16

1694 Kata
“Sudah pulang, Ra?” Mama mengintip dari balik pintu kamar Nera. “Eh? Iya, Ma.” Nera meletakkan ponselnya. Beranjak menghampiri sang mama. “Ada apa, Ma?” “Oh, enggak. Kok tumben nggak mampir ke kamar kakakmu.” Biasanya, begitu sampai rumah, Nera selalu mencari Angel dulu. Mengobrol sebentar dengan kakaknya, baru kemudian ia masuk ke kamarnya. Selalu begitu, kecuali jika ia tiba di rumah saat Angel sudah terlelap. “Oh, iya. Soalnya tadi buru-buru.” Nera tersenyum. Padahal bukan itu alasan sebenarnya. “Nanti makan malam bareng, ya? Oh iya, ayahmu sudah pulang.” “Mama mau masak buat makan malam?” “Iya, kenapa?” “Hm, boleh Nera bantuin?” Alis mamanya terangkat. Mata wanita itu membulat. “Tumben?” “Ya, nggak apa-apa ‘kan sekali-kali. Lagipula Nera lagi nggak ada kerjaan.” “Oh, ya sudah kalau begitu. Ayo turun!” Wajah letih wanita itu berubah sumringah. Nera mengangguk. Ikut keluar kamar, menuruni anak tangga. “Mama mau masak apa?” Tanya Nera begitu mereka tiba di dapur. “Masak capcay. Tolong ambilkan nugget ayam di kulkas, ya, Ra.” “Iya, Ma.” Setelah sekian lama, akhirnya Nera terjun lagi ke dapur. Dulu, ia senang membantu ibunya memasak di dapur. Ada banyak hal yang bisa ia pelajari dan lakukan. Juga, memasak bersama mamanya adalah kegiatan yang spesial bagi Nera. Karena hanya ketika itulah, tidak ada Angel yang selalu bisa menyita seluruh perhatian mamanya. Dan hanya ketika itulah, Nera bisa mengobrol apa saja dengan mamanya. Tentang hari-harinya di sekolah, tentang kegiatannya di tempat les, tentang perasaannya, tentang dirinya tanpa harus terpotong oleh ulah Angel yang dengan secepat kilat mengambil alih telinga mamanya. Sepertinya sejak duduk di bangku SMP, Nera benar-benar berhenti membantu mamanya memasak di dapur. Awalnya, itu terjadi tanpa sengaja karena kesibukannya di sekolah dan tempat les. Tapi, karena sang mama tak pernah menanyakan alasannya tiba-tiba tak pernah datang ke dapur, Nera akhirnya keterusan melakukan hal itu. Hingga hari ini, ia memutuskan untuk kembali menikmati waktu berdua dengan sang mama. Tidak, bukan karena ia rindu dengan kebersamaan mereka dulu. Nera sudah lama membuang jauh-jauh keinginan untuk memiliki orang tua yang penuh kasih sayang kepadanya. Hanya saja, rasanya jika ia tetap berada di dalam kamar, hati dan pikirannya hanya akan dipenuhi oleh Aidan. Laki-laki itu berhasil menguasi tempat yang begitu istimewa di hati Nera. “Mama mau ngupas bawang putih dulu, Nera bisa ‘kan goreng nuggetnya?” “Oh, bisa, Ma.” Nera mengangguk. Mulai mengambil wajan dan spatula. Meletakkannya di atas kompor, mengisinya dengan minyak. “Ada yang bisa Nera bantu, Ma? Sambil nunggu minyaknya panas.” “Oh, ini. Tolong iris tipis bawang bombaynya, ya?” Mama menyerahkan sebuah bawang Bombay berukuran sedang. Nera mengangguk. Ia mengambil pisau dan talenan, berdiri di sebelah mamanya. Mulai mengupas bawang. “Ada apa, Ra?” Tiba-tiba mamanya bertanya. “Hm? Maksudnya, Ma?” Mereka mengobrol sembari sibuk dengan kegiatan masing-masing. “Tumben sekali kamu mau bantu Mama masak. Ada yang mau kamu obrolin dengan Mama?” Nera tersentak. Gerakan tangannya yang sedang mengupas bawang berhenti seketika. “Benar? Ada yang mau diobrolin dengan Mama?” Wanita itu menatap putrinya. “Biasanya ‘kan begitu, kamu bisa cerita apa saja kalau di dapur. Semua cerita yang nggak sempat kamu ceritain ke Mama selain di dapur. Karena, hanya ketika di dapur Mama tidak sibuk meladeni kakakmu.” Deg! Nera menelan ludah. Ia balas menatap dua bola mata mamanya yang menyorot lembut. Sepertinya, baru sekarang ia menyadari, bahwa mata itu memancarkan perhatian yang begitu besar padanya. “Se-selama ini Mama berpikir begitu?” Mama tersenyum. Manis sekali. “Mama adalah orang yang melahirkanmu, Nak. Kita terikat secara batin sejak kamu berada dalam kandungan Mama. Mama mengerti maksudmu bahkan sebelum kamu bicara. Bahkan saat kamu berusaha menyembunyikannya. Maafkan Mama yang tidak bisa bersikap adil antara kamu dan kakakmu.” Nera menarik nafas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Tangannya mulai bergerak kembali. “Eh, kayaknya minyaknya udah panas!” Tiba-tiba ia teringat dengan kompor yang sudah ia nyalakan tadi. “Hahaha. Maaf, ya, Nak. Gara-gara Mama ajak ngobrol.” Nera tersenyum menatap mamanya yang tergelak. Ia lanjut mengecilkan api kompor. Lima buah nugget ayam ia cemplungkan ke dalam minyak panas. Cesss… Seketika, bunyi minyak panas menelan lima nugget itu memenuhi langit-langit dapur. Nera kembali ke posisinya setelah memastikan nugget-nugget itu terendam dalam minyak dengan baik. “Terima kasih, ya, Nak sudah mau bersabar menghadapi kakakmu yang spesial. Sudah mau mengerti dengan kelemahan Mama, sudah mau menjadi dewasa bahkan sebelum Mama sempat melihatmu bertumbuh.” Nera tersenyum. Rupanya, selama ini ia terlalu berprasangka buruk pada mamanya. “Maafkan Nera juga, Ma. Nera kira, Mama nggak sesayang itu sama Nera.” “Hei!” Mama mengerutkan kening. Wajahnya terlihat sangat tersinggung. “Mana mungkin Mama nggak sayang sama anak cantik dan pintar seperti kamu? Mama melahirkanmu dengan bertaruh nyawa, Nak. Mana mungkin Mama nggak sayang sama kamu?” Suara Mama naik beberapa oktaf. Nera gelagapan. Ia merasa sangat bersalah. “Ma-maaf, Ma…” Suaranya lirih. Mama menghela nafas panjang. Ia meletakkan pisaunya. Merengkuh putri bungsunya ke dalam pelukan. “Selamanya, Mama akan sayang sama kamu selamanya, Nak. Maafkan Mama yang selama ini masih sulit sekali berbagi perhatian antara kamu dan kakakmu. Mama nggak akan memintamu mengerti tentang kondisi kakakmu, enggak. Mama yang salah karena belum bisa menjadi ibu yang adil dan baik.” Nera membalas pelukan mamanya erat. Menyurukkan kepalanya di dalam rengkuhan hangat wanita itu. “Nggak apa-apa, Ma. Mama tetap ibu terbaik buat Nera.” Dua wanita berpelukan erat. Terbuai dalam perasaan lega masing-masing. Apa yang selama ini hanya berada dalam hati dan benak mereka, akhirnya tersampaikan pada orang yang bersangkutan. Semua kecewa, sakit hati di d**a Nera mendadak lebur oleh pelukan hangat sang mama. Perasaan bersalah Mama juga seketika luluh oleh rengkuhan erat putri bungsunya. Ibu dan anak itu bertahan memeluk satu sama lain cukup lama. Hingga aroma gosong membuyarkan suasana haru yang terbangun kental. “Aduh! Nuggetnya gosong!” Nera berteriak. Secepat kilat melepas pelukan, meloncat ke dekat kompor. “Aduh! Gimana ini?” Wajahnya terlihat panik. Padahal ia ingat tadi sudah mengecilkan api kompor. Sepertinya, waktu yang ia habiskan mengobrol dengan mamanya itu cukup lama hingga mampu membuat gosong lima buah nugget malang itu. “Hahaha!” Mama tergelak. Suaranya terdengar hingga ke ruang kerja Bambang. Membuat laki-laki itu menoleh. “Ya sudah gimana lagi? Biar Mama yang makan nugget gosong itu.” “Aduh… Maafin Nera, ya, Ma?” Nera merasa bersalah. Menatap lesu nugget hitam yang terombang-ambing di atas minyak panas itu. “Iya iya, nggak apa-apa.” *** Matahari sudah sempurna tenggelam tapi orang yang ditunggu Aidan belum juga tiba. Kini, ia sedang duduk di sebuah taman kecil di depan apartemen Reza. Ya, Aidan sedang menunggu Reza. Hari ini ia mengajak bertemu. Biasanya mereka bertemu malam hari. Tapi karena hari ini Aidan mendadak pulang dengan Nera, maka ia memutuskan untuk pergi ke apartemen Reza saat ini. Karena arah ke apartemen Reza, sejalan dengan arah ke rumah Nera. Sayangnya, ia tak beruntung. Reza sedang keluar. Drrrt… drrrt.. Ponsel di tangan Aidan bergetar. Sebuah telepon masuk. Dari Reza. “Halo, Om?” “Di mana, Dan?” “Di taman depan apartemen Om. Kenapa?” “Oh, kamu nyebrang jalan, ya? Om tunggu warung bakso sebrang jalan. Sebentar lagi Om sampai.” “Warung bakso?” Aidan berdiri. Berjalan ke sisi taman. Celingukan mencari warung bakso yang dimaksud Reza. “Iya. Ada ‘kan?” “Oh, ada ada!” Aidan menemukannya. Warung bakso itu terlihat tak terlalu ramai. “Ya sudah, tunggu di sana, ya? Sebentar lagi Om sampai.” “Iya, Om.” Sambungan telepon terputus. Aidan bergegas mengikuti perintah Reza. Menyebrang jalan, menunggu di warung bakso. Tak sampai lima menit kemudian, Reza dan seorang laki-laki berkemeja turun dari mobil. Menghampiri Aidan. “Sudah dari tadi, Dan?” Reza menyapa. “Nggak. Baru aja.” “Maaf, ya. Tadi ternyata macet. Biasalah, sore-sore begini, orang-orang pada pulang kerja. Semuanya maunya cepet sampai ke rumah.” “Iya, Om. Nggak apa-apa.” Aidan tersenyum. Ia melirik laki-laki berkemeja yang datang bersama Reza. “Yuk masuk!” Ajak Reza. Bertiga mereka masuk ke warung bakso. Memesan tiga porsi bakso. Minumnya air mineral. “Oh ya, Dan. Kenalkan, ini Pramana. Jaksa yang akan membantu kita memenangkan kasus ayahmu.” Reza menunjuk laki-laki di sebelahnya. “Salam kenal, Pak Pramana. Saya Aidan.” Aidan mengulurkan tangan. “Salam kenal juga.” Keduanya berjabat tangan singkat. “Pasti kamu sudah dengar kalau pengajuan gugatan kita yang pertama ditolak?” Aidan mengangguk. Ia pikir laki-laki itu akan basa basi sebentar. Ternyata tidak, ia langsung ke topik pembicaraan. “Itu justru berita bagus.” “Hm?” Aidan mengerutkan dahi. “Kenapa?” “Idealnya, alasan pengajuan gugatan yang kita cantumkan itu tidak bisa ditolak. Memiliki bukti yang bertentangan dengan putusan hakim bertahun-tahun lalu. Seharusnya itu disidangkan. Tapi, gugatan kita justru ditolak. Bukan dipertimbangkan.” “Lalu bagian mananya yang berita baik?” Aidan tak sabar. Ia merasa kalimat Pramana terlalu berputar-putar. “Berita baiknya adalah aku jadi tahu siapa saja musuh kita sebenarnya.” Jawab Pramana sembari tersenyum lebar. “Hm?” Aidan masih mengerutkan dahi tak mengerti. “Menolak gugatan itu bukan perkara mudah.Pengacara yang menangani kasus ini bertahun-tahun lalu, Bambang, tidak punya kuasa untuk menolak gugatan kita. Sekalipun dia menyuap kepala kantor kejaksaan, seharusnya tetap tidak bisa. Nah, asumsiku adalah kepala kejaksaan saat ini juga punya andil dalam kasus ayahmu dulu. Kalau sampai kebenaran terungkap, posisinya juga akan terancam.” Aidan mengangguk-angguk. “Jadi, semua kebenaran bisa ditutupi dengan baik karena adanya orang-orang penting yang terlibat?” “Tepat sekali! Dan besar kemungkinan, hakim yang memutuskan hasil sidang saat itu juga termasuk bagian dari mereka.” Ucap Pramana dengan penuh percaya diri. Aidan menahan nafas. Ini fakta yang sama sekali luput dari analisisnya. Tentu saja, ia tak terlalu mengerti tentang dunia hukum. Aidan menggigit bibir bawahnya. Ekspresi wajahnya berubah gelisah. “Hei, Dan.” Pramana mengetuk meja. Membuyarkan kegelisahan yang tiba-tiba dirasakan Aidan. “Musuh kita memang banyak dan posisi mereka kuat. Tapi percayalah satu hal ini. Bagaimana pun caranya, selagi ada orang-orang yang mau berjuang, kebenaran akan menampakkan kegagahannya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN