Terima kasih untuk beberapa hari ini. Ke depannya, kamu harus terus bekerja keras.” Aidan tersenyum. Matanya menyipit oleh karena menangkap cahaya matahari.
“Ah, iya. Pasti, Kak.” Nera balas tersenyum, kemudian kembali menatap cakrawala di kejauhan.
Tidak bisa dipungkiri, Aidan memang orang yang pandai menghargai orang lain. Melihat usaha-usaha orang lain, mengapresiasinya, membuat orang lain merasa berharga. Tak terkecuali Nera.
“Bagaimana?”
“Hm? Apanya?” Sekali lagi, Nera menoleh. Kali ini, ia mendapati Aidan sedang menatapnya dalam. Cepat-cepat ia memalingkan muka. Itu adalah tatapan yang harus dihindari. Karena itu tatapan yang sangat mematikan, terutama untuk akal sehatnya.
“Kamu sudah nggak menghindariku.”
Tanpa menoleh pun Nera tahu saat ini Aidan sedang tersenyum.
“Iya. Yah… mau bagaimana lagi? Seperti kata Kak Aidan, mau nggak mau kita akan sering bekerja sama.”
Aidan tertawa pelan.
Lewat ekor mata Nera, ia bisa melihat Aidan mengambil posisi yang sama dengannya. Laki-laki itu tak lagi menatapnya. Melainkan memanjakan matanya dengan pemandangan sore yang menakjubkan. Ya, langit sore itu indah sekali, seperti lukisan. Ah, bukan. Lukisanlah yang mencoba meniru pemandangan indah itu.
“Lalu… bagaimana?” Aidan bertanya lagi.
“Apa lagi yang bagaimana?”
“Perasaanmu. Ada yang berubah dari perasaanmu padaku, Ra?”
Glek! Nera menelan ludah sekali lagi.
Aidan ini sungguh berbahaya.