17

1487 Kata
Hari pelaksanaan uji coba babak penyisihan online. Seratus mahasiswa yang menjadi sukarelawan sudah berkumpul di gedung laboratorium komputer. Lima menit lagi, uji coba itu akan dimulai. Para panitia Neomicin sudah sejak pagi tadi sibuk ke sana ke mari. Mondar mandi menyiapkan ini itu. Berdiskusi dengan petugas laboratorium hingga bagian IT kampus. Sebentar lagi, semua komputer di laboratorium siap digunakan. “Sudah siap semua, Ra?” Aidan bicara di telepon. Ia sedang berjalan cepat bersama dokter Anita. “Sudah, Kak.” Di lantai dua gedung laboratorium komputer Nera mengangguk mantap. Ia berada di salah satu ruang laboratorium komputer bersama seorang laki-laki yang mengoperasikan komputer server. “Oke. Volunteer yang sudah datang langsung disuruh masuk aja. Aku sama dokter Anita sebentar lagi sampai.” Aidan melirik dokter Anita yang juga berjalan cepat di sebelahnya. Wanita berusia awal empat puluhan tahun itu mengangguk mantap. “Siap, Kak.” Nera memutus sambungan telepon. Kali ini ia menelpon Izza yang berada di ruangan yang lain. “Halo, Za?” “Ya? Kenapa, Ra?” Izza sedang mengecek satu persatu komputer yang ada di ruangannya. Ia sudah hampir selesai. “Di sana sudah siap semua?” “Iya. Komputer server sudah siap. Tinggal aku cek beberapa komputer peserta.” “Oke. Kalau sudah, suruh langsung masuk aja volunteer yang sudah datang. Kita mulai tepat waktu. Dokter Anita sudah hampir sampai.” “Oke.” Sambungan telepon terputus. Nera beranjak menuju pintu masuk. Berbicara pada dua mahasiswa panitia Neomicin yang berjaga di sana, bilang bahwa peserta sudah boleh masuk. Dua mahasiswa itu mengangguk bersamaan. Prok prok prok! Salah seorang dari panitia Neomicin itu bertepuk tangan. Menarik perhatian para volunteer. “Uji coba akan segera dimulai. Mohon masuk ke ruangan dengan tertib, ya! Tas dan barang bawaan silakan diletakkan di ruangan bagian belakang. Nanti akan diarahkan oleh Kak Nera.” Serempak, dua puluh lima mahasiswa yang namanya tercantum untuk menempati ruangan itu berbondong-bondong masuk. Nera mengarahkan para mahasiswa untuk meletakkan barang-barang di bagian belakang ruangan. Mereka menurut, mengikuti arahan dengan tertib. Dalam sekejap, dua puluh lima mahasiswa yang mendaftar secara sukarela itu sudah duduk di kursi masing-masing. Beberapa terlihat saling berbisik. Drrrt… Ponsel Nera bergetar. Sebuah laporan masuk ke grup obrolan panitia. Izza yang melapor, bilang bahwa ruangannya sudah siap. Drrrt… Drrrt… Ponsel Nera bergetar dua kali. Dua laporan masuk. Dari dua panitia lain yang bertanggung jawab di ruangan lain. Melapor bahwa ruangan mereka juga sudah siap. Maka serempak, kegiatan uji coba aplikasi yang akan digunakan untuk babak penyisihan Neomicin dilaksanakan. Bersamaan dengan itu, Aidan dan dokter Anita tiba di lantai dua gedung laboratorium komputer. Lima menit pertama, laki-laki yang duduk di belakang komputer server memberi penjelasan mengenai tata cara pelaksanaan uji coba. Ia juga menjelaskan beberapa fitur yang teraedia dalam aplikasi yang dikembangkan bagian IT kampus itu. Setelah semua peserta mengerti, barulah uji coba dilaksanakan. Uji coba itu hanya berlangsung satu jam. Mereka tidak bisa menyita waktu mahasiswa lebih dari itu. Jika lebih dari itu, pasti sulit untuk mengumpulkan para volunteer. Lagipula, tujuan dari uji coba ini hanya untuk mengetahui performa aplikasi yang sedang dikembangkan. Melihat titik lemahnya saat  kemudian memperbaikinya. Dan ini barulah uji coba pertama. Lima belas menit sudah uji coba itu berlalu. Tidak ada kendala yang berarti. Hanya beberapa mahasiswa tiba-tiba kehilangan koneksi. Tapi bisa diperbaiki bahkan dalam waktu kurang dari dua menit. Nera berkeliling ke bagian belakang ruangan, memperhatikan para peserta yang serius mengerjakan soal. Saat panitia Neomicin mengumumkan pencarian peserta ini, mereka memberikan iming-iming latihan soal gratis mata kuliah anatomi. Mata kuliah yang bagi sebagian besar mahasiwa kedokteran adalah yang paling sulit. Karena itu, kebanyakan yang mendaftar adalah mahasiswa tingkat satu. Mereka mendaftar untuk mendapatkan ‘untung’ mengerjakan soal-soal anatomi secara gratis, dan panitia juga mendapatkan peserta untuk uji coba. Yah, simbiosis mutualisme. Kegiatan uji coba terus berlangsung tertib. Empat puluh lima menit sudah berlalu. Lima soal lagi dan kegiatan ini akan segera berakhir. Laki-laki di belakang komputer server terus memperhatikan layar komputer. Setelah ini, ketika waktu mengerjakan soal berakhir, secara otomatis soal akan tertutup dan jawaban dari masing-masing peserta akan masuk ke arsip. Inilah momen menentukan itu. Apakah aplikasi itu berjalan dengan baik dalam menyimpan semua arsip jawaban atau tidak. Tiga menit sebelum waktu habis, sebagian mahasiswa sudah menekan tombol ‘serahkan jawaban’. Laki-laki dari bagian IT kampus itu menatap layar komputer. Kemudian mengangguk samar. Jawaban yang diserahkan para mahasiswa itu terekam dengan baik di arsip aplikasi. Ia tersenyum puas. Satu menit sebelum waktu habis. Semakin banyak mahasiswa yang menyelesaikan soal. Semakin banyak juga arsip jawaban yang tersimpan. Waktu habis! Serempak, puluhan jawaban tersimpan di arsip. Laki-laki di belakang komputer server terus fokus menatap layar. Memastikan tak ada satupun jawaban yang hilang. “Baiklah, terima kasih banyak atas partisipasi teman-teman semua dalam uji coba kali ini. Selanjutnya, silakan keluar ruangan dengan tertib, ya. Sekali lagi, terima kasih banyak!” Nera memberi arahan sembari tersenyum manis. Puluhan mahasiswa itu satu persatu beranjak dari duduk, berjalan tanpa suara ke belakang ruangan, mengambil barang-barang mereka dan keluar ruangan dengan tertib. Beruntung, karena mereka semua adalah mahasiswa tingkat satu, jadi lebih mudah memberi arahan. *** Beberapa jam setelah kegiatan uji coba aplikasi itu berakhir, dokter Anita memanggil panitia Neomicin untuk datang ke ruangannya. “Bagus! Uji coba hari ini berakhir baik.” Seorang laki-laki dari bagian IT kampus ikut menemui panitia Neomicin. Ia terlihat tersenyum puas. “Baik gimana maksudnya, Pak?” Tanya Nera tak sabar. “Aplikasi yang kami kembangkan rupanya berfungsi dengan baik. Tidak ada kendala yang berarti. Yah, meski ada beberapa hal yang harus ditingkatkan performanya. Seperti tadi ada yang tiba-tiba hilang koneksi, ada juga yang fitur ‘next question’-nya tidak bisa diklik, dan lain-lain. Itu hanya kekurangan-kekurangan kecil. Bisa diperbaiki dengan cepat.” Laki-laki terus tersenyum. Semua orang di ruangan dokter Anita iku tersenyum lega. “Jadi, bisa dilanjutkan untuk uji coba kedua, ya, Pak?” Kali ini dokter Anita yang bertanya. “Iya. Sebaiknya kita bekerja sama dengan beberapa sekolah. Saya ingin melihat bagaimana jika aplikasi itu diakses oleh banyak orang secara serentak dalam satu waktu? Berapa maksimal kemampuannya agar tetap bisa bekerja dengan optimal?” Dokter Anita terlihat mengangguk-angguk. “Kalian sudah dengar? Sebaiknya mulai sekarang kalian mencari sekolah yang mau bekerja sama dengan kita.” “Baik, Dok.” Aidan yang menjawab. “Lalu, setelah pendaftaran ditutup, jadwalkan sosialisasi pelaksanaan babak penyisihan ke sekolah-sekolah. Kalian sudah menunjuk mahasiswa yang menjadi panitia wilayah?” “Sedang dalam proses, Dok. Ada beberapa daerah yang masih belum ditentukan.” Kali ini Nera yang menjawab. “Oke, bagus. Sebaiknya segera, ya. Karena mereka juga yang bertanggung jawab melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah di wilayah mereka mengenai kegiatan ini. Nantinya, mereka adalah perpanjangan tangan dari kampus. Jadi pilihlah orang yang bisa memberikan penjelasan dengan baik mengenai teknis acara.” “Baik, Dok.” Mereka masih berbicara beberapa menit kemudian. Hingga akhirnya, dokter Anita menyuruh mereka pergi karena ada jadwal mengajar. “Haah, akhirnya!” Aidan meregangkan otot-otot di tubuhnya. Ia sedang berjalan kembali ke ruang BEM bersama Nera dan Izza. “Usulmu bakal direalisasikan, Ra.” Aidan menatap Nera, tersenyum. “Iya, Kak.” Jawab Nera singkat. “Kak, setelah ini bakal ada rapat atau sesuatu nggak?” Izza yang bertanya. “Hm, sepertinya nggak ada. Gimana, Ra?” “Nggak ada. Mungkin nanti sore atau besok. Nanti aku kabari lagi. Soalnya panitia yang dari tingkat satu masih pada kuliah.” Izza mengangguk-angguk. “Kalau gitu, aku pamit, ya? Ada urusan.” “Eh? Urusan apa?” Nera mengerutkan kening. “Ada, deh!” Izza mengerling nakal ke arah Nera. Belum sempat Nera mengucapkan sepatah kata, Izza sudah berhasil kabur. Ia melambaikan tangan dari kejauhan sambil nyengir. Nera merutuk dalam hati. “Hahaha!” Aidan tergelak. Membuat Nera menoleh. “Kenapa, Kak?” “Izza itu sangat pengertian, ya?” “Hm?” Nera mengangkat alis, tak mengerti. “Dia itu ngasi waktu buat kita bisa ngobrol berdua.” Jawab Aidan dengan berbisik. Bibir Aidan berada cukup dekat dengan telinga Nera hingga gadis itu bisa merasakan hembusan nafasnya. Seketika, pipi Nera merona merah. Bukan hanya karena kalimat Aidan yang terkesan menggodanya, juga karena jarak mereka yang terlalu dekat. “Apaan, sih, Kak!” Ia segera mendorong Aidan pelan. Ini masih di kampus. Ia malas sekali jika harus jadi tontonan mahasiswa yang sedang lewat. “Hahaha!” Lagi-lagi, Aidan tergelak. Aidan tidak tahu, gadis di sampingnya itu sedang sibuk mendiamkan jantungnya yang terus berdegup kencang. Memarahi hatinya yang jungkir balik tak karuan. Menghalau rona merah di pipinya agar segera pergi. Benar. Aidan tidak tahu bahwa segala cara yang ia lakukan untuk mendekati Nera itu akhirnya berhasil. Bahkan, secara tak sadar, Nera telah membuat sebuah folder memori atas nama laki-laki itu di otaknya. Ia juga menempati tempat yang spesial di hati Nera. Sebuah ruang kosong di salah satu sudut hati gadis itu. Ruangan yang sejak dulu belum pernah terisi oleh siapapun. Ruangan yang dibiarkan kosong tak terurus. Ruangan yang tak pernah dilirik olehnya. Namun kini, sepertinya, perlahan-lahan mulai menarik perhatian si empunya hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN