18

1819 Kata
Pukul empat sore, Nera baru saja selesai mengikuti kuliah epidemiologi. Setelah ini tidak ada kegiatan apapun. Maka ia memutuskan untuk pulang. Sebelum itu, tentu saja ia harus menghubungi Fatih. ‘Sopir pribadi’ yang selama ini selalu setia pulang kuliah bersama. Sembari menuruni anak tangga, Nera mengetik sebuah pesan untuk Fatih. Namun, belum sempat pesan itu terkirim, sebuah pesan lain sudah masuk lebih dulu. Sudah selesai kuliahnya, Ra? Begitu pesan yang dikirmkan Aidan pada Nera. Nera segera mengirim pesan balasan. Sudah, Kak. Kenapa? Nera masih terus menuruni anak tangga sembari melihat layar ponselnya. Menunggu pesan balasan dari Aidan. Namun, hingga anak tangga terakhir, tidak ada pesan masuk sama sekali. “Nera!” Sebuah pekikan yang memanggil namanya membuat Nera terkejut. “Eh?” Gadis itu terbelalak demi melihat seseorang yang menghampirinya tepat setelah kaki kanannya meninggalkan anak tangga terakhir. “Hahaha, kaget, ya?” Aidan sudah berdiri di hadapan Nera dengan senyum ceria. “Iya, sih.” Jawab Nera malu-malu. Sejujurnya tadi ia sempat berharap Aidan menghampirinya. Dan ternyata itu benar-benar terjadi. “Mau pulang bareng?” “Heh?” Sekali lagi, Nera terbelalak. “Kenapa Kak Aidan suka sekali ngajak aku pulang bareng?” Kalimat itu terlontar begitu saja dari bibirnya. “Bukannya sudah kubilang? Supaya ada lebih banyak waktu untuk berdua denganmu, Ra.” Kalimat itu diucapkan oleh Aidan dengan cara yang biasa aja, meski wajahnya tetap tersenyum saat bicara. Tapi, ternyata efeknya sangat luar biasa bagi jantung Nera. Pipi gadis itu seketika merona merah. Jantungnya berdetak kencang. Sepertinya juga karena efek terkejut tadi. Nera berdehem beberapa kali. Menghalau kegugupan yang tiba-tiba menguasai dirinya. “Memangnya Kak Aidan nggak ada kegiatan setelah ini?” “Nggak ada. Kuliahku sudah selesai siang tadi. Sejak siang sampai barusan di ruang BEM, ngurus beberapa  hal yang harus diurus.” Aidan mulai melangkah. Tak nyaman berbicara di depan anak tangga karena belasan mahasiswa mulai turun. Nera mengikuti. “Oh…” Mulutnya membentuk O besar. “Jadi gimana? Mau, ya, pulang bareng?” Aidan masih tersenyum, melirik gadis jangkung di sebelahnya. “Tapi aku nggak ada helm.” Sebenarnya, Nera ingin mengiyakan. Tapi alasannya tidak dibuat-buat. Ia tak mungkin berkendara motor dari kampus ke rumahnya tanpa mengenakan helm. Tidak aman. “Tenang aja. Belakangan ini selalu ada helm nganggur di ruang BEM.” Aidan menunjukkan helm yang sejak tadi ia bawa. “Eh? Aku nggak nyadar Kak Aidan bawa-bawa helm sejak tadi.” “Helm segede ini?” Aidan mengangkat alis. “Ah, kamu pasti lebih fokus ke aku aja, ya?” Tanyanya menggoda. Nera tak menjawab. Hanya memutar bola matanya kemudian tertawa pelan. “Dua minggu lagi UAS, ‘kan?” Aidan sudah pindah ke topik lain. Mereka berjalan beriringan di jalan setapak yang menghubungkan gedung perkuliahan dengan gedung lainnya. Membelah sebuah taman yang luas nan hijau. Taman yang selalu menjadi penyejuk mata karena hijaunya yang terawat dengan baik. “Iya.” “Mau pinjem contoh-contoh soal UAS?” “Hm? Contoh-contoh soal UAS?” Nera mengernyit. “Kamu nggak tahu ada yang begituan di kampus kita?” Aidan menatap Nera tak percaya. Nera salah tingkah. Tak tahu harus bereaksi bagaimana. Tapi, tidak ada gunanya juga berbohong. “Iya, nggak tahu.” Sorot mata Aidan semakin tak percaya. “Wah, dari semester satu?” “Iya. Sama sekali nggak tahu.” Tegas Nera. Aidan mengangguk-angguk. “Memang kamu yang nggak mau tahu atau nggak ada yang memberi tahu?” Nera tampak berpikir. “Sepertinya dua-duanya.” Sekali lagi, Aidan mengangguk-angguk. “Lalu, karena sekarang udah terlanjur aku tawari, kamu mau?” “Nggak masalah ‘kan kalau aku tahu?” “Tentu saja! Yang masalah itu kalau sampai dosen-dosen tahu. Jadi, diem-diem aja, ya?” Aidan menyentuhkan ujung telunjuknya di bibir. Memberi isyarat untuk diam. “Oke.” *** Sesampainya di rumah, Nera terus memikirkan hal yang selama ini jarang mengganggu pikirannya. Yaitu soal kehidupan sosialnya. Dulu, ia memang menarik diri dari kehidupan sosial. Ia malas berhubungan dengan orang lain. Orang-orang yang hanya bicara manis di depan tapi mencelanya di belakang. Ia sudah sering bertemu dengan orang-orang yang begitu. Dulu, semuanya baik-baik saja. Meski tak menjalin pertemanan dengan siapapun, ia tak pernah ketinggalan informasi, baik di sekolah maupun di tempat les. Tapi hari ini, ia disadarkan bahwa kehidupan kampus sangat berbeda dengan kehidupan di sekolah. Nera baru saja selesai mandi, membersihkan diri usah seharian bergelut dengan debu dan keringat. “Apa aku coba temenan sama Izza, ya?” Ia bergumam sendiri. Kedua tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk. Nera menyampirkan handuk di pundak. Mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ia berniat mengirim pesan pada Izza. Izza, sibuk nggak? Gadis itu mengirim pesan basa-basi. Untungnya, Izza langsung menjawab. Nggak. Kenapa, Ra? Nera mengambil posisi duduk di atas kasur. Za, kamu tahu kalau di kampus kita beredar contoh-contoh soal UAS? Beberapa detik berlalu sejak pesan itu terkirim. Nera hampir beranjak dari kasur, hendak menjemur handuk yang basah. Namun, dering telepon dari ponselnya membuat gerakannya terhenti. “Halo, Za?” Sapanya. “Iya, aku tahu. Ra. Ada soal-soal UTS juga. Itu udah ada dari jaman kakak-kakak. Entah sejak kapan.” Suara Izza terdengar di seberang telepon. “Oh, begitu. Berarti kamu juga punya contoh soal-soal UAS semester ini?” “Belum. Aku belum punya. Tapi katanya ada anak-anak yang sudah punya. Kenapa tanya itu, Ra?” “Ah…” Nera agak ragu untuk mengatakan alasan yang sebenarnya. “Jangan bilang ada dosen yang tahu?” Suara Izza terdengar takut. “Enggak! Enggak, kok!” Nera menggeleng kuat-kuat. Meski tentu saja Izza tidak dapat melihatnya. “Terus kenapa? Oh, jangan-jangan kamu baru tahu, Ra?” Nera tersentak. “Iya, baru tahu.” Jawabnya kemudian. Sebenarnya, ia agak malu mengakui hal itu. “Wah, berarti selama ini kamu dapat nilai segitu tanpa belajar dari contoh soal?” “Hm, iya. Tapi ‘kan tetap belajar dari buku dan materi kuliah.” Nera sedikit bingung dengan reaksi Izza yang terdengar berlebihan. “Tetap saja. Soal-soal UAS di kampus kita ‘kan banyak banget dan sangat random. Keren kamu, Ra!” Nera mendadak tersipu malu. Segera ia berdehem pelan. Untuk apa juga jadi tersipu malu? “Ya sudah, aku cuma mau tanya itu.” “Oke oke. Eh, kalau nanti ada yang bikin pengumuman buat gandain soal-soal UAS itu, kamu juga mau?” “Hm, lihat nanti aja, deh.” Nera belum mau bilang bahwa ia akan mendapatkannya dari Aidan. “Oke, deh.” Sambungan telepon diputus usai mereka saling berpamitan. Nera melemparkan ponselnya ke kasur, kemudian beranjak. Rambutnya sudah setengah kering. Basah di handuk yang tersampir di pundak sepertinya sudah ditransfer sebagian ke bajunya. Membuat bajunya terasa lembab. “Ra…” Suara dari pintu kamar membuat Nera menoleh seketika. “Ada apa, Ma?” Rupanya Mama sudah berdiri di ambang pintu. “Ada Fatih di bawah. Katanya nyariin kamu.” “Fatih? Ngapain ke sini?” Nera mengerutkan dahi, namun tetap keluar kamar untuk menemui sahabatnya itu. “Nggak tahu.” Mama mengedikkan bahu. Berjalan mendahului putri bungsunya. “Dia lagi di bawah main sama Angel.” Sepasang ibu dan anak itu menuruni anak tangga bersama. “Hei, Ra               !” Pekik Fatih begitu melihat Nera turun dari tangga. Ia melambaikan tangan, sedang tertawa-tawa dengan Angel. Entah bermain apa. “Ngapain ke sini, Tih?” Nera ikut bergabung. Rupanya Angel sedang menggambar dengan cat air. Ya, putri sulung Bambang itu memang senang sekali menggambar. Entah sudah berapa belas bahkan puluh buku gambar yang ia habiskan. Mulai dari buku gambar biasa yang umumnya digunakan anak-anak SD hingga buku gambar mahal alias sketchbook yang bisa menahan pulasan cat air. “Kamu tadi pulang sama siapa?” Tanya Fatih tanpa mengalihkan pandangannya dari cat air Angel yang sudah berantakan. “Hm? Kenapa emang?” “Kenapa?” Kali ini Fatih menoleh, bahkan matanya melotot. Nera terkejut. “Kenapa kamu marah?” “Kamu tahu nggak berapa lama aku nunggu di depan gerbang FK? Hampir setengah jam!” Fatih mulai mengomel. “Aduh, iya lupa!” Nera menepok jidatnya. “Maaf, ya, tadi lupa bilang kalau nggak jadi nebeng.” Kali ini ia memasang wajah manis agar Fatih berhenti mengomel. Fatih mendengus. “Lagian, kenapa kamu nggak telepon atau kirim pesan?” Nera tak terima disalahkan sepihak. “Hp-ku mati. Kehabisan batrei. Baru nyadar waktu udah di mobil.” “Tuh, ‘kan?! Kamu juga salah.” Nera tak mau kalah. “Jadi, tadi pulang sama siapa?” Fatih kembali ke topik utama. Nera tak segera menjawab. Ia melihat sekeliling. Mamanya sedang sibuk di dapur, dan sepertinya ayah ya belum datang. Lalu pandangannya beralih ke Angel. Gambar Angel sudah hampir selesai. “Tih, mau jalan-jalan sebentar, nggak?” “Hm? Tiba-tiba?” Fatih sontak menoleh. Alisnya beradu. “Iya. Jalan-jalan ke depan gang. Yuk?” Fatih terlihat menimbang-nimbang. Melihat Angel yang sedang asyik menggambar. “Angel, aku pergi dulu, ya, sama Nera?” Fatih memasang senyum termanis. Berpamitan pada kakak Nera yang seumuran dengannya. “Yah, mau ke mana?” Raut wajah Angel berubah sedih. Alis dan sudut matanya terlihat turun. “Hehe, sebengar aja. Nanti aku balik lagi.” Fatih terlihat seperti sedang merayu anak kecil. “Hm…” Angel memajukan bibirnya, merajuk. “Ya? Ya? Pergi sebentar aja. Nanti aku bawain oleh-oleh.” “Hore!!!” Angel berteriak kegirangan. Raut wajah sedih yang beberapa detik lalu ia tampakkan, berubah dalam sekejap. “Janji, ya? Aku mau es krim cokelat!” “Eh? Emang boleh makan cokelat?” Kali ini Nera yang menanggapi. “Sedikit aja…” Ekspresi wajah Angel sudah berubah lagi. “Tanya Mama dulu, ya? Kalau nggak boleh, ya, nggak boleh.” “Hm…” Lagi-lagi Angel merajuk, bibirnya maju beberapa mili. “Ya sudah, es krim stroberi aja!” “Nah, kalau stroberi boleh.” Ucap Nera sembari tersenyum. “Kita pergi dulu, ya, Kak. Selamat menggambar!” Nera dan Fatih beranjak bersamaan. Melambaikan tangan pada Angel yang melepas kepergian mereka dengan raut wajah sedih. Tapi langsung riang begitu diingatkan soal es krim stroberi. Di luar rumah, hari sudah gelap. Tapi lampu jalan di gang rumah Nera mampu menerangi jalanan dengan baik. Sepasang sahabat masa kecil itu berjalan beriringan. Menuju sebuah minimarket di ujung gang. Sejak kecil, kadang-kadang mereka ‘nongkrong’ di sana. Menghabiskan uang jajan pemberian orang tua masing-masing. Mengobrol banyak hal sambil menikmati pemandangan jalanan kota yang ramai. Karena jika mengobrol di rumah, Nera merasa tak leluasa. Kini, minimarket itu sudah banyak berubah. Barang-barang yang dijual semakin lengkap. Ruangannya lebih luas. Meja dan kursi di depan minimarket yang biasa mereka duduki juga sudah bertambah jumlahnya. Nera membeli sebuah minuman kopi dingin dan cemilan kripik jagung. Sementara Fatih mengambil sebuah minuman elektrolit dingin. “Aku numpang cemilanmu.” Ujarnya saat mereka sudah berada di depan meja kasir. “Kenapa nggak beli sendiri, sih?” Nera pura-pura sewot. “Malas.” Beberapa menit kemudian mereka sudah duduk di depan minimarket. Nera membuka bungkus kripiknya. “Jadi, kenapa ngajak ngobrol di luar?” Tanya Fatih tanpa basa-basi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN