“Kamu beneran nggak pulang bareng aku?” Fatih menurunkan kaca mobilnya.
Nera menggeleng pelan. “Aku pengen jalan kaki.”
“Sudah sore, loh.”
“Iya, aku tahu. Tapi aku pengen jalan kaki aja.”
Fatih terdiam. Ia menatap Nera cukup lama. Kemudian mengangguk pasrah. “Ya sudah. Hati-hati. Kalau ada apa-apa kabari, ya?” Meski begitu, ekspresi Fatih terlihat khawatir.
“Iya, iya. Aku bukan anak kecil, kok.” Nera tersenyum. Menepuk kaca mobil Fatih, mengisyaratkan untuk segera ditutup.
“Ya sudah, aku duluan.” Fatih melambaikan tangan.
Nera membalasnya.
Akhirnya mobil Fatih berlalu. Meninggalkan Nera seorang diri di trotoar depan kampusnya. Gadis itu menghembuskan nafas panjang. Kemudian mulai melangkah menyusuri trotoar yang sepi. Nera membiarkan langkahnya mengayun pelan. Sepelan isi kepalanya yang memproses banyak hal. Ya, kadang-kadang ia senang melakukan hal ini. Berjalan pelan sendirian, membiarkan otaknya memproses hal-hal rumit yang membuatnya bingung dan tidak mengerti. Dan kali ini, sesuatu yang membuatnya bingung adalah perasaannya sendiri.
Nera terus melangkah maju. Menaiki tangga besi menuju jembatan penyebrangan. Sebenarnya, bisa saja ia menyebrang di perempatan jalan sana. Tapi, itu akan menganggu proses mengurai perasaan yang sedang dilakukan hati dan otaknya. Maka, ia memilih melewati jembatan penyebrangan. Lagipula, pemandangan kota terlihat lebih indah dari atas jembatan penyebrangan ini.
Nera berhenti di tengah-tengah jembatan penyebrangan. Menatap pemandangan jalanan di depan kampusnya dari atas, entah kenapa membuatnya merasa lebih tenang. Nera berdiri cukup lama di sana. Membiarkan angin senja membelai-belai pipinya. Membiarkan memori otaknya kembali memutar kejadian di atas atap gedung laboratorium beberapa waktu lalu.
Pada akhirnya, Nera tak menjawab pertanyaan Aidan. Ia membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa adanya jawaban di antara keduanya. Aidan pun sepertinya mengerti keinginan Nera. Ia membiarkan Nera menatap jauh ke ujung kaki langit. Seolah sengaja membiarkan gadis itu tenggelam dengan perasaannya yang mendadak rumit. Hingga beberapa menit kemudian, Aidan berpamitan. Bilang bahwa ada sesuatu yang harus ia selesaikan sebelum pulang. Nera mengangguk, membiarkan laki-laki itu berlalu.
Kini, tinggallah Nera yang sedang kebingungan dengan perasaannya. Ah, urusan perasaan ini memang selalu rumit. Karena terkadang, ia sulit didefinisikan. Lebih sering juga ia tak sejalan dengan logika. Pokoknya soal perasaan ini memang rumit.
Nera melanjutkan perjalanannya. Ia berpapasan dengan beberapa pejalan kaki lainnya. Beruntung, tak ada yang ia kenal sama sekali. Sehingga waktunya untuk mengurai masalah hatinya itu tak terganggu.
Selama hidup Nera, dua puluh tahun ia hidup di dunia, rasa-rasanya ia belum pernah jatuh cinta. Merasa berdebar saat berada di dekat seseorang. Merasa kecewa saat ia tak terlihat dalam jangkauan mata. Merasa sedih saat ia tak lagi perhatian. Tak pernah, Nera belum pernah merasakan demikian. Ia sedikit asing dengan perasaan cinta. Karena itu, ia juga merasa asing dengan perasaannya sendiri.
Awalnya, ia senang bekerja sama dengan Aidan. Kakak tingkatnya itu cerdas dan partner kerja yang baik. Kemampuannya dalam memperhatikan hal-hal secara mendetail itu membuat Nera terkagum-kagum. Terlebih lagi, Aidan mampu bergaul dengan baik. Ia bisa masuk ke lingkup pertemanan baik laki-laki maupun perempuan. Satu hal itu cukup membuat Nera iri. Karena ia sulit sekali memiliki seorang teman. Lebih tepatnya, selama ini ia lah yang menghindari hubungan pertemanan. Tapi entah kenapa, salah satu sudut hatinya sebenarnya sangat merindukan kehadiran seorang teman.
Lalu, setelah merasa nyaman berada di sekitar Aidan, Nera justru mulai merasa tak nyaman sejak malam itu. Sejak Aidan menunjukkan secara terang-terangan rasa sukanya. Karena itu, Nera mulai menghindari Aidan. Menjaga jarak. Seperti yang biasanya ia lakukan pada laki-laki yang mendekatinya. Sayangnya, pada kasus Aidan ini reaksi yang ditimbulkan oleh hatinya justru berbanding terbalik. Biasanya, jika laki-laki yang berusaha mendekatinya tetap ngotot menunjukkan rasa sukanya padahal ia sudah menghindar, Nera akan bertindak tegas. Menolak dengan tegas bahkan secara terang-terangan menjaga jarak. Pada kasus Aidan, ia justru sesekali merindukan kehadiran laki-laki itu!
Gawat! Memang gawat!
Nera terus berjalan menyusuri trotoar. Melewati beberapa penjual makanan dan tukang becak. Suara klakson dan deru mesin kendaraan bermotor tak mampu membuatnya terdistraksi. Ia sedang fokus mendefinisikan perasaannya.
“Masa aku suka sama Kak Aidan?” Akhirnya, ada satu kalimat yang keluar dari bibir gadis itu.
Nera masih cukup jauh dari gang rumahnya. Ia menghela nafas, kemudian menggeleng pelan.
“Kayaknya nggak mungkin.” Gumamnya lagi.
Tin... Tin…
Tepat saat kalimatnya selesai, sebuah motor yang Nera kenal menghampirinya. Motor itu menepi, berhenti tepat di sebelahnya. Maka mau tak mau Nera pun ikut menghentikan langkahnya.
Si pengendara motor itu membuka helm.
“Kirain sudah pulang, Ra. Tumben jalan kaki? Mau bareng?” Pengendara motor itu bertanya ramah. Dengan senyum tersungging di bibirnya.
Deg!
Jantung Nera mendadak berdegup kencang. Dalam sekejap mata, wajahnya terasa memanas. Ia yang biasanya selalu mampu menguasai diri, kini menjadi salah tingkah hanya karena Aidan tiba-tiba muncul di hadapannya.
***
“Kenapa jalan kaki sendiri, Ra?” Suara Aidan terdengar cukup jelas.
“Iya, lagi pengen aja.” Jawab Nera seadanya.
Akhirnya ia benar-benar pulang dibonceng Aidan, sekali lagi. Kali ini tidak pakai helm, karena itu suara Aidan terdengar jelas di telinga Nera. Untung saja jarak mereka sudah cukup dekat, jika ditempuh dengan kendaraan bermotor. Jika ditempuh dengan berjalan kaki, tetap saja itu terasa jauh.
“Biasanya pulang pergi ke kampus naik apa, Ra?” Aidan bertanya lagi.
“Hm… berangkatnya naik angkot atau jalan kaki karena dekat. Pulangnya biasanya bareng temen.”
Aidan mengangguk-angguk.
Rambut Nera bergerak-gerak ditiup angin. Sesekali, rambutnya nakal menghalangi pandangannya. Tapi, rasanya kecepatan motor Aidan ini cukup pelan.
“Kak, motornya pelan banget?” Akhirnya Nera menanyakan kecurigaannya.
“Hahaha, kerasa, ya?” Aidan menoleh sekilas.
“Iya. Kenapa? Ada masalah?” Mau tak mau, Nera mengintip ke bagian depan motor.
“Enggak.” Suara Aidan terdengar lembut.
“Lalu?”
“Supaya ada lebih banyak waktu yang bisa kuhabiskan denganmu.” Aidan menatap Nera lewat kaca spion. Bibirnya tersenyum menawan.
Glek!
Nera terbelalak. Ia menelan ludah. Gila! Aidan ini benar-benar jago membuat hati Nera jumpalitan. Lihatlah, pipi gadis itu sekarang merona merah. Ia bahkan sudah salah tingkah, berdehem berkali-kali. Entah apa yang berusaha ia bersihkan dari kerongkongannya.
Tanpa Nera tahu, di balik helmnya, Aidan sedang tersenyum penuh arti. Senyum yang sulit sekali diartikan. Sementara matanya tetap tajam menatap ke depan.
“Rumahmu sudah dekat, Ra.” Aidan mengingatkan. Mereka sudah memasuki gang rumah Nera.
“Ah, iya, Kak.” Nera segera menguasai diri. Tak mungkin ia menampakkan dirinya yang sedang merona merah dan salah tingkah karena kalimat sederhana Aidan tadi.
Beberapa menit kemudian, Aidan sudah menghentikan motornya di depan rumah Nera. Ia melepas helmnya.
“Makasih banyak buat tumpangannya, Kak.” Nera sudah turun dari motor, tersenyum canggung.
“Sama-sama. Lain kali, kalau butuh tumpangan buat pulang aku selalu bersedia, kok, Ra.” Aidan bicara masih sambil tersenyum.
“Oh, iya. Makasih.” Nera benar-benar lemah. Begitu saja sudah mampu membuat jantungnya berdegup kencang. Sejak tadi, hatinya juga sudah tak mau diam. “A-aku masuk dulu, ya, Kak.”
“Iya.” Aidan meletakkan tangannya di atas helm yang ia pangku. Menatap Nera yang ragu untuk berlalu. “Masuk aja, Ra.”
“Iya.”
Nera balik badan, secepat kilat membuka pintu pagar dan masuk ke rumah. Ia berlari-lari kecil masuk ke dalam rumah. Melewati ruang tamu yang sepi, ruang tengah yang masih berantakan, sepertinya Angel baru saja bermain di sana. Nera terus berlari kecil, menaiki anak tangga dengan cepat, masuk ke kamarnya dan sekejap kemudian sudah berada di balkon kamarnya. Menatap Aidan yang sudah memutar motornya, kembali ke jalan besar untuk kemudian entah pergi ke mana.
Nera menghela nafas panjang. Aidan dan motornya sudah tak terlihat. Ia berbalik, masuk kembali ke kamarnya. Menghempaskan tubuhnya ke ranjang.
Nera benar-benar asing dengan perasaan yang kini sedang menguasai hatinya. Tapi, berkat pertemuannya dengan Aidan yang mendadak tadi, ia jadi bisa mendefiniskan perasaannya. Ya, itu adalah rasa suka. Jelas-jelas ia menyukai Aidan. Rasa suka yang lebih daripada rasa sukanya karena mengagumi laki-laki itu dulu. Ini, jelas rasa suka antara lawan jenis.
Nera membalikkan badannya. Menatap kosong meja belajar yang berisi puluhan buku. Kini, perasaannya sudah sempurna terurai, tapi ia masih tetap saja bingung. Apa yang harus ia lakukan dengan perasaannya itu? Membiarkannya? Atau menguburnya?
Nera masih bertahan dalam posisi itu cukup lama. Melamun, meraba-raba hatinya yang sudah mulai tenang. Hingga akhirnya, ponselnya yang bergetar menyadarkannya.
“Siapa, sih?” Nera beranjak. Merogoh tasnya, mencari ponselnya yang terus bergetar.
Nera terkejut bukan main demi melihat nama yang tertera di layar ponsel. Mulutnya sampai menganga. Namun, seketika ia tersadar. Telepon itu harus diangkat.
“Halo? Ada apa, Kak?” Ia sudah berusaha sebisa mungkin terdengar biasa saja.
“Nggak apa-apa. Lagi apa?” Suara Aidan terdengar dari seberang telepon.
“Eh, lagi… barusan rebahan.” Nera mengusap tengkuknya. Salah tingkah.
“Hahaha, kirain sudah mandi.” Terdengar suara kendaraan di balik suara Aidan.
“Kak Aidan di mana? Belum sampai rumah?” Nera kembali ke balkon. Berdiri bersandar ke pagar balkon, menikmati angin sore yang terasa semakin sejuk.
“Belum. Ada urusan sebentar. Tapi orang yang mau aku temui belum datang.”
“Oh…” Mulut Nera membentuk lingkaran. “Mau ketemu siapa emangnya?” Entah bagaimana, pertanyaan itu meluncur saja dari bibirnya.
“Hm? Yang pasti bukan perempuan, kok.”
“Eh?!”
“Hahaha, bercanda, Ra. Habisnya, tumben sekali kamu penasaran dengan urusan orang lain.”
Nera menggigit bibir, memejamkan matanya erat. Ia baru sadar dengan pertanyaannya. “Jadi, ada apa telepon, Kak?”
“Mau denger suara kamu, boleh?”
Nera terbelalak. Wah, gila! Benar-benar gila! Aidan ini sungguh spesies manusia yang sangat berbahaya jika sudah bertindak blak-blakan. Terutama untuk hati Nera yang masih beradaptasi dengan perasaan yang baru saja ia rasakan.
“Kok nggak jawab, Ra? Nggak boleh, ya?” Aidan menagih jawaban. Ia tak tahu saja, Nera sedang mati-matian menguasai diri.
“A-anu, Kak. Soal peserta uji coba babak penyisihan, sudah ada dua puluh orang yang mendaftar.” Nera mencomot topik pembicaraan yang lebih rasional untuk dibicarakan. Ia tak mampu jika mendapat serangan dari Aidan secara terus-menerus.
“Oh ya? Syukurlah kalau gitu. Pelaksanaannya jadi pekan depan, ‘kan?” Untungnya Aidan langsung masuk ke topik pembicaraan yang digagas Nera.
“Iya. Karena kita sudah booking jadwal lab pekan depan. Jadi, berapapun peserta yang daftar, uji coba itu bakal tetap dilaksanakan.” Akhirnya, Nera mampu bicara dengan normal. Gadis itu menghembuskan nafas lega di ujung kalimatnya.